19

33 3 0
                                    

Semuanya sangat rumit, banyak pihak-pihak yang tidak Tama kenali terlibat disini. Tio melakukan ini ternyata untuk melunasi utang-utangnya kepada berandalan  yang ternyata kawan lama Tio sendiri. Karena menginginkan Shania, dengan liciknya mereka memanfaatkan Tio. Jika Tio berhasil membawa Shania kehadapan mereka maka hutang Tio akan dilunasi begitu saja, jika tidak, mereka akan melakukan hal-hal diluar nalar karena mereka memang senekat itu. 

Tio pun juga sama liciknya dengan mereka. Mencari tahu siapa pacar Shania sekarang, lalu mengajaknya balapan motor dengan kesepakatan jika Tio yang menang maka Shania menjadi milik Tio. Tanpa mempertimbangkan hal apa yang terjadi setelah ia melakukan ini, terlebig karena Shania adalah kakak dari sahabatnya sendiri. Tapi, seharusnya memang tidak boleh seperti ini, bukan? Melakukan ini kepada perempuan hanya untuk menyelesaikan masalah adalah tindakan paling sampah yang dilakukan oleh laki-laki brengsek seperti Tio.

Dibawah guyuran hujan, Tama memandang kakaknya yang tiba-tiba tersungkur ketanah. Rambut pendek yang entah sejak kapan dipotong dan siapa pelakunya terlihat sangat berantakan. Melihat itu, Tama tidak merasakan apapun. Biasa saja rasanya, karena Tama ... sudah mati rasa. Terlalu sering merasakan sakit. Air mata pria itu sepertinya sudah juga habis, begitupun dengan tenaganya. Ia tidak melakukan apa-apa, hanya memandangi kakaknya tanpa ekspresi yang saat ini tengah terisak.

Mereka semua sangat pandai berkelahi. Tama tidak ada apa-apanya dibandingkan mereka. Saat digedung kosong dan jauh dari keramaian tadi, Tama hanya berusaha menarik Shania walau tinjuan terus didaratkan ketubuhnya. Berlari dan menggendong Shania walau dibelakang banyak manusia-manusia berbadan besar yang tengah mengejar dan melemparinya. Banyak luka dibadan Tama. Tapi, sama dengan luka dihatinya, tidak memberikan rasa sakit sedikitpun. Rasanya biasa saja, karena... Tama, sudah mati rasa. Tidak ada rasa apapun yang dirasakan Tama, sakit, perih, atau rasa sedih yang kerap ia rasakan. Didalam rasa kehampaan itu...Tama menginginkan rasa kebahagiaan yang belum pernah ia rasakan sampai sekarang. Semanis apa rasa kebahagiaan itu?

"Apa aku cantik dengan rambut baruku? Mereka bilang mereka suka sama cewek dengan rambut pendek, makanya mereka memotong rambutku." Shania tertawa kecil, walau tidak ada yang tahu jika air mata sejak tadi membasahi pipinya bersamaan dengan air hujan. "Lagi pula kamu tidak peduli denganku, bukan? percuma saja aku mengatakan itu, kamu hanya akan tetap diam seperti biasanya."

"Ayo pulang kerumah." Tama terdiam cukup lama setelah mengucapkam kalimat itu. bukankah rumah pria itu suduh rusak sejak dulu? Lalu pulang kerumah mana?

"Kamu tidak perlu membantuku, aku bisa sendiri." Shania berdiri dengan susah payah. Memandang Tama dengan raut yang tidak bisa diartikan sebelum berjalan mendahului Tama dengan langkah yang tertatih. Sedangkan Tama hanya diam memandangi punggung yang bungkuk itu menjauh beberapa langkah dari tempat ia berdiri, lalu Tama mulai melangkahkan kakinya dengan perlahan, tetap menjaga jarak beberapa langkah dari pemilik punggung yang sudah tidak tegap lagi itu, dan...bukankah punggung Tama juga sudah tidak tegap lagi semenjak beberapa minggu yang lalu?

Seberat apa masalah dan kesedihan yang ditumpukan kepada dua kakak beradik itu?  

*****

"Lihatlah, Papa terlalu sibuk mengurusiku, sampai-sampai Papa kecolongan sama anak Papa yang satu ini." Tama mendorong tubuh Shania sampai gadis itu tersungkur untuk kesekian kalinya.

Dharma terbelalak dengan tindakan yang dilakukan oleh Tama barusan. Masuk kedalam rumah dengan membuat keributan dan saat sudah dihadapan Dharma berani-beraninya pria itu melakukan hal semacam itu.

"Apa Papa tidak tahu kalau putri kesayangan Papa itu sekarang adalah seorang pelacur!?" Tama memberi jeda pada ucapannya. "Papa pikir Papa berhasil menjadi seorang ayah untuk putri Papa itu, nggak, Pa! Papa gagal! Papa sangat gagal mendidik pelacur licik itu! Nggak dia aja, tapi aku, aku juga!" Tama menunjuk diirnya sendiri. "Papa juga gagal ngedidik aku! Dengan bentukan kedua anak Papa seperti ini sangat menjelaskan kalau Papa itu gagal menjadi seorang ayah!"

Lukisan Untuk Tama (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang