bab4

67 5 0
                                    

Jangan lupa vote~

Bohong jika Tama merasa baik-baik saja setelah ia terpilih menjadi ketua osis. Berfikir apa yang akan terjadi kedepannya cukup membuat waktu tidur Tama terganggu. Kekhawatiran dan ketakutan itu kerap menghantui Tama belakangan ini. Tidak hanya mengganggu waktu tidur, tapi proses belajar juga. Tama kerap termenung, hanya untuk memikirkan kesalahan apa yang mungkin tidak sengaja ia lakukan saat menjabat sebagai ketua osis.

Manusia memang tempatnya salah, Tama tahu itu. Tapi, Tama juga tahu, kalau tidak semua orang bisa menerima kesalahan yang diperbuat. Terlebih Tama disini adalah cucu dari seorang pemilik yayasan sekolah. Jika melakukan kesalahan pasti nama keluarga akan dibawa-bawa.

Hari ini Tama resmi dilantik sebagai ketua osis dengan Adista sebagai wakilnya. Dari tempatnya berdiri sekarang, Tama menunduk, memandangi ujung-ujung sepatu converse yang ia pakai. Didalam hati ia terus mengucapkan pidato yang diberikan Dharma tadi malam untuk dibacakan sebentar lagi.

Nama Tama dipanggil. Helaan nafas kasar Tama dapat didengar dengan jelas oleh Adista. Gadis itu memandang punggung yang tampak tidak tegap itu dengan iba. Ini semua bukan kemauan Tama. Tama si introvet lebih senang melukis dibandingkan melakukan hal-hal semacam ini. Pria malang itu dijadikan robot dan diprogram untuk memenuhi semua keinginan ayahnya.

Tama sangat gugup, ini kali kedua ia berdiri didepan orang banyak. Sebelumnya Tama melakukan hal yang sama kala ia membacakan visi dan misinya sebagai calon ketua OSIS. Semuanya tidak berjalan sesuai rencana. Tama tegang dan matanya hanya terpaku pada satu titik, suaranya juga terdengar bergetar, penyampaiannya pun juga terbata-bata. Sangat memalukan, akibatnya Dharma marah besar pada malam harinya.

Kali ini Tama berharap semua berjalan sesuai dengan rencana. Isi pidato yang dibuat oleh Dharma agaknya sudah Tama baca sebanyak seratus kali agar melekat dikepala. Awalnya semua berjalan normal, semuanya tampak sedikit lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya. Tapi dipertengahan, secara tiba-tiba Tama terdiam, wajahnya berubah menjadi pucat pasi.

Dengan wajah pucat dan keringat yang menetes Tama berusaha mengingat-ngingat mana kalimat yang ia tinggalkan. Bodoh sekali. Bahkan semuanya lenyap dikepala Tama. Tama tidak bisa mengatakan apa-apa lagi, selain semua hafalan itu hilang, dan... Ayolah Tama tidak sepintar itu mengarang dan merangkai kata-kata dalam situasi seperti saat ini. Tama ingin menangis saat ini juga.

Dengan tangan yang gemeteran Tama mencoba untuk merogoh saku celananya, mengeluarkan lembaran-lembaran yang berisikan pidato yang ditulis Dharma. Sialnya lagi, Tama tidak menemukan dan tidak ingat juga sampai dimana ia menyampaikan pidato tadi. Tidak mungkin Tama mengulang pidatonya dari awal dengan kalimat yang sama persis seperti tadi.

Semua orang menyaksikan kepanikan Tama. Melihat helai demi helai kertas yang tampak sudah tak beraturan lagi ditangannya. Perlahan-lahan suara tawaan muncul, sedangkan Tama masih sibuk mencari-cari kalimat terakhir yang ia ucapkan.

Tidak ada yang bisa Tama lakukan selain menunduk seperti pencundang, sampai portokol memintanya untuk kembali keposisi awal. Ternyata ini semua lebih buruk dibandingkan dengan sebelumnya.

**

"Hai Tika, makin cantik aja. Nanti pulang sama bang justin, yak?" Justin tersenyum manis tak lupa ia mengedipkan sebelah matanya ke adik kelas yang baru saja lewat didepannya. "Eits, hati-hati dong." reflek Justin berdiri dari duduknya, meraih tangan gadis yang ia panggil Tika itu dan membantunya untuk berdiri.

"Grogi ya, Tik? Udah biasa kok, bang Justin paham kok perasaan Tika." Justin tertawa kecil. "Eh, sorry-sorry." Justin tersadar, cepat-cepat Justin melepaskan pegangan tangannya.

Zaky yang tahu Justin sebenarnya modus mencibir. "Ngerasa ganteng banget lo, buaya empang?!" setelah itu Zaky menaikkan sebelah kaki dengan pandangan yang belum beralih ke Justin yang sok-sokan bersikap manis ke adik kelas.

Lukisan Untuk Tama (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang