31

35 3 0
                                    

Seorang  wanita dengan setelan jas yang dipadukan den rok hitam selutut masuk kedalam  ruangan dengan wajah yang penuh kebengisan. Dilemparkannya beberapa kertas yang dipegangnya kemeja Tama. Ia melepaskan kaca matanya dengan gerakan cepat sesaat sebelum menunjuk-nunjuk Tama dengan mulut yang moyong-moyong kala memarahi Tama dengan suara yang cukup keras. "Lihat pekerjaan kamu! Jangan mentang-mentang kamu cucu dari pemilik perusahaan ini kamu bisa seenaknya dalam bekerja. Lihat!" perempuan itu mengangkat lembaran kertas itu dan kembali meleparkannya keatas meja Tama . "Kamu bekerja nggak becus! dan pastinya nanti kita yang kena marah sama kakek kamu, bukan kamu! Perbaikin semuanya dalam waktu dua jam! Nanti saya akan datang kesini untuk mengecek kerja kamu." Perempuan itu berlalu setelah menutup pintu dengan kasar. 

Tama menjatuhkan bokongnya dengan kasar, menghela nafas panjang dengan tangan yang mengacak-ngacak rambutnya sendiri. Dijangkaunya kertas itu dan dilihatnya beberpa saat sebelum ia meleparkannya kesembarang arah lalu berteriak dengan tangan yang lagi-lagi mengacak rambut.

Tama sudah mulai sekolah. Tidak ada bimbel seperti sebelumnya. Tidak ada tuntutan dari Dharma, tapi Dharma beharap Tama bisa melakukan semuanya dengan baik dan mendapatkan hasil yang baik pula. Kata Dharma Tama pasti bisa mendapatkan hasil yang terbaik jika Tama bersungguh-sungguh dan tidak bermain-main dalam belajar. Tapi nyatanya, tidak semudah itu. Tama tetap mendapat nilai kecil seperti biasa walau ia sudah mengorbankan waktu tidurnya untuk belajar. Dharma tidak marah, tapi Pram yang kini satu rumah dengannya diam-diam memarahi Tama saat itu dengan suara yang pelan agar tidak diketahui oleh Dharma. 

Pram bertanya apa yang diinginkan Tama selain melukis, Tama malah diam. Pram mengatkan jika ia bingung dengan diri Tama, tapi Tama lebih bingung lagi. Selalu tidak becus melakukan apapun. Bahkan Hendra saat itu sempat membentaknya karena sudah capek mengajari Tama  yang tidak mengerti-ngerti mengerjakan tugas kantor. Bahkan Tama masih ingat wajah frustasi Hendra saat itu. 

Satu minggu penuh Tama belajar mengerjakan tugas kantor, tapi lihatlah hasilnya, ia yang seharusnya dihormati disini malah dibentak-bentak staf karena hasil dari kerjanya.

Tama melonggarkan dasi yang melingkar pada kerah bajunya. Ingin sekali rasanya ia menedang meja yang berisikan laptop dan tumpukan buku-buku tebal serta lembaran-lembaran kertas yang terlihat sangat memuakkan, mungkin setelah melakukan itu Tama akan merasa lega. 

Lagi-lagi Tama menghela nafas panjang saat mendengar suara sepatu yang beradu dengan lantai. Tidak lama seorang pria dengan setelan jas hitam muncul dari balik pintu kaca dengan tangan memagang alat lukis, yang pada saat itu juga benda-benda tersebut dilemparkannya ke meja Tama.

"Ayo melukislah!" suara pria tua itu langsung meninggi. Diambilnya satu kanvas yang jatuh kelantai, lalu diletakkanya tepat dihadapan Tama dengan gerakan cepat dan wajah yang penuh dengan kebengisan. "Itu yang kamu bisa, bukan? Ayo melukislah! Aku mau melihat seahli apa kamu melukis, sebagus apa lukisan kamu itu!" Dharma mengambil beberapa cat minyak lalu kembali melemparkannya kemeja Tama. "Ayo melukislah!"

Tama hanya diam, memandangi salah satu kanvas yang berserakan dilantai.

"Tarno!"

Tak perlu menunggu lama seorang pria yang cukup tua muncul dari balik pintu dengan gerak yang segan-segan, beberapa detik kemudian wajahnya tampak kaget melihat keadaan ruangan.

"Tolong belikan semua merek cat minyak dan kanvas yang mahal, tampaknya ahli lukis ini tidak suka dengan apa yang saya belikan."

"Kakek!"

