Bab 17

1K 196 12
                                    

Selamat membaca 🤗






















Rasanya sepi sekali.

Itu yang dirasakan Jamila semenjak Devita kembali ke ibukota. Tidak ada lagi yang mengajaknya haha-hihi di rumah. Ganendra yang juga semakin sibuk dengan kegiatannya di sekolah. Bu Atik setiap hari masih datang dan bekerja, meski memang tidak lagi menginap di rumahnya.

Di saat-saat seperti ini, Jamila pasti memikirkan kalau ia tidak akan kesepian jika memiliki anak. Hidupnya akan sibuk mengurus anak yang lucu dengan segala tingkahnya.

Bukan hal aneh kalau perempuan di usianya yang sekarang memikirkan itu, kan?

Akan tetapi, ia kembali teringat dengan hidupnya yang belum sesuai dengan keinginannya. Ia tidak bisa egois memenuhi semua inginnya, dengan mengabaikan orang lain. Ucapan Devita mengenai anak yang akan membuat Ganendra lebih terikat dengan dirinya, tidak lantas membuat Jamila turut berpikir demikian.

Menilik dari hidupnya sendiri, anak tidak menjadi jaminan bahwa orangtua akan bersikap benar selamanya. Akan ada hal-hal yang membuat anak tidak lagi merasa berharga untuk hidup kedua orangtuanya. Lagi pula, egois sekali memaksa Ganendra bertahan bersama dirinya hanya karena ada anak di antara mereka.

Biar saja orang-orang berpikir bahwa ia terlalu buruk menilai masa depan. Akan tetapi, kenangan buruk tentang rumah tangga ayah dan ibunya tidak bisa enyah begitu saja dari pikiran.

Ia membuka salah satu kabinet yang ada di dapur. Merogoh agak dalam untuk menemukan pil kontrasepsi yang rutin ia konsumsi setiap harinya. Kalau mendapatkan obat ini harus dengan persetujuan suami, berarti Jamila mendapatkannya secara ilegal. Ia tidak pernah membicarakan hal ini bersama Ganendra, sehingga tidak merasa perlu izin dari lelaki itu untuk mengonsumsi pil pencegah kehamilan ini.

Sudah berapa bulan mereka menikah? Sudah berapa banyak waktu yang ia dan Ganendra habiskan untuk memadu kasih berdua?

Jamila tidak ingat. Atau lebih tepatnya, tidak ingin mengingat-ingat.

Namun, ada hal-hal yang sebenarnya tidak ingin ia ingat, tetapi selalu saja muncul di pikirannya. Seperti apa yang dulu dilakukan ayahnya, yang selalu muncul begitu saja tanpa ia minta. Ucapan orang-orang tentang kehidupannya, seolah tahu segala sesuatu yang sudah terjadi padanya pun, membuat Jamila terusik tidak nyaman.

“Yo nggak mau gimana, kalau dijanjikan hidup enak? Perkara tadinya Nendra pacaran sama Ratih, kalau ditawari jadi mantu juragan yo pasti mau.”

Jamila tidak tahu siapa yang berkata seperti itu. Ia hampir tidak pernah bertemu dengan tetangga kalau tidak untuk keperluan penting. Ia yang sebelumnya hendak pergi ke warung yang ada tidak jauh dari belakang rumahnya pun tertegun.

Nendra adalah panggilan sang suami dari orang-orang sekitar. Termasuk oleh murid-murid lelaki itu.

“Siapa yang ndak tahu kalau Mbak Asti itu maunya mantu pegawai? Lah wong Wiwit aja jadinya nikah sama Tanto, kan?” suara lain menimpali di antara berisik suara sapu lidi dan tanah.

Wiwit adalah kakak Ganendra, kakak iparnya. Mereka tidak dekat, karena selain sangat jarang bertemu, Wiwit juga seolah enggan akrab dengan Jamila. Sapaan Jamila hanya digubris seadanya.

“Loh? Katanya Ratih udah putus sama Nendra? Yang bener tuh, yang mana?”

“Tsk! Yo emang udah putus, tapi, kan, maunya Mbak Asti itu kalau punya mantu ya kayak Ratih itu. Pegawai, yang kerjanya pakai seragam itu.”

Jamila tertegun mendengarnya.

Apakah semua ibu-ibu di Indonesia Raya ini begitu menggilai menantu dengan pekerjaan sebagai pegawai negeri?

Perhaps LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang