Selamat hari Minggu!
Pada sore harinya, rekan-rekan sesama guru yang mengajar di satu sekolah yang sama dengan Ganendra pun datang menjenguk, sekaligus mengantarkan motor dan tas kerja milik lelaki itu dengan baik. Jamila tidak mungkin menampilkan raut wajah yang tidak enak dipandang, dia tetap berusaha tampak baik-baik saja dan menemani suaminya menerima tamu.
Ayah dan mertuanya pun kembali datang, lengkap dengan para ipar yang membuat Jamila sukses mengencangkan rahang sedari tadi.
Melihat bagaimana repotnya sang mertua menjamu para tamu, tanpa membiarkan ia untuk ikut membantu, membuat perasaannya semakin tidak menentu. Ia harus menahan itu semua demi menjaga nama baik suami sekaligus keluarga mereka.
Lagi pula, kenapa ibu mertuanya seolah adalah nyonya di rumah ini? Kalaupun ia dan Ganendra mengontrak, yang menjadi nyonya rumah tetaplah dirinya. Tetapi, seakan-akan ibu mertuanya yang tahu segalanya. Ia hanya disuruh untuk duduk menemani suaminya, sedangkan ibu mertuanya mengurus ini dan itu. Iya kalau bibirnya diam dan tidak banyak berkomentar, perempuan bernama Sri itu justru kerap kali sembari merepet lirih, yang tentu saja Jamila dengar, karena seperti dengan sengaja diucapkan ketika berada di sekitarnya.
“.. ini harusnya kayak gini..,”
“.. nggak boleh kayak begitu, nggak baik..,”
“.. jadi istri itu harusnya..,”
Dan masih banyak lagi perkataan lirih lain yang membuat telinga Jamila memerah karena mendengarnya. Suaminya pun hanya menenangkannya dengan menggenggam tangannya tanpa mengatakan apa pun.
“Pak Nendra nanti kalau udah resmi nggak ngajar lagi, berarti tinggal ikut kerja sama Pak Darto, ya?”
Ayahnya lumayan dikenal banyak orang, karena pekerjanya pun bukan hanya dari warga sekitar rumah mereka saja. Beberapa dari desa lain yang masih satu kecamatan yang sama.
“Iya, daripada kerja di tempat lain, mending ikut saya terjun ngurusin kelapa. Malah jadi enak, bisa sering pulang ketemu Mila,” sahut sang ayah yang memancing tawa dari para tamu.
“Pak Darto bisa aja. Tapi ya, memang, sih, Pak ... saya sendiri juga kalau nyampe rumah udah capek, interaksi sama anak dan istri jadi jarang. Hari libur kadang masih juga ada kegiatan,” timpal guru laki-laki lain yang bertubuh agak gempal. Sedari tadi tidak berhenti mengudap jeruk yang ada di meja.
“Loh gimana, to? Pak Luki hobinya mancing, ya jelas jarang ada di rumah.”
“Ya itu kadang aja, Bu. Buang stres. Toh hasilnya bisa buat makan anak-anak di rumah.”
Ayah dan suaminya tertawa dengan perdebatan kecil itu. Jamila hanya menampilkan senyum kecil, apalagi mendengar tawa kecil dari belakang, di mana mertua dan iparnya tengah berkumpul.
“Bu Mila di rumah aja berarti tiap hari, ya?” seorang guru wanita bertanya setelah meletakkan kembali air kemasan gelas ke atas meja.
Jamila mengangguk kecil. “Iya, Bu. Biar Mas Ganen aja yang kerja, nanti kalau dua-duanya kerja, sama-sama capek, malah jadi nggak bisa punya quality time,” sahut Jamila setengah guyon.
Dia sebenarnya tengah menegaskan pada mertua dan kakak iparnya yang pernah kedapatan membicarakan soal dirinya yang hanya ongkang-ongkang kaki di rumah. Jamila tahu, Wiwit membuka warung di rumahnya sendiri, sebagai jalan lain untuk membantu keuangan keluarga tanpa harus bekerja. Katanya, seharusnya Jamila setidaknya ikut membuka warung kalau tidak mau bekerja di tempat orang. Toh Jamila belum hamil, dan jangan sampai hanya bisanya minta uang pada suami ataupun ayahnya, karena perempuan pun seharusnya bisa menghasilkan uang untuk dirinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perhaps Love
General FictionAkan diunggah secara berkala. Masukkan ke dalam daftar bacaan, apabila ingin mendapat pemberitahuannya nanti. *** WARNING!!! Cerita ini berisikan cukup banyak kebencian. Jamila Meirina Hendarto Ia pikir, semuanya akan indah seperti saat mereka berte...