Tamparan dilayangkan kewajah Tama. "Aku meminta kamu untuk melukis bukan untuk meneriaki ku! Karena aku ingin melihat satu-satunya keahlian kamu itu anak tidak berguna." Pra tertawa kecil. "Ayo melukislah."

Dengan tangan yang gemeteran Tama mengeluarkan hape dari saku celananya. 

"Mau apa kamu? mau mengadu ka ayah mu?" Pram tertawa cukup keras. "Mau sampai kapan kamu menyusahkan ayahmu yang bekerja siang malam untuk anak yang tidak berguna seperti kamu?! ingat, papa kamu itu adalah anak ku, dan aku sebagai sebgai ayahnya tidak sudi punya cucu yang tidak berguuna seperti kamu. Bahkan aku merasa sangat kasihan kepada anakku Dharma karena punya anak seperti kamu, hanya memberikan beban kepadanya. Banyak yang dipikirkan ayah mu akhir-akhir ini, perusahan hampir saja bangkrut, dan bisa-bisa kamu menelponnya saat dia ada meeting." seusai menyudahi ucpannya Pram kembali melayangkan telapak tangan Tama, bersamaan dengan teriakan yang memenuhi ruangan.

"Ayah! Apa yang ayah lakukan?!"

"Kenapa?! Aku tidak salah, karena dia pantas mendapatkan itu, lihat kerja anak mu! Di malah mengacaukan samuanya!"

"Tama baru belajar, ayah! Dia masih awam dengan semua ini, tolong ngertiin Tama!"

"Apa kamu bilang?! Ngertiin dia?" Pram diam sejenak, memilih untuk memandang Tama dengan wajah remeh beberapa saat. "Bahkan Hendra udah ngosongin hari satu minggu penuh buat ngajarin anak ini, apa itu masih kurang?! Masih awam? Apakah dia masih awam dengan pendidikannya?! Dia masih mendapatkan nilai kecil, meski dia sudah terbiasa dengan sekolah! Dan itu membuktikan kalau dia memang tidak bisa apa-apa! Tolong, jangan terus-terusan membelanya!"

Dharma hendak melemparkan berkas perusahaan yang baru saja digapai nya kewajah Pram, tapi cepat-cepat Tama menahannya. "Yang dibilang kakek itu benar, Pa. Tama memang nggak berguna dan nggak bisa apa-apa. Tolong maafkan Tama. "

Tama keluar dari ruangan ini disela-sela debat Pram dengan Dharma yang belum usai. Bahkan pada langkah terakhir meninggalkan ruangan, Tama mendengar suara tamparan yang diikuti dengan suara barang-barang yang dilemparkan.

Tidak Tama sadari ternyata para staff mengintip lewat cela-cela pintu dan kaca jendela. Mereka cukup kaget ,melihat Tama. Sadar jika Tama adalah cucu dari Pram cepat-cepat mereka kembali keruangan atau kemeja masing-masing untuk kembali bekerja. Tapi staff perempuan yang sempat membentak Tama tadi masih diam ditempat, menyorot Tama dengan tajam dengan tangan dilipat didada. Ia berjalan mendekat ke Tama, " Kamu memang tidak berguna." begitu katanya sebelum pergi.

Hai~~~ nggak tau kenapa, aku kalau ngejalin idup tu kayak ngeri-ngeri sedap gitu, ya rasanya? apa aku aja yang ngerasain itu?

setiap hari itu pasti ada aja masalah/kekhawatiran yang datang. Udah selesai ama yang satu datang lagi yang baru, gitu aja terus, dan hampir semua ekspektasi itu nggak sesuai sama realita ya? kayak kita mikir kalau dewasa itu menyenangkan, tapi malah sebaliknya. Pengen cepat-cepat tama SMA karena nggak sabar kerja digaji, punya uang banyak/kuliah, lulus tepat waktu, punya pacar cogan/ cecan, eh itu semua ternyata nggak semudah itu atau malah sebaliknya, Kadang2 capek juga, ya.

Mungkin disini ada adek2 SMA/SMP yang baca, pesan aku, kalian jangan mikir/berharap atau jangan pengen cepat2 tamat, nikmatin aja semuanya sama kawan2 karena sebenarnya fase itu yang paling menyenangkan dalam idup. satu lagi, jangan pernah ngelewatin moment2 sama kawan2 sekolah, kalau bisa ciptain sebanyak2nya momet bersama kawan2 sekolah, karena itu bisa jadi penghilang/obat saat kalian capek/stres setelah kalian tamat SMA. btw gue sok iye bet deh wkwk

Lukisan Untuk Tama (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang