Kata orang, bercinta setelah ribut dengan pasangan rasanya akan luar biasa. Bisa mengembalikan hubungan menjadi lebih harmonis dari sebelumnya. Masalah akan dengan mudah terpecahkan, karena euforia setelah mendapat puncak kenikmatan itu membuat kepala terasa lebih enteng dan otak bekerja dengan lebih baik.
Jamila bisa saja melakukan itu, tetapi Ganendra juga rupanya sedang tidak ingin dekat-dekat dengannya. Mereka tidur dengan saling memunggungi, tidak ada kecupan sebelum tidur atau saat pagi hari. Ia tetap menjalankan tugasnya sebagai istri sebagaimana mestinya. Menyiapkan pakaian untuk bekerja, menyiapkan makanan, juga membersihkan rumah yang sejatinya bukan hanya tugas seorang istri. Rumah tangga itu pada dasarnya saling bahu membahu, tidak membebankan satu pekerjaan pada pasangan saja. Ada hak dan kewajiban yang mestinya berjalan sesuai ketentuannya.
Ganendra masih memberinya uang dengan teratur, karena kartu tabungannya juga dipegang oleh Jamila. Lelaki itu juga masih membantunya bersih-bersih rumah saat waktunya lengang di rumah.
Namun, hanya sebatas itu.
Mereka menjadi sangat jarang mengobrol. Berbicara pun seadanya. Jamila masih belum menceritakan yang sejujurnya kepada Ganendra. Bukan karena ia takut kalau suaminya akan sedih, tetapi ia hanya tidak mau membongkar semuanya dan malah makin membuat rumit hubungan, bukan hanya hubungannya dengan sang suami, tetapi juga dengan keluarga suaminya yang makin terasa kian berat.
Jamila baru saja meneguk obat sakit kepala, saat Bekti datang membawa kantong keresek besar.
Adik tirinya itu tampak takut-takut saat berhadapan dengannya, seolah Jamila akan memukulnya dengan sebilah bambu hanya karena menampakkan wajah di hadapannya. Jamila tidak sejahat itu, dia masih punya hati nurani.
“Kenapa?” tanyanya yang memang tidak bisa berbasa-basi.
Mereka sudah sering bertemu, dan Bekti tidak pernah bertingkah menyebalkan kepadanya. Gadis itu selalu menjaga jarak, karena tahu kalau Jamila mungkin saja tidak suka dengan kehadirannya.
“Ada buah, Mbak. Ibu bawa dari rumah Mbah Uti kemarin sore,” ujarnya sembari menyerahkan kantong keresek itu pada Jamila.
Ada nanas, salak, buah naga, bahkan kelengkeng yang sepertinya berjenis Mata Lada, karena buahnya bulat besar dan kulitnya cenderung kuning ketimbang terlihat cokelat seperti biasanya.
“Makasih,” sahut Jamila singkat. “Mau masuk?”
Tawaran itu membuat kedua bola mata Bekti membelalak. Seakan tidak percaya kalau Jamila baru saja menawarkan sebuah kebaikan kepadanya.
“Makasih, Mbak. Tapi ... aku ada janji ketemu orang,” tolaknya jujur. Kalau saja ia tidak punya janji, Bekti sudah pasti akan menerima tawaran itu tanpa berpikir panjang. Suatu hal langka saat kakak tirinya ini menawarinya seperti ini.
“Oh, ya udah. Makasih, ya.”
Bekti mengangguk-angguk dan pamit dengan senyuman lebar. Seperti baru saja mendapat suntikan kebahagiaan baru dalam hidupnya.
Ini hanya karena Jamila berbicara dengannya tanpa raut bersungut-sungut, bahkan begitu ramah, sampai menawarinya untuk masuk ke rumahnya. Tidak lagi melihatnya bagai sebuah kotoran yang harus segera dihempaskan dari hadapannya.
Jamila sedikit penasaran, karena Bekti tampak begitu terburu-buru mengendarai motornya. Firasatnya lumayan jelek tentang ini.
Entahlah, dia tidak ingin peduli. Tetapi ia tidak bisa menghentikan tubuhnya yang bergerak sendiri. Mengganti pakaian, mengambil dompet dan ponsel, lalu mengendarai motor sesuai arah yang dituju oleh Bekti.
Tidak ada yang aneh sebenarnya, karena Bekti juga pasti seperti gadis seusianya yang akan dekat dengan laki-laki. Saling menyukai, lalu berkencan dan menghabiskan waktu bersama. Asal tidak melakukan tindak perzinaan, hubungan itu tidak akan merugikan siapa pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perhaps Love
General FictionAkan diunggah secara berkala. Masukkan ke dalam daftar bacaan, apabila ingin mendapat pemberitahuannya nanti. *** WARNING!!! Cerita ini berisikan cukup banyak kebencian. Jamila Meirina Hendarto Ia pikir, semuanya akan indah seperti saat mereka berte...