Jamila tidak tahu mengapa Ganendra tidak jadi marah kepadanya. Lelaki itu sepertinya tidak melanjutkan tidur setelah ia tidur lebih dulu. Membantunya menyiapkan sarapan, meski Jamila sudah melarangnya, karena lelaki itu kan harus berangkat bekerja. Namun, setelah lelah mendengar Jamila mengusirnya dari dapur, Ganendra akhirnya mengatakan kalau ia ingin mengambil libur dadakan hari ini.
“Kamu maunya berangkat kapan?” Lelaki itu bertanya sembari menyudahi sarapannya. Pukul tujuh lebih lima belas menit, dan mereka baru selesai sarapan. Seperti hari-hari saat Ganendra libur.
Sebenarnya, Jamila agak takut dengan keadaan ini. Suaminya seperti tidak pernah mendengar percakapan yang cukup emosional semalam, membuat Jamila dirundung gusar tak berkesudahan.
“Belum tahu,” sahut Jamila pelan. “Kamu ngasih izin emangnya?”
Kening Ganendra mengerut, entah karena pertanyaan yang diucapkan oleh istrinya atau karena kopi yang sedang disesapnya.
“Loh, semalam, kan, aku bilang boleh. Asal jangan lama-lama,” kata lelaki itu santai. “Udah belum makannya? Sini, aku yang nyuci piringnya.”
Ganendra bangkit untuk merapikan meja dan benar-benar mencuci peralatan kotor yang ada. Hal ini jelas membuat Jamila semakin dilanda kegelisahan.
Apakah Ganendra sedang berbaik hati untuk memukulnya mundur nanti?
“Nanti kita ke stasiun, ya? Beli tiket kereta dari sekarang, kan, nggak bisa langsung berangkat hari itu juga, harus dibeli beberapa hari sebelumnya,” ujar lelaki itu dengan punggung yang bergerak, mengikuti gerakan tangan yang sedang membilas perkakas.
Jamila diam saja, ia tetap duduk dengan tangan saling bertaut di atas meja makan.
“Kamu ... beneran nggak apa-apa kalau bolos begini, Mas?” tanya Jamila lagi. Ia takut kalau sang suami akan mendapat sangsi kalau tiba-tiba minta cuti seperti ini.
“Nggak apa-apa. Sesekali doang. Aku izin bilangnya mau nganterin kamu kontrol ke rumah sakit.”
Jamila langsung menoleh kaget. “Kontrol apa?”
Ganendra membalik tubuh sembari mengibaskan kedua tangannya yang basah. Ia mencari-cari serbet, dan menemukannya digantung di samping kulkas. “Cek kesehatan kamu,” ujarnya sembari mengeringkan tangan. “Kamu belum cek lagi, kan?”
“Udah pernah, kok.”
“Ya udah nggak apa-apa, kita konsultasi aja ke dokter kandungan,” kata lelaki itu lagi, yang kini sudah kembali duduk di samping sang istri. Ganendra tersenyum kecil, ia meraih tangan Jamila dan menggenggamnya. “Kamu mau, kan, punya anak sama aku?”
Jamila tertegun, menatap tangannya yang diselimuti tangan besar dan hangat milik suaminya. Rasanya sudah lama sekali mereka tidak seperti ini. Percintaan semalam tentu saja tidak bisa dihitung, karena sentuhannya tentu terasa berbeda. Genggaman kali ini tidak menimbulkan percikan gairah, mereka murni hanya bergenggam tangan.
“Kalau ternyata aku emang susah punya anak, gimana?”
Ganendra mengembuskan napas panjang, lalu menarik kursinya agar lebih dekat dengan sang istri. “Ya kita usaha aja dulu. Kalau emang Allah belum kasih, ya nggak apa-apa. Dulu udah pernah bahas, kan?”
Iya, sih, tetapi Jamila tetap merasa takut. Dia sedang ada di tahap kembali berharap pada hubungan mereka. Percintaan semalam bisa dijadikan bukti bahwa mereka sudah baik-baik saja, kan?
Di beberapa kasus, bercinta memang merupakan kegiatan rutin yang hanya dimaksudkan untuk merelakskan tubuh, mengeluarkan gelembung endorfin tanpa harus repot-repot mengaitkannya dengan perasaan lain, apalagi cinta. Itulah sebabnya banyak orang yang senang-senang saja berhubungan badan dengan orang asing. Apa istilahnya? One night stand? Hubungan singkat yang memang pokok utamanya untuk bercinta. Kalau tidak ada pasangan yang bisa diajak untuk berhubungan, tinggal mencarinya di aplikasi tertentu dengan memesan 'pekerja' yang memang dikhususkan untuk hal seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perhaps Love
General FictionAkan diunggah secara berkala. Masukkan ke dalam daftar bacaan, apabila ingin mendapat pemberitahuannya nanti. *** WARNING!!! Cerita ini berisikan cukup banyak kebencian. Jamila Meirina Hendarto Ia pikir, semuanya akan indah seperti saat mereka berte...