Bab 30

1.5K 284 38
                                    

Tidak ada yang lebih penting dari kebahagiaan putrinya bagi Hendarto untuk saat ini. Belum lama ini, ia amat bahagia melihat putri yang begitu ia cintai itu, datang bersama anak tirinya, meski sambil bersungut-sungut menahan kesal.

“Jangan kasih Bekti pergi sama pacarnya lagi! Siapa itu, aku nggak tahu namanya. Tapi dia cowok kurang ajar, nggak pantes buat Bekti!” ujarnya dengan begitu menggebu-gebu. Dan setelah mengatakan itu, Jamila pergi begitu saja.

Bekti mengatakan apa yang terjadi hari itu. Dari awal dia mendatangi rumah Jamila, lalu sampai ke rumah orangtuanya setelah menghabiskan bakso bersama-sama. Hendarto tahu kalau Jamila tidak jahat, anak perempuannya hanya sakit hati dan kecewa, dan ia tidak bisa meletakkan rasa bencinya pada orang yang tidak bersalah.

Sejak saat itu, hubungan kedua anaknya semakin membaik. Hendarto terlalu senang, sampai ia merasa ada sesuatu yang salah dengan putrinya itu. Dia yang tidak punya begitu banyak waktu untuk menganggur, kemudian menyuruh Bekti untuk sering-sering mengunjungi sang kakak, sekaligus merekatkan hubungan mereka agar lebih dekat.

Simpang siur berita yang didengarnya dari para tetangga tentang kondisi rumah tangga anaknya pun tidak bisa membuat ia menutup telinga. Hendarto amat ingin mengetahui apa yang sedang terjadi sebenarnya. Ia tahu kalau besannya tidak begitu menerima sang putri, karena merasa semua yang ia berikan waktu dulu adalah perangkap untuk membuat Ganendra merasa berutang budi kepadanya. Padahal, dia tidak sepicik itu.

Hendarto tetap berharap kalau rumah tangga putrinya baik-baik saja. Ganendra memperlakukan anaknya dengan baik. Mereka terlihat sangat harmonis. Tidak ada hal buruk yang terjadi, hingga beberapa waktu yang lalu, Bekti mengatakan fakta yang membuat ia terguncang.

“Aku nggak tahu bener atau enggak, karena Mbak Mila cuma ngomong kayak gitu sama aku,” kata anak tirinya yang turut menangis saat menceritakan kisah rumah tangga Jamila.

“Memangnya, Ratih nggak jadi nikah sama yang waktu itu, Pak?” sang istri bertanya dengan raut khawatir yang sama seperti dirinya. “Kenapa jadi begini, sih?”

Hendarto tahu kalau dulu Ganendra memiliki hubungan dengan anak sang mantan lurah di sana, tetapi tidak berpikir kalau hubungan itu masih terjalin sampai saat ini. Ia tidak akan meminta lelaki itu untuk menikahi putrinya, kalau saja ia tahu bahwa Ganendra masih memiliki hubungan dengan perempuan lain.

“Mbakmu baru cerita itu aja, Nduk? Ndak cerita apa-apa lagi?”

Bekti menggeleng sendu. “Tapi, ibunya Mas Nendra juga kayaknya masih berharap sama Mbak Ratih nggak sih, Pak?”

Hendarto berdecak, tidak habis pikir dengan kelakuan besannya itu. “Biasanya masmu itu pulang ngajar jam berapa, Nduk?”

“Jam setengah lima biasanya baru nyampe rumah, Pak.”

“Sore amat? Anak-anak sekolah sekarang sampai sore?”

“Guru, kan, tugasnya juga banyak, Pak,” sahut sang istri yang berusaha menenangkan suaminya. “Kita telepon aja, suruh ke sini dua-duanya. Kasihan Jamila kalau kayak gitu.”

“Tolong telepon mbakmu dulu, Nduk. Suruh ke sini sekarang,” ujar Hendarto pada Bekti, ia lantas memegang kepalanya yang berdenyut dan mengaduh. “Aduh! Pusing banget kepalaku, Bu!”

“Aku jemput aja ke rumahnya apa gimana, Pak?” saran Bekti yang langsung disetujui ayahnya.

Bekti kembali ke rumah Jamila dan meminta kakaknya itu untuk ikut dengannya.

“Bapak marah, Ti?”

Bekti menggeleng. “Enggak marah, Mbak. Bapak khawatir, makanya Mbak disuruh ke sana.”

Perhaps LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang