Bab 14

1.1K 186 7
                                    

“Jadi,” Devita menggantung ucapannya, perempuan itu menoleh dan menyipitkan mata saat menatap Jamila. “Udah ngerasain enaknya jadi istri?”

Jamila tahu apa yang dimaksud oleh Devita. Perempuan itu pun mendengkus, mengabaikan tawa Devita yang mengudara. Sahabatnya itu baru sampai sekitar setengah jam yang lalu, dijemput olehnya dan seorang pekerja ayahnya yang kebetulan akan memetik kelapa di kebun belakang. Jamila tidak bisa membawa orang dan koper sekaligus dengan menggunakan motor, itu sebabnya, ia meminta bantuan Mas Bagol, panggilan pekerja ayahnya itu, untuk membantu dirinya.

Devita terlihat begitu antusias saat datang, apalagi setelah melihat-lihat rumah tua yang menjadi hunian mereka sekarang.

“Gue jadi penasaran tampang laki lo sebenernya kayak gimana. Nggak sabar mau kenalan gue,” kata perempuan itu lagi, lalu kembali tertawa.

“Nggak usah ganjen sama laki orang!”

Bu Atik yang melihat itu pun hanya dapat menggelengkan kepalanya. Di satu sisi, ia senang melihat majikannya bisa bertemu temannya. Menampilkan ekspresi yang sangat jarang ia lihat. Karena biar bagaimanapun, Jamila terlihat masih membatasi dirinya dengan orang-orang di sini, tidak terkecuali dengan suaminya sendiri.

“Lo enak, dong, ada Bu Atik yang ngerjain ini itu. Jadi nyonya beneran ya lo sekarang?”

Bu Atik tersenyum. Mereka sedang ada di dapur, yang memang merangkap sebagai ruang makan. Ruangan itu bahkan bisa dibilang ruangan paling luas yang ada di rumah itu.

“Ya enggak, dong. Mbak Mila juga sering ngerjain apa-apa sendirian, kok,” bela Bu Atik, membuat Jamila menjentikkan jemarinya.

“Tuh! Dengerin kata Bu Atik. Jangan fitnah doang lo!” sambut Jamila senang, karena ada Bu Atik yang membelanya.

“Ya kali aja lo sekarang gaweannya cuma leha-leha doang. Secara ya, dari dulu kan lo apa-apa juga sendirian. Kirain sekarang waktunya balas dendam jadi nyonya rumah.”

Jamila meringis mendengar perkataan Devita. Ia memang sudah menceritakan banyak hal kepada Bu Atik, tetapi tidak menceritakan bahwa kehidupannya dulu lumayan menyedihkan, sehingga patut dilirik oleh sutradara untuk dijadikan film layar lebar.

“Enggaklah ya, Bu. Aku juga sering ngerjain kerjaan rumah, ya?” Jamila mencari pembelaan lagi.

Bu Atik mengangguk. “Iya. Malah kadang Ibu bingung, mau ngerjain apa. Orang Mbak Mila apa-apa suka dipegang sendiri.”

Jamila meringis lagi.

“Mila, sih, emang nggak enakan orangnya, Bu. Dari dulu begitu. Makanya dia nggak sadar pas dibegoin sama keluarganya di Jakarta sana,” ungkap Devita yang membuat Jamila melotot, lalu melemparkan serbet ke arahnya. “Ish! Gue ngomong apa adanya. Duit yang bokap lo kirim juga banyak yang dikasihin ke mereka, kan? Belum lagi pas elo udah kerja. Apa, sih, yang nggak lo bantu buat mereka? Lo baru tahu boroknya mereka pas nyokap lo nggak ada, kan?”

Jamila hanya berdecak. Enggan menanggapi itu. Ia tidak mau membuka luka lama, apalagi di hadapan Bu Atik, lalu dipandang dengan tatapan iba. Ia tidak suka itu.

“Eh, itu yang metikin kelapa belum kelar, kan?” tanya Devita penasaran.

Devita bergerak ke pintu luar dapur, menengok ke arah kebun yang memang sedang ada beberapa orang panen. Termasuk Mas Bagol.

“Kenapa? Lo mau kelapa muda?”

Devita mengangguk. “Boleh nggak, sih?”

“Ya bolehlah! Biasanya, sih, gue dipetikin sama Mas Bagol kalau dia panen.”

“Lihat ke sana, yuk, Mil!”

“Lah? Ngapain? Ngeri ntar kejatuhan kelapa, benjol pala lo!”

Devita berdecak malas, sedangkan Bu Atik terkekeh di belakang mereka.

Perhaps LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang