23

27 2 0
                                    

Tama menjatuhkan lukisan-lukisan setengah jadi yang ada dipahanya, menendang cat minyak itu sampai mengotori rumah orang tua Zaky. Dengan mata yang sendu Tama memandang kearah pintu sedari tadi. Kenapa pintu itu tidak terbuka seperti biasanya? Mana orang yang selalu muncul dari balik pintu dengan wajah garang lalu marah-marah dan mengambil kanvas yang sedang Tama lukis. Dengan mata yang berair Tama bangkit dari tempat duduk kayu itu. Ternyata hari sudah pagi, sedangkan ia belum tidur sejak tadi malam. 

Tama berjalan kearah dapur, mengambil karet lalu mengikat rambutnya yang sudah memanjang menutupi kuduk. "Nggak sekolah, Zak?"

Zaky yang sedang duduk dimeja makan dengan satu kaki yang terangkat dan memandang Tama dengan mulut yang mengunyah. "Tanggal merah sekarang."

Zaky sebelumnya tinggal dirumah nenek, tapi semenjak ada Tama disini, pria itu jadi menetap dirumah yang menyimpan beribu kenangan buruk untuk dirinya. Tapi sesakali ia pulang kerumah nenek dan kakek kala ia rindu dengan dua orang itu. 

Rumah ini sebelumnya ditempati oleh orang tua kandungnya, sepertinya diciptakan untuk menjadi saksi betapa berantakannya hidup orang yang ada didalamya. Semua orang tidak tahu, tapi rumah ini tahu bagaimana takutnya Zaky kecil kala untuk pertama kalinya ia melihat ayahnya melemparkan vas bunga ke bunda, bagaimana keduanya beradu mulut, saling menyalahkan satu sama lain, bagaimana keduanya saling mengoper Zaky, karena Zaky adalah anak yang tidak diinginkan oleh keduanya. Hanya rumah ini yang tahu bagaimana kerasnya Zaky menangis kala orang tua kandungnya meninggalkannya seorang diri dan penuh dengan ketakutan. 

Dan sekarang, rumah ini juga menjadi saksi bagaimana kerasnya teriakan Tama karena tidak sanggup dengan keadaan. Menjadi saksi kehidupan sebenarnya seorang anak yang dikata beruntung oleh orang-orang.

"Mau sampai kapan lo kayak gini? Ayolah Tama, ini sudah tiga bulan." Zaky memandang Tama yang sedang memakai kumis palsu dengan wajah yang kesal. "Lo nggak capek apa?" Zaky yang sudah menghabiskan makanannya sejak satu menit yang lalu meleparkan sebuah sendok kearah Tama. "Gue aja yang ngeliat lo capek, anjir!"

Tama berdecak, dari raut wajahnya ia tampak marah. "Gue yang  ngelakuin ngapain lo yang capek?" setelah meneguk segelas air Tama mengenakan topi yang dipegangnya sedari tadi, sembari berusaha menarik-narik poninya agar menutupi sebagian wajahnya. "Masi mirip gue?" setiap pagi setelah memakai kumis palsu dan topi Tama selalu menyakan hal itu kepada Zaky.

Zaky menghela nafas berat memilih untuk membuang muka alih-alih menjawab pertanyaan Tama. Tama berdecak, Zaky selalu begitu, tidak menjawab saat Tama bertanya seperti tadi.

"Gue keluar dulu."

Lagi-lagi Zaky tidak merespon ucapan Tama, hanya memandangi punggung itu dengan mata yang menyendu, setelah itu ia mengehela nafas dan bangkit untuk membereskan piring-piring kotor yang ada dimeja makan.

Setiap keluar dari rumah Zaky Tama selalu demikian, memakai kumis palsu, serta topi dan rambut yang menutupi sebagian wajahnya.  Selain itu, ia juga selalu mengantongi pulpen yang tentunya benda itu berguna kala ia menemukan sebuah kertas yang tertempel dipohon-pohon, dinding-dinding, atau tiang listrik. Seperti saat ini, kertas yang sengaja ditempelkan disebuah pohon tidak sengaja tertangkap oleh penglihatan Tama.

