Bab 31

1.6K 294 62
                                    

Kasihan banget Ganendra dihujat mulu 😅

Nih, hujat aja dia lagi wkwkwk
































Ganendra tidak membawanya kembali ke rumah mereka, melainkan pergi ke rumah sang mertua, setelah kembali dari rumah ayahnya.

“Kenapa kita ke rumah Ibu?” Jamila bertanya dengan nada gusar, kentara sekali kalau ia enggan. Dia hanya tidak mau dituduh mengadu pada Ganendra dan berniat mengadu domba antara ibu dan anak, setelah Ganendra tahu bahwa ayahnya pun mendengar dari desas-desus yang beredar di sekitar mereka.

“Biar permasalahannya selesai,” ujar Ganendra singkat.

Jamila hanya mendengkus, tak yakin bahwa permasalahan mereka akan selesai hanya dengan mengonfrontasi ibu mertuanya. Perasaan suka pada seseorang tidak bisa dipaksa, dan Jamila juga tidak mau ia disukai karena terpaksa.

“Kalian dari mana? Kok, kamu masih pakai baju seragam, Mas?” tanya sang ibu mertua, saat melihat anak lelakinya dan sang menantu datang di sore hari.

Langit bahkan hampir gelap, burung-burung sawah juga sudah terlihat terbang melintasi atas rumah mereka.

“Belum pulang ke rumah, Bu,” sahut Ganendra setelah menyalami ibunya, lalu menggandeng tangan sang istri agar mengikutinya masuk. “Kami mau ngobrol sama Ibu,” lanjutnya tanpa berbasa-basi.

Jamila sebenarnya kasihan melihat suaminya tampak kacau, lesu, dan kalau diperhatikan lebih jeli, Ganendra sedikit lebih kurus dari sebelumnya. Lingkaran matanya juga terlihat gelap.

Apakah lelaki itu tidak nyenyak tidur karena tidak tidur di kamar mereka?

“Ada apa? Tumben-tumbenan.”

“Putri di mana?”

Sang ibu mengibaskan tangannya, “Lagi ke rumah mbakmu,” sahut wanita tua itu sembari ikut duduk, “mau ngobrol apa?”

Ganendra menghela napas lelah, ia mengusap wajahnya terlebih dulu dan memejamkan mata untuk beberapa saat. Dalam diam dan matanya yang terpejam, Ganendra meraba-raba, mencari tangan sang istri, lalu menyisipkan jemarinya di sela-sela jemari sang istri, yang mencipta raut bingung di wajah Jamila. Namun, perempuan itu hanya diam, membiarkan suaminya melakukan itu.

“Bu, apa sesulit itu anggap Jamila jadi anak Ibu sendiri?” tanya Ganendra dengan suara lirih. Ia masih memejamkan mata, dengan tangan yang menggenggam tangan istrinya ia jadikan sebagai penyangga antara dahi dan lutut. “Ibu dulu pernah bilang, kita mungkin nggak akan bisa semudah itu bangkit, kalau nggak ada bapaknya Jamila.”

Apakah ini tentang utang budi lagi?

Jamila menahan dengusnya, ia menatap wajah sang mertua yang sepertinya mulai tahu, ke mana arah pembicaraan ini.

“Apa maksud kamu, Mas? Kenapa tiba-tiba ngomongin masalah ini? Kamu ada masalah sama mertuamu?”

Ganendra sontak membuka mata dan mengangguk berulang kali. “Tentu, Bu. Tentu. Aku ada masalah dengan mertuaku,” sahutnya santai, lalu kembali mengusap wajah.

Sri mendengkus mendengarnya. Ia menatap menantunya yang sejak tadi hanya diam mendengarkan.

“Kenapa? Mertuamu minta balasan utang budi itu? Nggak cukup kamu menikahi Jamila? Nggak cukup kamu lepasin kerjaan kamu untuk ikut ngurus pabrik?”

Jamila tidak mengerti, apakah kebanyakan orang memang cara berpikirnya seperti ibu mertuanya?

Oke. Jamila bukannya ingin menyepelekan, dia tahu kalau menjadi guru itu pasti ada nilai tambahnya sendiri di mata masyarakat. Tetapi Ganendra belum menjadi pegawai, dia masih menjadi guru honorer, yang untungnya mengajar di sekolah yayasan, sehingga gajinya tidak begitu mengelus dada. Menjadi pengajar les juga terlalu besar bayarannya, karena suaminya itu mematok harga terlalu rendah menurutnya. Lalu, toko juga tidak setiap hari ramai, dan hasil penjualan juga dibagi untuk Putri juga, karena gadis itulah yang mengurus toko dengan tekun.

Perhaps LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang