Bab 33

1.7K 273 17
                                    

Kalau ada yang salah, atau lebih paham dari apa yang aku jelaskan di bawah, bisa komen, ya. Tapi bahasanya yang baik-baik aja, biar enak dibaca 🤗❤️ karena aku memposisikan diri sebagai orang awam, seperti Jamila.

Happy reading!

Jangan lupa kasih semangatnya 🤗❤️






























Embusan napas yang terasa hangat menerpa pundak kanan Jamila, disertai pelukan erat di perutnya. Perempuan itu mengerjap-ngerjap, membiasakan mata pada cahaya kamar yang berpendar lirih. Sekarang pasti masih tengah malam, sebab suara binatangnya dan udara yang ia hirup masih terasa berat di hidung, membuat ia ingin segera terlelap lagi. Tetapi, kehangatan di punggungnya terasa mengusik, dan membuatnya ingin membalik tubuh.

Tidak perlu bertanya lagi, siapa gerangan yang memeluknya dengan begitu posesif, sebab ia dan sang suami selesai bergumul saat jam sudah menunjukkan pergantian hari.

Tubuhnya lelah, tetapi hatinya terasa lega.

Jamila meraih tangan sang suami dan membawanya ke bibir untuk dikecup. Ia merindukan lelaki ini, tetapi masalah yang tak kunjung usai membuat mereka terpaksa merentangkan jarak lebar-lebar.

“Kamu belum tidur?” tanya Ganendra yang juga terbangun. Suaranya serak, dan langsung kembali memeluknya dengan erat. Tidak lupa melabuhkan kecupan di pundak sebelum menyusupkan wajahnya di perpotongan leher sang wanita.

“Kebangun,” jawab Jamila singkat. Perempuan itu membalik tubuh, disambut senyum, karena suaminya masih terlihat mengantuk. “Tidur lagi, nanti pagi harus ngajar, loh.”

Ganendra hanya berdeham, memeluk wanitanya dengan bahagia. “Aku seneng banget bisa tidur sambil meluk kamu kayak gini lagi.”

“Karena jadi dapet jatah?”

Ganendra berdecak, menyentil ringan dahi wanitanya dengan gemas. “Ngomongnya itu mulu. Padahal kamu juga suka.”

Jamila terkekeh kecil, tidak berniat membantah sama sekali, karena memang betul seperti itu. Ia memajukan tubuhnya dan memeluk suaminya lagi.

“Aku tetep mau ke Jakarta bentar ya, Mas?”

Entah masalah mereka selesai atau belum, Jamila sudah sangat bersyukur bisa rukun kembali dengan suaminya. Urusan keluarga suaminya, biarlah Ganendra yang mengurusnya. Jamila tidak mau lelahnya berusaha kembali tidak diterima.

“Tunggu sampai aku resign, ya?”

Jamila menggeleng kecil. “Sebentar aja. Aku beneran kangen kepingin ke kuburan Mama,” ujarnya terdengar merengek.

Ganendra menghela napas panjang, tangannya mengelus-elus punggung istrinya dengan telaten. “Tapi jangan lama-lama, ya?” Jamila mengangguk antusias. “Aku anter sampai sana.”

“Nggak usah, nanti malah kamu nggak mau pulang.”

“Katanya cuma sebentar?”

“Ya sebentar. Setengah tahun atau setahun gitu,” gurau Jamila yang langsung membuat Ganendra merenggangkan pelukan mereka untuk melayangkan tatapan tajam dan dihadiahi cengiran geli dari sang istri. “Bercanda, Mas. Takut amat ditinggalin bininya?”

“Ya takutlah! Masih aja nanya!”

Jamila jadi tergelak, ia kembali memeluk suaminya, mengusap-usapkan wajahnya di dada sang suami yang hangat.

“Aku paling numpang di tempatnya Devita.”

“Kenapa nggak di rumah tantemu aja?”

Jamila menggeleng dalam pelukannya. “Enggak mau. Males. Lagian, mending sama Devita, transportasi bisa nebeng ke dia. Kalau di rumah Tante, kan, ada mobil sendiri, tapi udah dijadiin hak milik sama mereka.”

Perhaps LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang