Bab 1

294 14 0
                                    

Jangan lupa vote dulu, ya...

"Alvino Pratama Pranaja." ia menghela nafas panjang-panjang, tidak ada yang tahu jika pensil yang ada digengggamannya sebentar lagi akan patah.

Sedangkan orang yang disebutkan namanya itu menyeringai bak singa, tampak tidak kalah emosi dibandingkan Jeno. Tatapannya tertuju ke benda pipih yang mungkin sudah lima kali mengeluarkan suara, menampilkan nama Zaky dilayar. Dengan segela umpatan yang tertahan Tama menekan ikon merah yang ada dilayar ponsel. Sialnya ponsel itu kembali mengeluarkan suara menampilkan nama yang sama.

"Gue angkat telepon dulu." Tama berucap bersamaan dengan dirinya yang bangkit dari tempat duduk, tapi ia menjadi terdiam ditempat disaat Jeno berucap.

"Batalin aja deh rapat hari ini!" marah pria itu sambil melempar pensil yang sudah patah menjadi dua kearah Tama. Setelah itu Jeno menyandarkan tubuhnya kesandaran kursi, masih dengan pandangan yang tajam kearah Tama. "Lo itu udah telat satu jam, Tama! Tolong hargain kita!"

"Lo itu maunya apasih? Minggu kemarin nggak bisa, yaudah nggak apa-apa. Kemarin juga nggak bisa, kita masih toleran. Lo yang butuh, lo yang nentuin hari, kita yang nyesuaiin, oke. Lo minta hari ini jam 10, jam 11 lo baru masuk ruangan, oke nggak apa-apa. Rapat baru mulai, tapi lo mau ijin keluar. Berarti hari ini lo juga nggak bisa? Mau nya hari apa, pak bos?" Danil mengeluarkan semua uneg-unegnya sambil memutar-mutar kursi yang ia duduki kekiri dan kekanan.

Danil memandang Jeno, keduanya sama-sama melemparkan senyuman miring. "Kita mah sama cucu yang punya sekolah nurut aja," lanjut Danil.

"Jadi kapan rapat ini bisa dilakukan? pelantikan lo sebagai ketos bentar lagi. Tapi kalau ditunda lagi--" Jeno menghentikan ucapannya, ia tersenyum miring sembari menggeleng-gelengkan kepalanya tidak habis pikir. "Benar-benar nggak punya otak lo!" suata Jeno meninggi, sedari tadi berusaha mengontrol emosi, tapi ia sudah benar-benar muak. Tidak ingin dikuasai oleh emosi, Jeno keluar dari ruangan diikuti oleh anggota lainnya. Menyisakan Tama dan Adista yang tampak memandang Tama dengan wajah yang bengis.

Adista selaku calon wakil ketua Osis memukul meja dengan kasar, matanya tampak tajam tertuju kearah Tama yang tidak jauh didepannya. "Lo apa-apaansih?!" betak gadis berkacamata bulat itu. "Sadar nggak sih, kita itu bentar lagi bakal dilantik. Kita butuh mereka, tapi lo malah kayak gini. Niat ga sih lo jadi ketos?" Adista tidak habis pikir dengan Tama yang berbuat seenaknya saja.

"Iya, niat. Gue juga kesal sama si Zaky yang nelpon-nelpon gue dari tadi, padahal telepon tuh anak udan gue tolak berkali-kali." Tama melakukan pembelaan.

Adista berdecak. "Kesalahan lo nggak cuman dibagian ini aja, bego! Kapan bisa rapat, minggu depan aja. Jadi nggak rapat, enggak besok aja. Eh besoknya nggak bisa juga. Telat juga. Semuanya nggak bisa seenaknya lo aja! Sekarang lo atur aja semuanya, gue capek!" Adista keluar dari ruangan meninggalkan Tama sendiri dengan perasaan carut marut.

Tama mendudukan bokongnya dengan kasar, menggigit jari sendiri dengan pikiran yang sibuk mencari jalan keluar atas masalah ini. Tama tadi memang telat, tapi itu bukan kemauannya. Ada ulangan mendadak tadi, jadi ia tidak bisa meninggalkan kelas, bisa-bisa ia dihabisi oleh Dharma kalau tidak ikut ulangan. Semuanya terasa serba salah. Masalah Zaky menghubunginya itu diluar kendali. Sebelumnya Zaky tidak pernah menelpon karena memang mereka tidak berteman, walau sekelas sekalipun.

Tama menarik rambutnya frustasi, berteriak keras-keras tanpa khawatir suaranya didengar orang karena ruangan kedap suara. Umpatan keluar dari mulut pria itu, kala nama Zaky kembali muncul dilayar handphone. Tama menerima panggilan sesaat setelah menghela nafas.

"Ngapain lo nelpon gue?" tanya Tama dengan suara rendah seperti biasa, berlagak tidak terjadi apa-apa sebelumnya.

"Kamu nanyea? Kamu bertanya-ta--"

Lukisan Untuk Tama (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang