14

31 3 4
                                    

Pada hari yang sudah larut Tama sampai dirumah. Mengetuk-ngetuk pintu besar layaknya seorang tamu. Tidak perlu menunggu lama, Dharma muncul dari balik pintu dengan wajah penuh dengan kebengisan. Ditariknya Tama untuk masuk kedalam rumah lalu langsung mengunci pintu dengan gerakan cepat.

Tama sedikit kaget, kala beberapa orang yang tidak pernah Tama sangka kehadirannya dirumah tampak menuruni anak tangga dengan wajah yang mengkerut sempurna.

"Apa-apaan ini?!" Dharma memandang Tama dengan mata tajam dari atas sampai bawah. Melihat bagaimana penampilan anaknya itu sekarang benar-benar membuat amarah Dharma memuncak. "Ah!" Dharma langsung berteriak, kepalanya tiba-tiba dipenuhi dengan aksi-aksi Tama yang diluar nalarnya. Bahkan saat ini Dharma sudah tidak bisa berkata-kata lagi. Ia terduduk sembari memegangi keningnya, cukup menjelaskan jika kepalanya sakit menghadapi tindakan-tindakan gila yang dilakukan Tama akhir-akhir ini.

"Apa yang kamu lakukan disekolah tadi?!" pria yang sudah tua itu berbicara dengan keras walau suaranya terdengar serak. "Kamu membuat temanmu hampir mati!"

"Tama." pria dengan kemeja biru itu mengeluarkan suara, menyebut nama Tama dengan nada rendah. "Apa yang sudah kamu lakukan? Kamu sadar atau tidak banyak sekali kesalahan yang sudah kamu lakukam akhir-akhir ini. Papa kamu kewalahan sama tindakan-tindakan kamu akhir-akhir. Sudah berapa lama kamu nggak pulang? Sudah berapa lama kamu nggak masuk sekolah?" pria itu diam sejenak, memandang tatto yang ada dibalik telingan Tama. "Dan...tatto itu, sejak kapan kamu punya tatto? Kamu udah besar, seharusnya sudah mengerti dengan semuanya. Keluarga kita tidak membolehkan itu semua bukan? "

"Om hendra, tolonglah mengerti." Tama memandang Hendra dengan wajah yang memelas. Sepeninggalan Ibu pria lajang yang berstatus sebagai adik dari Dharma itu adalah tempat dimana Tama bercerita, walau pada akhirnya pria itu selalu membela Dharma dan meminta Tama untuk menuruti kemauan Dharma. "Soal masalah disekolah tadi mereka yang mulai dulu. Kalau mereka diam aja Tama nggak bakal ngelakuin itu. Sekali dua kali Tama biarin aja, tapi ini udah sering om."

"Seharusnya kamu sadar kenapa kamu diremehkan sama mereka, itu karena kamu emang pantas untuk diremehkan! Kamu itu tidak bisa apa-apa makanya diremehkan! Selalu bersikap bodoh dan lemah!" Dharma bersuara.

"Diremehkan?!" pria tua itu adalah ayah Dharma, Pramwitno Putera Pranaja. "Seorang cucu pemilik sekolah diremehkan?! Kebodohan apa yang kamu lakukan sampai-sampai mereka semua merehkan kamu?!"

"Dia tidak bisa apa-apa ayah. Sudah berkali-kali dibilangin, tapi dia melawan. Liatlah dirinya sekarang, tidak kurang seperti orang yang tidak memiliki masa depan. Ayah tau apa yang dia lakukan satu hari yang lalu?"

"Apa?"

"Tawuran."

"Tawuran?! Kamu tawuran Tama?!" amarah pria tua dengan rambut yang sudan memutih itu langsung memuncak. Dilemparinya Vas bunga berbahan kaca kearah Tama.

"Kakek!" Tama jelas terbelak.

"Berani-beraninya kamu meninggikan suara saat berbicara dengan ku?! Kau benar-benar, ya--" Pram dengan tinggi 190 dan tubuh besar sangat mudah baginya menyeret Tama kearah pintu samping. Langsung menedang pintu yang tidak dikunci itu.

"Kakek, jangan lakukan itu!" Tama memohon setengah mati kala Pram mendorong tubuhnya masuk kedalam kolam berenang yang dalamnya tiga meter. Bahkan seumur hidup Tama belum pernah menceburkan dirinya kedalam kolam berenang itu.

Tama berusaha untuk memegang tepian kolam, tapi Pram terus mencoba menjauhkan tangan Tama. Sesekali pria tua yang sepertinya tidak punya hati itu membenamkan kepala Tama, sampai anak malang itu terbatuk-batuk bahkan baru saja ia menelan air kolam itu.

"Dasar anak kurang ajar! Tidak tahu terimakasih! Bisa-bisanya kamu melakukan semua ini disaat ayahmu bekerja siang malam, hmm?! Apa yang kamu banggakan dengan tato mu itu?! Apa yang kamu banggakan dengan apa yang kamu lakukan akhir-akhir ini?! "

Lukisan Untuk Tama (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang