Zaky dengan seragam sekolah menengah atas yang melekat ditubuhnya melenggang masuk kedalam rumah Dharma tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Langsung menaiki anak tangga dengan santai sembari bersenandung ria, berlagak rumah besar ini miliknya. Ia berhenti sebentar, saat sampai didepan sebuah pintu yang bercat putih. Sebelum Zaky mengetuk, pintu itu sudah terbuka lebih dulu, menampilkan seseorang dengan kemeja putih dari balik sana. Sama seperti hari sebelumnya, wajah Dharma tetap datar memandang Zaky. Setelah itu, Dharma kembali kemeja kerja, membiarkan Zaky yang berdiri memperhatikannya.
"Bagaimana keadaanya? apa dia baik-baik saja?" Dharma bertanya dengan mata yang tertuju ke uang yang baru saja dikeluarkan dari dalam laci mejanya. "Bahkan ini jumlahnya lebih dari perjanjian kita sebelumnya."
Zaky tersenyum miring, menerima uang itu dan tidak lama setelahnya ia meletakkan uang yang diterimanya itu kemeja Dharma, alis Dharma langsung terangkat dengan tindakan Zaky barusan. "Bukan karena ini saya kesini, bapak Dharma yang terhormat." tanpa dipersilahkan, Tangan Zaky bergerak menarik kursi yang ada didepan meja Dharma dan mendudukinya dengan punggung yang dimajukan, pertanda ia tengah serius.
Sedangkan Dharma diam saja, memperhatikan Zaky dan menunggu cukup lama hingga pria itu mengeluarkan suara.
"Jadi gini, kalau dipikir-pikir om Dharma ini kocak juga ya?"
Kening Dharma mengkerut. "Apa maksud kamu?"
"Kalau kita bawa saja Tama kekantor polisi gimana?" Zaky menaik turunkan alisnya, setelah itu ia terkaget kala secara tiba-tiba Darma berdiri dan langsung melemparkan buku-buku yang Zaky pikir itu akan mengenai mukanya. Zaky nenelan ludahnya dengan susah payah.
"Apa maksud kamu?! Mau apa kamu kesini sebenarnya?! " Dharma diam, memilih memandang Zaky beberapa saat dengan pandangan yang sulit diartikan. "Ini uang dan pergilah, pastikan anak itu baik-baik aja!" Dharma melemparkan uang itu kewajah Zaky.
Tawaan yang keluar dari mulut Zaky memenuhi ruangan yang berisikan berkas-berkas perusahaan itu. "Makanya om saya bilang kocak! Tiap hari nyuruh orang buat nempelin kertas-kertas, ngadain sayembara, bahkan sampai sekarang om belum cabut laporan itu! dan, puncak komedinya, Om malah minta saya buat jagain Tama, jagain dia dan jangan sampai keberadaannya diketahui!" lagi-lagi Zaky tertawa terbahak-bahak. "Candaan macam apa yang kau buat ni Dharma yang terhormat, menetes air mata kebenaran." Zaky mengelap ujung matanya.
Dharma langsung marah, dipukulnya meja berlapis kaca itu dengan telapak tanganya, mata pria itu memandang Zaky dengan tajamnya. "Diamlah dan ikutin semua perintah saya! Kamu itu nggak ngerti apa-apa!"
"Ayo jelasin kesaya kalau saya tidak mengerti! kenapa saya dilibatkan disini?! mengapa saya diminta untuk melindungi pembunuh itu?! ayo, jelasin semuanya!"
"Dia bukan pembunuh!"
Zaky kembali tertawa terbahak-bahak. "Kalau dia bukan pembunuh, ngapain anda nyebarin kertas-kertas sialan itu? ngapain ngadain sayembara, buat yang nemuin keberadaan dia bakal dikasih uang miliaran, hhm? "
"Keluar dari ruangan saya sekarang!"
"Dasar manusia aneh!" Zaky keluar setelah mengucapkan kalimat barusan.
Setelah kepergian Zaky, Dharma menutup pintu ruangan rapat-rapat. Ia tidak sanggup berjalan kemeja kerja, entah kenapa tulang-tulang ditubuhnya terasa melunak, akibatnya ia jatuh sebelum sampai dimeja kerja. Tubuhnya beradu dengan lantai yang tanpa alas itu, membiarkan pipinya menempel dengan lantai yang dingin dan perlahan-lahan air mata membasahi pipinya.
