Jangan lupa vote~
Bel pulang sudah berbunyi sejak dua jam yang lalu. Guru-guru dan para staff juga telah meninggalkan sekolah, berbeda sekali dengan para murid yang masih setia disekolah. Berdiri dilantai tiga atau dua hanya untuk menyaksikan geng yang sangat terkenal disekolah mereka. Berdiri berbaris dengan tangan yang memegang tongkat baseball dan alat-alat tajam lainnya. Tidak ada yang berani membubarkan mereka, termasuk anak OSIS sekalipun.
Cobra, itu nama geng nya. Berisikan sekelompok laki-laki yang tampaknya sangat bangga dengan kenakalannya. Hidup mereka dipenuhi dengan kata solidaritas dan kekeluargaan yang nyatanya itu menghancurkan masa depan atau bahkan hidup mereka.
"Ayo, Nda. Pulang." Natasya sedari tadi merengek-rengek sembari menarik lengan Rinda.
Rinda berdecak, ditepisnya tangan Natasya. "Ish! Lo nebeng juga sama gue. Gue mau liat Ular dulu." ular adalah panggilan atau bisa dibilang sebuah ejekan untuk geng Cobra.
Natasya mengerucutkan bibirnya. "Motor buntut juga," gumanya, beranjak dan berdiri disamping Justin.
"Selain nggak searah, rumah lo juga jauh pake banget." Justin sudah menebak jika Natasya pasti minta diantarkan, pria ia melihat Natasya dengan mata nyalang.
"Sama gue aja yuk," tawar Zaky.
"Noh sama dia tuh." Justin langsung berajak menjauh dari Natasya.
"Bener?"
"Iya. Tapi pulangnya nanti habis ini selesai. " Zaky menyengir, memperlihatkan dua gigi bagian depannya yang besar bukan main.
Suasana yang tadinya bising kini diam seribu bahasa dikala deru berisik motor memekak'kan telinga. Sekelompok geng motor yang tidak dikenali mengelilingi lapangan SMA Dharma Putra. Mengeluarkan gumpalan-gumpalan asap hitam dari knalpot yang berhasil membuat geng Cobra terbatuk-batuk.
Laju motor mereka hentikan, suasana kembali tenang tanpa ada suara bising dari knalpot. Mereka turun dari motor dan berdiri dihadapan geng Cobra. Mata tajam tanpa rasa takut dari mereka semua mengisyaratkan jika mereka siap melawan geng Cobra dengan tangan kosong.
"Itu bukannya Tama?!"
"Anjir bener, dia ngapain disana?"
"Bosen hidup nggak gini juga kali!"
Tiger, mendengar namanya sudah membuat bulu kuduk berdiri. Geng dari sekolah SMA Tunas bangsa yang sangat ditakuti. Mampu memenangkan permainan walau hanya dengan tangan kosong karena mereka semua sangat licik dan mempunyai taktik tersendiri dalam melawan lawan. Siapapun yang berurusan dengan mereka jangan berharap untuk bisa menjalankan hidup dengan tenang. Mereka sangat kejam, tanpa memandang bulu. Tua muda, laki-laki perempuan, semuanya dihabisi jika berani macam-macam dengan mereka.
Tiger diketuai oleh Septio Samudera. Pria yang dikenal dengan kehebatannya dalam bela diri itu biasanya berdiri paling depan diantara yang lainnya. Tapi, hari ini tampak berbeda. Ada wajah baru pada Tiger. Pria dengan tinggi 183 itu berdiri dengan gagah. Orang-orang disini yang sudah mengenalnya sedari dulu tentunya melemparkan senyuman remeh. Siapa yang tidak bisa melawan pria lemah itu? Lebih baik dia menghafal pidato saja dibandingkan ikut tawuran seperti ini.
"Tama, jangan sampai lo keliatan gugup. Lo udah gue latih satu bulan lamanya. Tunjukan kepada mereka semua kalau lo itu hebat. Bungkam mulut mereka yang pernah meremehkan lo dengan ini. Buktikan kehebatan lo." Tio menyamakan posisinya dengan Tama dan membisik'kan kalimat itu, setelahnya ia kembali pada posisi yang sebelumnya.
Lukas, ketua Cobra mendekati Tama. Ia tersenyum kecil, memandangi Tama dari atas sampai bawah. Seakan berkata, ini yang mau ngelawan gue?
"Yakin nih, janji nggak ngadu sama bokap?"
Orang-orang yang ada dibelakang lucas atau lebih tepatnya Cobra terkekeh.
"Kalau kita mukul lo kita nggak bakal dikeluarin dari sekolah kan? Jangan ngancem pakai jurusan andalan lo lagi." Lukas diam sejenak, meneliti wajah Tama yang tidak bereaksi apa-apa. "Gue saranin lo buat ngapalin pidato lo sih-- ah-!"
