Bab 24

1.1K 214 22
                                    

Selamat malam~

Selamat membaca!





























Betapa kagetnya Jamila saat ia sedang berbelanja di pasar, lalu dikabari bahwa suaminya dibawa ke puskesmas karena mengalami kecelakaan. Ia yang memang kini melakukan apa pun sendiri, jadi harus serba tanggap sendiri.

Mengabaikan keperluan dapur yang belum sempat ia beli, Jamila mengendarai motornya ke puskesmas yang disebut. Sang suami sedang diberi tindakan oleh dokter. Dua orang guru yang sepertinya mengantarkan sang suami ke sana, menceritakan awal mula mengapa Ganendra bisa sampai celaka seperti itu.

“Kayak biasanya, tiap hari pasaran kayak sekarang, kan, jalanan rame banget, Bu. Jadinya ada beberapa guru yang bantu ngatur lalu lintas di depan. Pak Nendra kebetulan pas baru nyampe, langsung bantu-bantu di depan. Pas posisi udah sepi karena bel masuk mau bunyi, tiba-tiba aja ada anak sekolah lain naik motornya kencang, mau nyalip angkot yang lagi nurunin penumpang, tapi nggak lihat-lihat depannya ada orang. Pak Nendra yang lagi bantu ibu-ibu karena hampir jatuh, malah diseruduk,” jelas salah seorang guru yang memiliki tag nama Karsiman.

Jamila meringis ngilu. Pasalnya, dilihat dari luar pun, suaminya tampak tidak baik-baik saja. Lengannya dibebat kain kasa, dan beberapa luka lain juga tampak, meski tidak terlihat parah. Tetapi, siapa yang tahu ada luka di dalam, kan?

“Korbannya cuma suami saya aja, kan, Pak?”

Jamila khawatir kalau ada korban lain selain suaminya.

“Ya anak yang nabrak tadi, Bu. Itu, yang di sebelah Pak Nendra.”

Jamila mengikuti arah tunjuk Pak Karsiman. Memang ada anak sekolah lain yang sedang menangis karena terlihat terluka juga.

Seorang ibu yang tampak khawatir, mendekat sambil menanyakan kondisi anaknya pada petugas. Rupanya ibu dari si anak yang lantas semakin menangis karena dimarahi oleh ibunya.

“Ibu udah bilang, kan, nggak boleh bawa motor ke sekolah! Ngeyel kalau dikasih tahu!”

Jamila masuk ke ruangan itu, karena suaminya sudah selesai ditangani dan tampak meringis kesakitan dengan tangan kanan yang dibebat.

“Masih ada yang sakit lagi, nggak?” tanyanya sembari membantu suaminya turun dari brankar.

Ganendra menggeleng. “Enggak. Cuma paling bokongku gosong, karena jatuhnya duduk tadi,” bisiknya di samping telinga sang istri, karena takut didengar orang lain.

Si ibu mendekat sambil memasang wajah bersalah.

“Pak, Bu ... maafin anak saya, ya? Bandel banget soalnya dia. Nanti biar biaya berobatnya, saya yang lunasi,” ujar si ibu setelah menyalami keduanya.

“Oh, nggak usah, Bu. Nggak apa-apa, saya bayar sendiri aja,” tolak Ganendra.

“Pak, jangan begitu. Saya tambah nggak enak.”

Ganendra tersenyum ramah. “Nggak apa-apa, Bu. Saya juga cuma lecet-lecet ini.”

Jamila sebenarnya ingin memarahi si anak yang sudah menyebabkan suaminya terluka seperti ini. Tidak tahu saja, jantungnya seperti hampir copot saat salah satu dari dua guru yang mengantarkan Ganendra tadi menghubunginya. Kalau terjadi sesuatu pada suaminya, entah bagaimana Jamila akan bersikap nantinya.

Mereka pulang setelah menyelesaikan administrasi dan mengambil obat untuk pemulihan. Dua guru yang sebelumnya mengantar pun, sudah berpamitan untuk kembali ke sekolah. Ganendra bersikeras menolak pengobatannya dibayarkan oleh orangtua si anak, tetapi mengatakan akan menyambut mereka di rumah, karena si anak sudah berjanji akan datang untuk meminta maaf lagi.

Perhaps LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang