Sampai sekarang Tama masih penasaran terhadap manisnya rasa bahagia yang dikata oleh orang-orang. Tama pikir dengan melukis sepanjang hari akan membuat dirinya menyicip akan manisnya rasa itu. Tapi nyatanya semuanya masih sama dengan dengan hari sebelum-sebelumnya, Tama melukis dengan sorot mata kosong dan pikiran yang saling bersahut-sahutan. Yang membedakan hanyalah Dharma tidak datang dan marah-marah seperti sebelunnya.
Ditengah kamar yang lampunya sengaja diredupkan, Tama menelungkupkan tubuhnya. menggoyang-goyangkan ujung kuas ke cat minyak yang bewarna jingga, lalu ditorehkannya ke kanvas putih polos yang beberapa saat kemudian disulap menjadi pemandanganan laut kala matahari terbenam.
Langit bewarna jingga tampak nyata terpantul kehamparan lautan.
Tama sangat menyukai moment dimana matahari seakan membenamkan diri kedasar lautan, membuat keindahan langit bewarna jingga perlahan-lahan redup dan berubah menjadi warna hitam.
Dengan melukis moment kesukaanya ini, Tama hanya berharap kebisingan yang ada dikapalanya jadi sedikit tenang. Tapi, nyatanya tidak. Bahkan saat ini Tama ingin berteriak sekencang-kencangnya. Menutup telinga rapat-rapat saat pecahan kaca itu lagi-lagi terdengar yang kali ini diiringi oleh teriakan. Padahal kamar Tama kedap suara, tapi entah kenapa itu bisa didengar.
Tama memandangi beberapa lukisan yang sengaja ia hamparkan dilantai dengan tujuan lukisan itu cepat kering. Tanpa berfikir panjang, Tama mengambil lukisan dengan kanvas dengan ukuran cukup kecil, lalu membawanya keluar dari kamar.
**
"Bahkan dia belum menghapus tattonya." begitu kaat Pram sesaat sebelum ia menyeruput kopi yang masih mengeluarkan asap itu.Setelah itu ia memandangi Dharma yang akhir-akhir ini dirasa terlalu memanjakn Tama. "Mulai minggu besok, dia harus menjalankan hidupnya seperti sebelumnya."
Dharma diam sejenak dengan wajah yang tidak percaya, mencoba memastikan apakah ia salah dengar atau tidak. "Aku nggak bakal ngelakuin itu lagi ke Tama, ayah."
Pram langsung berdiri dan melayangkan tamparan kewajah Dharma. "Apa kamu gila?! Anak itu tinggal satu-satunya pewaris perusahaan keluarga ini, dan seharusnya memang dia!"
"Tapi dia nggak mau, ayah! Kita nggak bisa maksa-maksa dia lagi, biarkan saja dia ngelakuin hal-hal yang dia sukai."
"Membiarkannnya melakukan hal-hal yang dia sukai?" Pram tersenyum miring. "Bahkan saat ini anak itu belum menghapus tattonya dan sehari tadi ia tidak keluar kamar itu yang dibiarkan saja? bahkan dia udah lama nggak masuk sekolah, itu yang dibiarkan?!"
Seharian tadi Tama memang tidak keluar dari kamarnya, yang sudah Dharma tebak pria itu mengahabiskan waktu dengan melukis. Walau ini hidupnya dan dia punya hak penuh atas semuanya, tapi Dharma rasa itu bukanlah hal yang benar juga. Ada hal produktif yang tampaknya tidak bisa ditinggalkan, sekolah. Dharma akan menasehati anak itu dengan baik-baik setelah ini.
"Mulai besok anak itu nggak boleh lagi melukis dan suruh dia buat masuk sekolah tanpa alasan apapun! Satu lagi, dia harus belajar mengenai perusahaan ke Hendra, suruh dia datang ke kantor setelah pulang sekolah."
Dharma berdecak keras. "Tama nggak bakal mau, pa."
"Dharma!" suara pram kembali meninggi. "Kenapa kamu terus-terusan melindungi Tama seperti ini?! sampai kapan kamu membiarkan anakmu menjadi orang yang nggak berguna?! ingat, anak kamu sampai saat ini belum bisa apa-apa." suara Dharma semakin merendah diakhir ucapannya, berusaha membuat anak sulungnya itu mengerti. "Dia laki-laki, seharusnya dia bisa diandalkan, nggak melempem kayak gitu aja. Jangan manjain dia karena kamu takut kehilangan anak kamu untuk kedua kalinya. Ingat, Shania mati bukan karena sekolah atau hal-hal yang berhubungan dengan perusahaan, jadi kamu nggak perlu terlalu mengkhawatirkan itu."
Dharma membiarkan kata-kata yang hendak ia keluarkan tertahan ditenggorokan, lebih memilih membuka pintu yang diketuk-ketuk oleh orang yang ada dibalik sana.
"Tama." Dharma terkaget, kala mendapati Tama dengan wajah yang kaku. "Ada perlu apa
Tama berusaha untuk tersenyum, lalu memperlihatkan sesuatu yang ada dibalik tubuhnya. "Lukisan untuk Papa." begitu katanya.
Bunga krisan bewarna pink muda tampak sangat indah tertoreh diatas kanvas berukuran yang bisa dibilang kecil itu.
Bunga krisan, sebelumya Tama tidak tahu jika ada bunga secantik itu. Tama hanya tau bunga mawar dan melati. Tapi semuanya bermula saat Tama diam-diam melihat Mario memberikan bunga Krisan kepada Kara. Kata pria itu, bunga ini melambangkan kebahagiaan dan umur panjang. Walaupun Tama hanya memberikan bunga ini dalam bentuk lukisan, tapi Tama tetap berharap bunga ini akan membawa nasib baik untuk ayahnya, bahagia dan umur panjang.
"Semoga Papa bisa bahagia."
Dharma tertawa kecil dengan mata yang masih mengamati lukisan yang ada ditangannya. "Apa maksud, mu?"
Tama memeluk Dharma alih-alih menjawab pertanyaan itu. "Maafin Tama yang selalu ngecewaiin, Papa."
Dharma hanya diam disela-sela tangis anak bungusnya itu.
Pertama kalinya Tama menangis pada pundak ayahnya.
Tangis itu terdengar menyakitkan, seakan pemilik tangis itu memili luka yang sangat dalam dan sudah bernanah.
Tapi...luka itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan pemilik pundak yang sudah basah itu.
Ketidakbahagiaan.
Tekenan.
Paksaan.
Capek.
Kesepian.
Tidak ada dukungan.
Tama merasakan semuanya, tapi pemilik pundak yang sudah basah itu lebih merasakan lagi.
Tama berharap Papa bisa bahagia.
Anak anak kosan disini nggak yaaa?
Aku mau nanya, pernah semiskin apasiiii kalian dikosan? Soalnya sekarang kayaknya titik terendah aku dikosaan deeh HAHA
KAMU SEDANG MEMBACA
Lukisan Untuk Tama (TAMAT)
Teen FictionBanyak cara yang Tama lakukan agar ia bisa menyicip manisnya rasa bahagia yang dikata orang-orang. Alih-alih semuanya membaik, luka pada hatinya semakin parah dan satu-persatu mulai bernanah, juga hidupnya yang terlanjur berantak'kan kala terlalu ja...