Semua orang menutup mulutnya. Ini sangat menebarkan. Seorang Alvino Putra Pranaja yang tidak bisa apa-apa kini menahan tangan Lukas yang hendak memukuli wajahnya. Lalu ia menepisnya dengan kasar.
BUGH!
Tinjuan keras berhasil dilayangkan Tama kepada ketua Cobra yang kabarnya ditakuti disekolah ini. Warna merah dan kebiru-biruan mulai menghiasi wajahnya.
"Inget, lo dan kawan-kawan lo cuman ditakuti disekolah ini. Diluar?" Tio tersenyum mengejek.
"Kalian diremehkan." sambung Tama dengan senyuman miring.
"O EM TU THE JII!!" Zaky memekik kencang-kencang saat Lukas kembali melayangkan tinjuan yang kembali berhasil ditahan oleh Tama. Setelah itu Tama memelintir tangan Lukas kebelakang membuat orang-orang memekik karena merasa ngilu.
"Kayaknya bukan Tama deh," ujar Justin dengan pandangan fokus keorang yang bukan ia sebut Tama itu.
Tama menghempaskan tubuh Lukas ketanah. Sesaat setelah itu Lukas mengangkat tangannya, isyarat untuk anggotanya agar menyerang Geng Tiger.
Saat ini perkelahian pun tidak bisa dihindarkan. Cobra dengan senjata sedangkan Tiger dengan tangan kosong, yang beberapa saat kemudian semuanya berubah menjadi sebaliknya. Tiger berhasil merebut dan menguasai senjata Cobra. Orang-orang yang menyaksikan dari lantai atas mengigit jari dengan tubuh menegang karena pertarungan ini sangat sengit dan sudah ada berluburan darah.
Tama yang berhasil mengambil alih tongkat baseball hendak melayangkannya ke punggung Lukas. Tapi secara tiba-tiba ia oleng dan menjatuhkan tongkat baseball itu. Ada orang yang menariknya tangannya dan berlari dengan sangat cepat. Bahkan Tama kesusahan menyamakan langkahnya dengan pria yang menariknya untuk keluar dari pertarungan.
"Lo udah gila!?" Vino melihat Tama penuh dengan kemarahan. "Lo sadar nggak sih sama apa yang lo lakuin?!"
Tama berdecak, hendak langsung beranjak tapi dengan cepat ditahan oleh Vino. "Gue tanya, lo sadar nggak sama yang lo lakuin?!"
"Gue sadar! Gue sadar dengan apa yang gue lakuin! Gue melakukan semuanya dengan sadar!" Tama mengeraskan rahangnya.
"Berhenti bergaul dengan mereka dan pulanglah kerumah!"
"Pulang hanya untuk diatur dan dipukul?" Tama langsung berdecak. "Sorry, gue nggak bisa. Dan... Gue nggak bisa berhenti bergaul dengan mereka. Mereka teman gue!"
"Ada banyak orang yang bisa lo jadiin teman! Kenapa harus mereka?!"
"Karena hanya mereka yang bisa nerima gue! Hanya mereka yang nggak ngejek-ngejek gue!"
Vino tidak mengerti dengan apa yang Tama rasakan. Tumbuh dengan luka dan hidup dalam ketidak bahagiaan. Selalu gagap melakukan semuanya. setelah itu mereka menertawakan Tama alih-alih memberitahu bagaimana caranya. Vino tidak tahu, bagaimana rasanya dituntut untuk bisa melakukan semuanya dengan sempurna disaat tidak ada yang sempurna didunia ini. Vino tidak pernah tahu, bagaimana rasanya tersesat didunia ciptaan Dharma yang sama sekali tidak Tama kenali.
Dan...mereka semua baik. Mereka menerima Tama dan mengajarkan banyak hal kepada Tama. Walau banyak sekali umpatan dan teriakan, tapi hanya disana Tama bisa tertawa terbahak-bahak seakan tak ada beban. Sekarang Vino meminta Tama untuk menjauh dari mereka. Kembali pulang dan hidup penuh tekanan serta remehan kembali. Tama tidak bisa melakukan itu. Belum cukup dua bulan bersama mereka, tapi Tama merasa sangat dekat seakan ada hubungan darah, terutama dengan Tio.
"Jangan urus gue lagi. Bilang sama Papa kalau gue nggak bakal pulang." Tama diam sejenak, lalu tersenyum miring. "Dia juga nggak bakal peduli, karena dari dulu dia emang nggak mau punya anak kayak gue." Tama pergi meninggalkan Tio dengan tubuh yang merasa kaku.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Lukisan Untuk Tama (TAMAT)
Roman pour AdolescentsBanyak cara yang Tama lakukan agar ia bisa menyicip manisnya rasa bahagia yang dikata orang-orang. Alih-alih semuanya membaik, luka pada hatinya semakin parah dan satu-persatu mulai bernanah, juga hidupnya yang terlanjur berantak'kan kala terlalu ja...