Jamila memicing saat melihat ayahnya pulang bersama dua orang lelaki berbeda usia. Ia masih berada di kamar, hanya mengintip melalui jendela yang ia sibak gordennya karena mendengar suara mesin mobil yang mati di halaman depan rumah mereka. Gadis itu semakin enggan keluar dari kamar, saat tahu tidak ada ayahnya di rumah itu.
Ia tidak tahu, apakah biasanya memang orang-orang di rumah itu jarang saling berbicara, atau karena kedatangannya membuat mereka sungkan hanya untuk saling bertegur sapa. Karena sejak ia datang, telinganya seperti tidak mendengar suara orang bercakap-cakap. Entah itu suara ayahnya beserta istri barunya, atau anak si istri baru yang katanya beda dua tahun di bawah usianya.
Jamila sebenarnya tidak peduli. Hanya merasa penasaran saja dengan kehidupan ayahnya selama ini. Apakah mereka bersenang-senang setelah kepergiannya beserta ibunya bertahun-tahun yang lalu, atau sama seperti ia dan ibunya, yang mentalnya begitu menderita karena menerima pengkhianatan.
Suara ayahnya bercakap-cakap dengan dua orang lelaki itu membuat Jamila ingin menguping. Oleh karena itu, ia menempelkan telinganya pada daun pintu, berusaha mendengarkan dengan saksama apa yang sedang mereka bicarakan. Sampai ketika, ia terlonjak kaget saat pintu kamarnya diketuk. Meski dengan pelan, namun tetap saja membuat jantungnya bertalu-talu karena kaget.
“Nduk? Kamu masih tidur?”
Tidur? Sekarang sudah pukul sepuluh pagi. Jamila bangun sejak azan Subuh berkumandang, dan ia tidak bisa tidur lagi setelahnya. Ia sudah mandi dan tentu saja wangi. Jamila bukan orang yang betah tidak mandi, meski kegiatannya hanya di rumah saja, ia akan tetap mandi dua kali sehari.
Setelah merapikan rambut yang sebenarnya sudah rapi, Jamila membuka pintu. Lengkap dengan wajahnya yang disetel seminim ekspresi mungkin.
Ayahnya tersenyum simpul, jempol tangan kanannya menunjuk ke arah ruang tamu, di mana dua orang lelaki yang tadi dilihatnya duduk di sana. Jamila tidak dapat melihatnya, karena area kamar berada di balik tembok ruang tamu, sehingga pintu yang menghubungkan ruang tamu dan ruang tengah tidak bisa memperlihatkan deretan kamar-kamar yang ada di sana.
“Temui tamu Bapak, ya? Kamu kenalan, mau?”
Apa salah satunya adalah calon suami pilihan ayahnya?
“Siapa emangnya?” tanyanya, pura-pura tidak peduli, padahal ia penasaran mampus.
“Kenalan Bapak. Orang baik, Nduk.”
Jamila hanya mengangguk. Mengikuti langkah ayahnya yang berjalan lebih dulu.
Ia bisa melihat kedua tamu ayahnya tersenyum sopan saat ia datang. Jamila mulai memberi nilai pada seorang lelaki yang tampak lebih muda. Fisiknya ia beri nilai tujuh. Karena meski tidak dalam golongan 'ganteng banget', tetapi masih enak dipandang. Khas suku Jawa, dengan kulit cenderung sawo matang. Matanya tidak bulat besar, tetapi tidak sipit juga. Hidungnya lumayan bangir, dipadu dengan bibir proporsional, dan rahangnya juga cukup tegas.
Tidak ada kumis ataupun cambang yang menghiasi rahangnya, hal itu membuat Jamila mendesah lega. Setidaknya, ketika mereka berciuman nanti, dia tidak akan merasa geli.
Pikiran jalangnya mulai menyusun adegan yang tidak senonoh rupanya.
“Nduk, ini Pak Darma, dan keponakannya. Namanya Ganendra,” ujar ayahnya sambil menunjuk tamunya.
Jamila mengangguk, kemudian memalingkan wajah saat istri baru ayahnya datang dengan membawa nampan berisi gelas-gelas air teh. Beruntungnya, perempuan itu tahu diri untuk tidak menampakkan wajahnya lebih lama di depan Jamila.
Mereka berbincang-bincang beberapa saat. Jamila diberitahu kalau Ganendra adalah seorang anak yatim. Ayahnya mengenal lelaki itu sejak Ganendra masih kecil, karena mendiang ayah Ganendra berkawan dengan ayahnya semasa hidup. Ganendra seorang guru di sebuah sekolah menengah pertama, yang letaknya tidak jauh dari rumah ini. Selain itu, Ganendra juga memiliki toko alat tulis di rumahnya yang berada di tepi jalan raya. Ganendra juga membuka jasa les di rumahnya. Hidup bertiga dengan ibu dan adik perempuannya, sedangkan kakak perempuannya sudah menikah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perhaps Love
Fiction généraleAkan diunggah secara berkala. Masukkan ke dalam daftar bacaan, apabila ingin mendapat pemberitahuannya nanti. *** WARNING!!! Cerita ini berisikan cukup banyak kebencian. Jamila Meirina Hendarto Ia pikir, semuanya akan indah seperti saat mereka berte...