8

31 4 0
                                    

Jangan lupa vote...

"Semua keiinginan Papa Tama turutin! Belajar nggak kenal waktu, bimbel, ketemu sama rekan kerja, jadi ketos, nggak ngelukis lagi, tapi kenapa Papa selalu nggak puas?! Kenapa Papa selalu ngebebanin Tama sama hal-hal yang baru lagi?! Waktu sehari cuman dua puluh empat jam, Pa! Enggak lebih! Seharusnya Papa mikir buat minta Tama jadi ini itu--"

PLAK! PLAK!

Tama muak dengan segala perintah Dharma yang harus ia jalankan dengan sempurna tanpa ada kesalahan, padahal jelas-jelas anak lelakinya itu hanya siswa biasa yang hanya pandai melukis. Beberapa kali Tama berkata pada Dharma, jika ia memiliki daya ingat yang payah serta otak yang kesulitan memahami sesuatu. Tapi yang didapatkan Tama kala itu sama dengan sekarang, tamparan keras.

"Oke! Kamu nggak bisa sempurna atau bisa dikatakan sangat bodoh dalam akedemik. Tapi apakah kamu bisa dalam non akademik seperti main basket? Nggak bisa kan?! Kamu malah lebih memalukan dalam bidang non akademik!" Dharma mencerca anaknya itu secara bertubi-tubi, menunjung-nunjuk pemuda berwajah mewar dan mata yang mulai berair itu.

"Pa! Bahkan Tama belum ada latihan sama sekali! Bahkan bermain basket saja Tama belum pernah sebelumnya! karena hidup Tama hanya diisi dengan menjalankan kemauan Papa itu! Dan bisa-bisanya Papa meminta Tama buat bertanding basket, sedangkan Papa sadar semua itu! Disini bukan Tama yang gila, tapi Papa!" sepertinya tuhan berbaik hati memberikan keberanian kepada Tama. Pria yang biasanya menunduk dan mengangguk didepan ayahnya itu, kini dengan beraninya menunjuk-nunjuk pria tua itu.

Dharma yang diperlakukan seperti itu tentu saja emosinya memuncak. Ia menangkap tangan Tama dengan cepat dan langsung memutar balik'kannya serta mengapit leher anaknya itu menggunakan lengan. Sampai anak laki-lakinya itu berteriak karena menahan rasa sakit.

"Lepas, Papa! Leher Tama sakit!

"Apa kamu bilang tadi?! Coba ulangi lagi! Berani-beraninya kamu sama Papa! Papa ngelakuin semua buat kebaikan kamu!" Dharma menjada ucapannya. "Minta maaf!"

"Enggak! Tama nggak bakal nurutin semua kemauan Papa lagi! Tama nggak bakal belajar lagi, nggak bakal ikut bimbel lagi! Tama akan berhenti jadi ketua OSIS! Pokoknya Tama nggak bakal ngelakuin apa yang Papa minta lagi!"

"Apa kamu bilang?! Mau Papa bunuh Kamu?!" Dharma benar-benar emosi.

"Bunuh aja!"

Dharma mendorong dengan kasar tubuh anaknya itu kelantai. Kening yang memar karena tinjuan Justin tadi kini mengeluarkan darah karena terbentur kelantai.

"Dari dulu Tama udah bilang sama Papa, kalau Tama itu nggak sama kayak anak-anak yang lain. Benar kata Papa, Tama itu bodoh, nggak guna, malu-maluin. Jika Papa tau itu, seharusnya Papa nggak nyuruh Tama ngelakuin ini itu dengan sempurna!" Tama menangis disela-sela ucapannya. "Apa Papa pernah bertanya pada Tama, Tama capek atau tidak ngelakuin semua keinginan Papa tanpa istirahat sedikit pun? Tama capek, Pa! Tama butuh istirahat. Tama ini manusia, bukan robot yang seenaknya bisa Papa program buat ngejalanin semua kemauan Papa."

Tidak ada yang bisa membuat hati Dharma luluh selain lembaran kertas yang diujungnya tertulis angka seratus atau piagam kemenangan olimpiade. Dharma yang masih dengan emosi yang menggebu-gebu menyeret Tama dengan kasar, bahkan anak itu masih menangis.

"Kamu renungi semua kesalahan kamu terlebih dahulu disini!" Dharma mendorong tubuh Tama untuk masuk kedalam ruangan gelap itu, setelah itu ia menutup pintunya dengan kasar.

"Pa! Pa!" Tama berlari kearah pintu. "Jangan kunciin Tama, Pa!" Tama memutar knop pintu berkali-kali sembari memukul-mukul agar pintu itu dibukak'kan oleh Dharma. Tama berteriak-teriak penuh dengan permohonan. Ucapan permintaan maaf dan penyesalan terus keluar dari mulut Tama agar pintu itu dibukakan. Tapi nihil. Sepertinya Dharma sudah menjauh dari pintu tersebut.

Masih menangis seperti pecundang Tama meraba-raba dinding untuk mencari saklar lampu. Sudah dibilang dari sebelum-sebelumnya, Tama ini tidak seperti anak-anak pada umumnya. Dengan jenis kelamin laki-laki yang seharusnya lebih pemberani Tama malah takut dengan kegelapan.

Tama mengaduh kala benda tajam menusuk kakinya. Ini gudang, pecahan-pecahan kaca biasanya ditaro disini sebelum benar-benar dibuang. Tama meringis kesakitan, bahkan ia tidak bisa mengikat bagian luka itu menggunakan kain atau sekedar melihat bagian luka itu.

Tama terduduk dengan tangan yang meraba-raba bagian luka itu yang setelahnya ia tutup menggunakan telapak tangannya, setidaknya darah dari luka itu bisa berhenti.

Renungkan kesalahan, katanya. Bahkan Tama sendiri tidak tahu apa kesalahan yang ia perbuat. Disini Dharma yang seharusnya merenungkan kekeliruan yang ia lakukan kepada Tama sedari dulu. Orang-orang dewasa selalu merasa dirinya benar dengan dalih ia sudah lama menjalankan hidup dibanding anak-anak dibawahnya.

Hai~ jangan lupa ngelakuin hal-hal yang bermanfaat~

Lukisan Untuk Tama (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang