25

28 2 0
                                    

Dharma tiba-tiba berdiri saat Hendra mematikan televisi yang menjadi pusat perhatian sejak lima atau enam detik yang lalu. 

"Kenapa?!" tidak terima ditatap seperti itu, Hendra meninggikan suaranya. "Sekarang liat, semuanya udah terbukti, Tama bukan pembunuh!" penuh dengan amarah Hendra melemparkan remot tv yang ada ditangannya kelantai. "Kalian berdua dari dulu sama saja. Egois, maunya menang sendiri, menghakimi orang tanpa ada kebenaran! Dari awal aku ngomong, cari tau dulu kebenarannya! Jangan asal nuduh! " Hendra diam sejenak. "Keluarga kita jadi buah bibir orang-orang sekarang! Dan yang terpenting Tama entah dimana sekarang.  Dia jadi sangat berantakan karena kalian!"

Hendra merebut ponsel Dharma yang baru saja mendapat panggilan dari kepolisian dan melemparkannya kesembarang arah sampai ponsel itu tak berbantuk lagi.  "Kalian terus-terusan mengatakan Tama bodoh, tapi nyatanya kalian lah yang bodoh! Ka-" suara itu terhenti kala sebuah tamparan dilayangkan Pram ke pipi Hendra. 

"Berani-beraninya kamu meninggikan suara saat berbicara dengan ayah dan kakak mu!"

"Kenapa?!" Hendra tetap berani. "Apa aku harus menghormati dua orang yang sudah mengahancurkan hidup keponakan ku?! Tidak, aku tidak akan melakukan itu kemanusia sampah seperti kalian! " Hendra meraih kunci mobil yang sempat ia letakkan diatas meja lalu pergi dengan langkah yang besar. 

Dharma terduduk dengan lemah setelah kepergian Hendra. Ditengadahkannya kepala agar air mata yang meminta untuk keluar tetap berada didalam pelopak mata. Lalu ia berdehem kala Pram mengusap pahanya.

"Yang kita lakukan sejauh ini tidak salah, anggap saja semua itu hukuman buat Tama yang sudah  melawan aturan yang ada dikeluarga," Pram berbicara dengan tenang berbeda dengan Dharma yang langsung menegakkan tubuh dan memandang Pram dengan mata yang tajam, terbesit amarah disana.

"Apa yang dikatakan Hendra tadi benar, ayah.  Kita tidak hanya menghancurkan masa depan Tama, tapi juga hidup anak itu!"

"Kenapa kalian jadi meninggikan suara seperti ini berbicara dengan ku, hah?!" dianggap sukses dengan perusahaan yang tersebar dimana-mana, membuat Pram jadi angkuh. Merasa hebat dan harus dihormati, tidak ada yang boleh berbicara dengan suara yang tinggi kepadanya termasuk anak-anaknya sekalipun. "Untuk apa memikirkan anak yang tidak ada gunanya itu?! Biarkan saja dia!"

"Dia anakku ayah!" suara Dharma jadi semakin meninggi, ia berdiri dan memandang Pram dengan mata yang sangat tajam. "Aku baru saja kehilangan Shania, dan aku tidak mau sakit untuk kedua kalinya karena kehilangan Tama! Aku menyesal telah mengikuti apa yang ayah katakan! Seharusnya aku tidak melakukan semua itu kepada putra ku!"

Tamparan dilayangkan Pram keputranya yang sudah tidak muda lagi itu. "Kau menyesal?!"

"Iya! Kenapa?! Ayah tidak terima?!" Dharma diam sejanak. "Banyak sekali kesalahan dikeluarga ini! Aturan-aturan konyol yang dibuat oleh mereka-mereka yang dulu malah menghancurkan keluarga ini! Kita hidup dizaman modren! Seharusnya kita tidak manjalankan dan tidak memberlakukan aturan bodoh itu lagi, sudah berapa kali aku bilang ke ayah! Sekarang lihat, semuanya jadi berantakan!" Dharma mulai menangis.

"Berantakan? Apanya yang berantakan, sudah ku bilang, biarkan saja Tama! Anggap dia tidak pernah ada dikeluarga ini! Selesai kan?! Kenapa kamu malah jadi seperti Hendra yang hobi memperpanjang masalah seperti ini?!"

"Tama itu anak aku, ayah! Bagaimana bisa aku melakukan apa yang ayah katakan barusan." suara Dharma merendah diakhir ucapannya. "Aku baru saja kehilangan putri ku dan aku nggak mau kehilangan Putra juga." Dharma mulai terisak, sisi lemah pria tegas itu tampak sekali disini.

Pram menghela nafas berat. Malu sekali melihat Dharma menangis hanya karena Tama. Anak yang tidak bisa apa-apa. "Sekarang mulai lah memikirkan bagaimana jalan keluar yang terbaik untuk perusahaan kita yang hampir bangkrut!"

"Apa ayah gila?!" Dharma memandang Pram dengan raut yang tidak habis pikir, duka karena Shania saja belum lepas dan hari ini datang kebenaran yang menghanyutkan Dharma keluat penyeselan. "Putra ku lebih berharga dibandingkan perusahaan-perusahaan Papa itu. "

Dharma keluar dari rumah alih-alih melanjutkan debat dengan Pram. Ia pergi kegarasi walau suara Pram masi dapat didengar.

Saat mulai menghidupkan mesin mobil, rasanya kaki Dharma terasa lemah seakan tidak bertulang. Dimatikannya kembali mesin mobil itu, lalu ia menangis didalam sana seorang diri.

Tama tidak melakukan apa-apa, tapi karena pria itu merupakan orang terakhir bersama Shania ia dituduh melakukan pembunuhan terhadap Shania. Dharma awalnya juga tidak mau tergesa-gesa, tapi orang-orang mendesaknya, dan rasanya juga tidak adil untuk Shania jika membiarkan Tama lepas dan menjalankan hidup dengan tenang.

Dharma melakukan segala cara agar Tama bisa ditangkap.

Tapi...disisi lain, hati Dharma terus menyangkal itu semua. Tama bukanlah pembunuh, dan dia tidak sepatutnya dikejar-kejar oleh polisi dengan pistol ditangan. Karenanya, Dharma meminta Zaky untuk mengamankan anak itu dan memastikan ia baik-baik saja.

Dan hari ini...semuanya terungkap. Benar kata hati Dharma, Tama bukan lah pembunuh. Dan...Dharma harus menerima kenyataan jika ia sudah bertindak sejauh ini. Memberikan luka-luka yang begitu banyak kepada Putranya yang tidak tahu menahu.

Dengan tangan yang gemetaran Dharma menelpon sopir yang biasa mengantarnya ke kantor.

Dharma berharap, Tama masih ada dirumah orang tua Zaky sekarang.

Dharma akan datang menjemput Tama.

Meminta maaf.

Mengajak Tama kemakam kakaknya.

Membiarkan Tama  melukis sepanjang hari.

Membiarkan Tama bermain dan bersenang-senang sepanjang hari.

Dharma akan memperbaiki semuanya.

Menyembuhkan luka-luka yang ada dalam hati Tama.

Tapi...hati Dharma semakin teriris, kala sadar semuanya tidak semudah itu. Bukan untuk ini saja, Dharma telah melakukan kesalahan terhadap Tama semenjak pria itu lahir. Semuanya sudah rusak parah, dan  mungkin tidak bisa diperbaiki lagi.

Luka-luka itu terlalu banyak, mungkin saja menampakkan wajah ke Tama hanya akan menimbulkn luka baru lagi.

Tama mungkin sudah takut kepadanya sekarang.

Tama akan berteriak seperti orang gila kala melihat Dharma datang.

Dan...apakah Tama benar-benar masih waras sekarang?

...atau ia sudah gila dengan trauma-trauma yang dimiliki?

Aku lagi suka sama orang xixixi



Lukisan Untuk Tama (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang