Jangan lupa vote dulu yaa
"Saya ini ayahnya, kenapa kamu melarang saya untuk masuk kedalam kamarnya?!" Dharma mendorong tubuh Zaky. "Saya yang membayar biaya rumah sakit, jadi kamu tidak punya hak untuk melarang-larang saya masuk!"
"Bukan saya yang melarang kalian untuk masuk, tapi Tama sendiri yang tidak mau kalian masuk!" Zaky berteriak sembari melihat Dharma dan Hendra secara bergantian.
Pagi ini Dharma dan Hendra meminta untuk masuk kedalam kamar Tama. Awalnya Zaky menolak dengan baik-baik, karena memang dari Tama sendiri tidak ingin melihat mereka berdua.
"Tama itu nggak mau kalian nemuin dia." Zaky kembali mengulangi ucapannya tapi kali ini dengan suara yang lebih rendah.
"Satpam!" suara Hendra memenuhi lorong rumah sakit, bukan satpam saja yang berlari ketempat mereka tapi orang-orang juga menoleh kearah mereka dengan kening yang mengkerut. "Tolong usir anak ini! " begitu perintahnya.
"Dasar kalian! Sama saja! Hanya mementingkan diri sendiri tanpa memikirkan perasaan Tama! Kalian tidak berubah! Apasalahnya kalian tahan dulu ego kalian sampai Tama benar-benar sembuh!" Zaky berucap dengan keras walau satpam terus memyeretnya keluar dari area rumah sakit.
Setelah kepergian Zaky, Dharma dan Hendra masuk kedalam kamar Tama, dengan langkah yang penuh dengan hati-hati. Hati mereka teriris kala menemukan Tama tengah menangis dalam baring tidurnya.
"Tama, ini Om Hendra." begitu kata Hendra. "Kamu udah baikan sekarang?"
"Aku tidak meminta kalian untuk membayar biaya rumah sakit!" bukannya menjawab pertanyaan lembut dari Hendra, Tama malah berteriak dengan air mata yang berderai. "Aku juga tidak meminta kalian untuk membawa ku kesini! Kenapa kalian membawa ku kesini?" nafas Tama naik turun, setengah mati ia menahan rasa sakit yang menjalar disepanjang tubuhnya.
"Tama, kamu bilang apa, nak?"
Tama tertawa, ia memalingkan wajah sesaat sebelum memandang dua orang itu dengan raut bengis. "Kenapa kalian sepeduli ini kepada ku akhir-akhir ini? Kenapa tidak membiarkan aku mati saja?! Itu yang kalian mau dari dulu, bukan?! Kenapa kalian malah membawa ku kesini!"
"Karena Papa nggak mau kehilangan kamu, sayang. Papa nggak mau kamu pergi..."
"Kenapa?! Untuk menjadikanku sebagai penerus perusahaan?!" Tama diam sejenak, membiarkan dirinya bernafas normal dulu. "Atau karena anakmu yang pintar itu udah mati, jadi cuman tinggal aku yang bisa nerusin perusahaan?! "
"Bukan begitu sayang." Dharma menggeleng dengan tangisnya. "Bukan begitu."
"Tolong keluarlah dari kamarku!" dengan tangisan Tama menarik-narik selang infusnya, yang membuat Dharma dan Hendra benar-benar panik.
"Tama, apa yang kamu lakukan?! Suster! Suster!"
"Kenapa?! Kamu mau aku mati bukan? Kamu mau aku yang tidak berguna ini mati kan? Asal kamu tau saja, aku masih sangat ingat apa yang kamu teriakkan kepadaku waktu itu!"
Beberapa suster datang dengan tergesa-gesa dan wajah yang panik. Mereka meminta Dharma dan Hendra untuk keluar terlebih dahulu.
"Tolong jangan biarkan dua orang itu masuk kedalam kamar ini." begitu ucap Tama disela-sela usahanya dalam menetralkan nafas.
Setelah kepergian para suster Tama sempatkan untuk menoleh keluar sebentar. Pada pintu yang terbuka Tama dapat melihat dengan jelas bagaimana Dharma dan Hendra tertunduk dengan bahu yang naik turun. Perlahan-lahan, air mata kembali mengalir diujung mata Tama.
Seberapa keras Tama berteriak bagaimana ia membenci mereka, bagaimana Tama tidak ingin menjadi bagian dari mereka, tapi pada nyatanya Tama adalah bagian dari mereka. Ada banyak hal yang tidak Tama sukai dari mereka. Tapi, Tama juga tidak bisa menyangkal jika dirinya sangat menyayangi dua orang itu. Karena mereka adalah keluarga Tama. Tama hidup diantara mereka berdua.
"Pa..." Tama bersuara dengan lirih, tanpa menunggu lama Dharma mendongak dan berlajan cepat masuk kedalam kamar Tama.
"Ada apa? Kamu butuh sesuatu?" wajah itu masih dipenuhi dengan khawatiran dan ketakutan.
"Tolong tutup pintunya." Tama diam sejenak, hanya memandang bagaimana Dharma menutup pintu Penuh dengan hati-hati. "Tenggorokan Tama sakit..."
Dharma berjalan mendekat, membantu Tama untuk duduk dan memindahkan bantal kebelakang untuk menjadi sandaran punggungnya. "Kamu mau minum?" Dharma menuangkan segelas air putih, lalu membantu Tama untuk meneguknya.
Beberapa saat Dharma memandang wajah anaknya. Wajah penuh luka dan goresan. Wajah yang sudah tidak putih bersih lagi. Rambut anaknya juga tidak terpotong dengan rapi lagi, rambutnya sudah memanjang dan Dharma tidak menyukai itu. Tapi...tidak apa, Dharma tidak mempermasalahkan itu lagi.
"Kamu mau Papa keluar?" beberapa saat Dharma menunggu jawaban dari Tama, tapi anak itu tidak kunjung bersuara. "Papa keluar ya, nanti kalau ada perlu panggil Papa atau Om Hendra, kita diluar jagain kamu. " Dharma mengusap kepala anaknya penuh dengan sayang sebelum melangkah untuk pergi.
"Pa...."
"Iya, ada yang kamu butuhin lagi?" Dharma kembali mendekat.
"Temenin Tama disini."
Entah kenapa, air mata Dharma kembali jatuh disaat anaknya memanggilnya dengan lirih dan penuh dengan kesakitan.
Dharma menarik kursi plastik untuk didudukinya.
"Papa nggak kerja?" begitu tanya Tama, masih dengan suara paraunya.
"Enggak, Papa nggak kerja. Papa bakal disini nemenin kamu sampai kamu sembuh." Dharma diam sejenak, memilih untuk mengusap-ngusap rambut Tama penuh dengan perasaan sayang. "Nanti setelah kamu sembuh, kita pergi jalan-jalan, ya?"
Tama hanya diam, memilih untuk memalingkan wajahnya kesamping. Sebelumnya Tama tidak pernah berbicara bersama Dharma selain mengenai sekolah, nilai, dan perusahaan.
"Papa benar-benar nggak sibuk hari ini?"
Dharma terkekeh sesaat, lalu ia menggeleng. Walau dari dalam hati ia mengumpati diri, anaknya sampai bertanya berulang-ulang perihal ini karena sebelumnya Dharma selalu sibuk dan tidak pernah menyisihkan waktu untuk Tama.
"Pa, nanti malem Papa disini temenin Tama, ya?"
"Iya, Papa disini buat kamu." Dharma diam sejenak.
Keheningan melanda mereka berdua. Dharma sibuk berdebat dengan pikirannya yang terus bersahut-sahutan, sedangkan Tama diam dengan nafas yang sedikit tidak teratur, tapi ini lebih baik dari sebelumnya.
"Kaki Tama sakit, Pa." pria itu meringis kala ia menggerak'kan kakinya. Dari kemarin entah kenapa anggota tubuhnya benar-benar terasa berat dan sakir saat digerakkan.
Dharma hanya diam, memilih untuk tidak menanggapi. Hanya memandang Tama yang penuh dengan kesakitan dengan wajah yang gamang. Didalam hati Dharma menyumpahi orang-orang yang telah membuat anaknya kesakitan seperti ini.
"Sebentar lagi kamu sembuh." begitu katanya sambil mengusap rambut Tama dengan lembut. "Nanti pas kamu sudah sembuh, kita bakal melukis bareng-bareng, ya? Kamu tau, sekarang Papa memajang semua lukisan kamu dirumah. Banyak teman-teman Papa yang mau beli, tapi Papa nggak mau." Dharma tertawa kecil, begitupun dengan Tama yang tersenyum walau kentara sekali ia tengah menahan rasa sakit.
"Nanti siapa yang lukisannya paling bagus harus ditraktir makan." Tama tertawa kecil.
"Iya, syaratnya harus sembuh dulu." Dharma diam sejenak, mengalihkan wajah ke Hendra yang ada diluar kamar. "Kamu mau ngomong sama om Hendra? Dia dari kemarin disini buat jagain kamu."
Tama menoleh sebentar ke Hendra, setelah itu ia mengangguk.
Ketemu crush saat aku benar2 kayak gembel tadi wkwkwk, kenapa ya gitu mulu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Lukisan Untuk Tama (TAMAT)
Teen FictionBanyak cara yang Tama lakukan agar ia bisa menyicip manisnya rasa bahagia yang dikata orang-orang. Alih-alih semuanya membaik, luka pada hatinya semakin parah dan satu-persatu mulai bernanah, juga hidupnya yang terlanjur berantak'kan kala terlalu ja...