Dharma memiliki anak gadis cantik dan tentunya juga pintar, Dharma sering membanggakan gadis itu kepada rekan kerjanya. Tapi sekarang, gadis itu sudah tidak ada lagi. Ia sudah mati. Dibunuh oleh adiknya sendiri, Tama. Mengingat Tama membuat air mata Dharma keluar semakin deras. Hati Dharma terasa sangat sakit disaat mengingat Tama. Dharma ingin memenjarakn pria itu. Dipenjara puluhan Tahun atau dihukum matipun tak apa sebenarnya. Tama pantas mendapatkan itu. Tapi... Tama adalah anak dari Dharma juga, dan tentunya Dharma ingin yang terbaik untuk Tama. Dharma...tidak ingin dan tidak akan memenjarakan Tama.
Tapi... rasanya tidak adil jika Dharma melepaskan Tama begitu saja setelah pria itu membunuh Shania. Memutuskan ini semua tidaklah mudah, semuanya terasa serba salah.
Kepala Dharma kembali berisik, semuanya saling bersahut-sahutan. Tangisnya semakin keras kala dadanya terasa sesak, oksigen yang ada didalam ruangan ini sepertinya sudah habis karena dihirupnya sedari tadi. Dharma terus menangis dalam kesakitan dan kesesakan hati sembari meninju-ninju dadanya sendiri.
***
Ternyata Shania selalu menuliskan semua yang dialami dan dilalui kesebuah buku kecil bewarna pink. Baik perihal sedih maupun senang, semuanya ia tuliskan kesebuah buku yang kini ada ditangan Tama. Setengah jam Tama membaca dan membalik-balik buku tapi tidak banyak cerita bahagia yang Tama baca. Torehan pena diatas buku kecil bewarna pink ini hanya tentang luka, sepi, dan ketidakbahagiaan.
Tama menengadah kelangit yang baru saja bergemuruh. Tadi, rasanya langit baik-baik saja dengan bintang yang bertaburan. Tapi sekarang, entah sajak kapan langit menggelap, gumpalan awan hitam menyembunyikan keindahan langit malam ini. Perlahan, satu-persatu rintik-rintik air jatuh ketanah. Beberapa saat kemudian, suara jangkrik tidak terdengar lagi karenn kalah dengan suara hujan yang semakin deras layaknya tangis Tama malam ini.
Tama keluar dari rumah, berjalan kehalaman dan duduk dikursi kayu yang ada dibawah pohon mangga. Merbiarkan rintik-rintik deras membasahi tubuhnya. Meresapi dinginnya malam seorang diri sampai ia menggigil kedinginan.
Shania. Gadis itu ternyata lebih menderita dibanding Tama. Luka pada gadis itu ternyata lebih banyak dibanding Tama. Sepi yang dirasa Tama ternyata tidak ada apa-apa dibanding sepi yang dirasa Shania.
Shania melakukan segala kenakalan agar ia juga diurus oleh Dharma dan diperhatikan oleh adiknya yang selalu menganggapnya tidak ada. Sengaja menampakkan diri saat pergi kekelab, agar Tama memarahinya atau mengadu ke Dharma, itu lebih baik. Tapi Tama tidak pernah melakukan itu, karena Tama memang tidak sepeduli itu kepadanya. Tama akan selalu mengabaikannya sampai kapanpun. Sama halnya dengan Dharma, ia selalu saja memperhatikan Tama.
Seorang ayah itu selalu mengabaikan Shania dengan dalih ia mempercayai gadis itu, padahal Shania juga ingin diperhatikan. Akibatnya, Shania melakukan kenakalan-kenakalan yang membuat dirinya dipandang rendah agar ia mendapat perhatian dari Dharma dan adiknya.
Shania juga penuh dengan luka seperti Tama, bahkan ia lebih parah.
Dihalaman terakhir buku kecil bewarna pink itu, Shania menuliskan cerita bahagia yang malah membuat hati Tama semakin teriris. Shania sangat bahagia kala Tama menolong dan memarahinya malam itu.
Semuanya jadi tearsa pengap, kala rangkaian kata yang ditulis oleh Shania terbayang-bayang dipikiran Tama. Membayangkan rasa sakit dan kerasnya gadis itu menangis menuliskan semua ini.
Dibawah derasnya hujan, Tama bertanya-tanya kenapa semua ini terjadi pada keluarganya, kenapa semuanya sangat berantakan? bahkan kakaknya meninggal sebelum mencicipi manisnya rasa bahagia yang dikata orang. Bahkan gadis itu harus menahan rasa yang amat sakit sebelum ia benar-benar hilang.
Semangat!
KAMU SEDANG MEMBACA
Lukisan Untuk Tama (TAMAT)
Teen FictionBanyak cara yang Tama lakukan agar ia bisa menyicip manisnya rasa bahagia yang dikata orang-orang. Alih-alih semuanya membaik, luka pada hatinya semakin parah dan satu-persatu mulai bernanah, juga hidupnya yang terlanjur berantak'kan kala terlalu ja...