Sudah lima menit, tapi Tama masih setia memandangi kertas yang sengaja ditempelkan itu. Ada fotonya disana, foto kelulusan smp yang berlatar belakang merah yang seharusnya ditempel diijazah malah ditempel disebuah pohon. Dibawah gambar itu ada tulisan yang cukup besar, 'pembunuh' disana juga ada nomor yang bisa dihubungi jika mengetahui keberadaan orang yang ada dikertas itu.

Seperti biasanya, Tama tidak akan mencopot atau merobek kertas yang berisikan informasi tidak benar itu, melainkan ia mengeluarkan pulpen yang dikantongi lalu mulai menorehkan ujungnya diatas kertas itu. Setelah itu ia pergi meninggalkan kata 'bukan' didepan kata pembunuh.

Selama tiga bulan belakang Tama selalu  melakukan hal seperti ini. Mencari kertas-kertas yang terdapat wajahnya disana, lalu menorehkan kata 'bukan' sebelum kata 'pembunuh' yang memang sudah ada disana sebelumnya. Sore harinya, Tama akan berjalan lurus, mengabaikan jika ia melihat kertas-kertas itu. Karean ia ada tujuan, rumahnya, rumah Dharma tepatnya. Setengah lima atau pukul lima biasanya mobil mewah itu memasuki perkarangan, lalu seorang dengan setelan jas keluar dari sana.

Tapi, hari sudah mulai malam, Tapi mobil itu tidak terlihat memasuki perkarangan sedari tadi. Tama menepuk nyamuk yang menginggit pipinya. Tama terduduk layaknya gelandangan didepan pagar rumah itu. Bersandaran dengan pagar besi itu hampir membuat Tama tertidur, untung ada nyamuk yang membangunkannya. Tapi lama kelamaan nyamuk-nyamuk itu meresahkan juga, berkali-kali ia menggigit Tama, bahkan saat ini kulit pria itu terasa gatal. 

Tama bangkit dari duduknya, hendak pergi, tapi urung saat melihat yang dikenalinya dari kejauhan. Cepat-cepat Tama berlari kearah pohon berdaun rimbun yang menghiasi perkarangan rumah mewah itu.  Tanpa sepengetahuan siapa pun Tama bisa melihat bagaimana seseorang  dengan setelan kemeja bewarna biru keluar dari dalam mobil dengan pintu yang sudah dibukakkan sebelumnya. 

Tama membenci pria itu. Dia pria yang tidak punya hati, merasa paling sempurna, dan paling benar diantara orang-orang lain. Dia pria yang hanya ingin didengar katanya tanpa ingin mendengar, dia pria yang ingin dituruti semua keinginnya tanpa bertanya apakah seseorang yang ia tuntut itu mampu atau tidak. tapi... pria itu adalah ayah Tama, dia yang membesarkan Tama, walau Tama dibesarkan tanpa rasa kasih sayang sedikitpun, walau pria itu hanya memberikan luka dan penderitaan ke Tama. Tapi ia tetap ayah Tama. 

Sebernarnya jika bisa, Tama ingin membenci pria pembawa luka itu, tapi tidak bisa. Tama tidak bisa, Tama juga tidak tahu kenapa. 

Semenjak tiga bulan belakang Tama selalu datang kesini, hanya untuk memastikan apakah pria itu baik-baik saja atau tidak, karena...pria itu baru saja kehilangan putri kesayangannya. 

Dan, Tama juga merindukan Ayahnya. 

Setelah balik dari sini, Tama selalu termenung, memikirkan perasaan Dharma tentangnya.

Apakah pria itu juga merindukannya?

Sepertinya tidak.

Pria itu hanya mencarinya untuk dimasukkan kedalam penjara.

itu saja.

seperti malam-malam biasanya, dalam ketermenungan, air mata kembali jatuh membasahi pipi, tidak ada yang tahu kecuali dinding rumah ini.

Aku lagi sediiiiiih

Lukisan Untuk Tama (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang