15

30 2 0
                                    

Jangan lupa vote~

"Siapa yang nyuruh kamu ngundurin diri sebagai ketua OSIS?"

Diminggu pagi Dharma masuk kedalam kamar Tama. Pemandangan dimana anak lelakinya itu tengah melukis cukup membuat Dharma merasa kesal. Jika wajah putih itu tidak dipenuhi dengan memar mungkin Dharma sudah melayangkan tamparan kepada anaknya yang entah kenapa semakin berani melanggar peraturannya.

Tama menoleh sesaat setelah ia menghel nafas berat. "Sudah Tama bilang kan, Tama nggak mau lagi nurutin semua kemauan Papa." begitu kata Tama, dengan santainya ia kembali beralih kelukisan yang ada didepannya.

'Terus jadi berandalan kayak gini?! Kamu bangga kayak gini?! Lihatlah diri kamu sekarang, kayak orang yang nggak punya masa depan!"

"Pa!" Tama menoleh dengan mata yang melotot. "Papa nggak berhak ngomong kayak gitu ke Tama! "

"Nggak berhak?! " karena suara Tama yang meninggi membuat Dharma jadi emosi. "Kamu itu keluarga Pranaja! Kamu malu-maluin anggota keluarga Pranaja! Nggak ada keluarga Pranja yang tawuran! Diri kamu ini sama sekali nggak mencerminkan bagaimana keluarga Pranaja yang sesungguhnya, makanya kamu Papa bentuk!"

"Tama nggak butuh nama besar keluarga Pranaja, Pa!"

Plak!

Dharma benar-benar emosi. Membesarkan Tama seorang diri semenjak anak itu berusia sepuluh tahun, dan sekarang bisa-bisanya ia berkata seperti barusan. Dharma rasa tamparan adalah hal yang paling pantas untuk Tama dapatkan pagi ini.

"Papa terlalu ngurusin hidup Tama, sampai-sampai Papa kecolongan sama anak Papa yang satu lagi!"

"Apa maksud kamu?!"

"Mulai sekarang, Tama nggak bakal pulang lagi kesini! Nggak ada lagi kata Pranaja dibelakang nama Tama! Nama itu cuma ngebawa penderitaan buat Tama!" alih-alih menjawab pertanyaan Dharma, Tama malah mengucapkan kalimat yang benar-benar membuat Dharma marah besar. Sadar jika Dharma sudah mengambil ancang-ancang untuk menghabisinya, Tama lebih dulu berlari keluar dari kamarnya. Sialnya, Tama tidak mengetahui jika lantai diruangan tengah baru saja di pel, akibatnya pria itu tergelincir dengan gigi yang tidak sengaja menggigit bibirnya dengan kuat. Tama berteriak tertahan, bersamaan dengan bibirnya yang mulai mengeluarkan darah.

Pembantu paruh baya yang menyaksikan itu tentu kaget, dan menghampiri Tama sembari mengucapkan kata maaf berkali-kali. Tama mengabaikan itu, ia berlari kelur dari rumah dengan langkah yang sedikit pincang. Berkali-kali ia menoleh kebelakang, memastikan apakah Dharma masih mengejarnya atau tidak.

Saat benar-benar sudah keluar dari perkarangan rumah, Tama merasakan kesakitan yang hebat dipunggungnya. Ia menoleh kebelakang dengan pandangan yang jatuh kepada gunting pagar yang baru saja dilemparkan Dharma kepunggungnya.

Tama semakin merasa sakit, sedangkan Dharma terus mengejarnya bersama satpam rumah yang larinya tentu lebih cepat.

"Tama!" gadis yang tengah menyiram bunga dengan rambut yang dibiarkan tergerai tidak seperti biasanya itu melambai-lambaikan tangannya.

Tanpa berfikir panjang Tama menunju kesana dan bersembunyi dibalik pagar rumput yang ada didekat gadis itu.

"Om!" gadis itu berteriak, sukses membuat Tama yang sedang bersembunyi dibalik pagar rumput itu mengumpat dengan suara kecil. "Dia lari kearah sana, aku liat tadi."

Tama langsung menghela nafas lega disaat gadis itu menunjuk arah secara sembarangan. Tama yang tadinya membungkuk kini duduk seperti normal dengan nafas yang tersenggal-senggal.

"Makanya jangan bandel! Sok-sok jadi preman lagi! Gimana? Sakitkan dilempar page gunting pager?" gadis itu langsung mengomel, membuat Tama keheranan.

"Makasi, ya. Siapa nama lo, Na-Natasya?"

Lukisan Untuk Tama (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang