bab 2

81 7 1
                                    

Jangan lupa vote dulu, ya~

Kemampuan akademik Tama terbilang rendah. Walau mengikuti bimbel dan belajar tidak kenal waktu, tetap saja Tama tidak pernah masuk sepuluh besar dikelas.

Tama memiliki kesulitan untuk memahami pelajaran. Daya ingat Tama pun tidak sekuat orang-orang pada umumnya. Agaknya Tama perlu mengucapkan lebih sering materi-materi pembelajaran atau rumus-rumus agar melekat dikepalanya. Kabar buruknya, terkadang hafalan itu dengan mudahnya hilang dari kepala Tama beberapa jam kemudian.

Tama punya banyak kekurangan, tapi lingkungan sekitar tampaknya menutup mata akan kekurangannya itu. Termasuk Dharma, selaku ayah kandung Tama. Bukannya mengerti akan kekurangan yang dimiliki sang anak, pria tua itu malah terus-terusan menuntut Tama agar bisa mendapat sepuluh besar bahkan bila perlu juara kelas sekalipun. Tama juga kerap dibanding-bandingkan dengan Shania--Kakak perempuan Tama yang kebetulan mengantongi juara satu diangkatan.

Tama menghela nafas panjang, ia bangkit dari kursi belajar yang sudah di duduki sekitar tiga jam lamanya. Pria kerkaos hitam itu berjalan kearah balkon, mengacak-ngacak rambut dengan pandangan gusar. Sedikit stress karena sudah capek-capek menghabiskan waktu tiga jam untuk belajar tapi tidak banyak materi yang bisa dipahami. Belajar selama itu hanya membuat kepala tama pusing dan sedikit mual. Tama tidak suka menghabiskan banyak waktunya untuk belajar, tapi ia harus tetap menjalankan semua itu, karena Dharma telah mengatur semuanya.

Tama suka melukis. Semenjak kecil Tama memiliki sebuah keinginan yang tak kunjung terwujud hingga sekarang. melukis dari ia bangun tidur sampai ia tidur kembali.

Tama kembali masuk kedalam kamar. Berjalan kearah ranjang dan mengeluarkan semua alat lukis yang di sembunyikan dibawah sana. Sebelumnya, dari jauh-jauh hari Dharma tidak mengizinkan Tama melukis. Karena menurut pria itu, melukis membuat Tama lalai akan tugas-tugas. Dengan tidak berperi perasaannya Dharma membuang semua alat-alat lukis dan lukisan Tama entah kemana. Hanya sedikit yang tersisa, diam-diam Tama menyimpannya dibawah ranjang.

Hari ini suasana hati Tama lagi tidak baik, ia juga merasa capek dengan kesehariannya. Tama tidak ingin melanjutkan belajar yang sempat tertunda, Tama ingin melukis. Karena hanya dengan melukis itu semua dapat teratasi. Dengan melukis, benang-benang kusut itu bisa tertata kembali. Suasana hati yang buruk itu bisa membaik lagi.

Tama menelungkupkan badannya, walau lantai tanpa alas itu terasa dingin. Saat hendak menoreh'kan kuas diatas kanvas yang masih bewarna putih polos itu, suara pintu kamar yang terbuka menyusup keindera pendengaran Tama. Sesaat Tama memicingkan matanya kuat-kuat, lalu menorehkan kuas diatas kanvas dan berlagak seolah-olah orang yang kini berdiri didekatnya itu tidak ada. Walau didalam hati Tama mengumpat habis-habisan, lagi-lagi ia tidak bisa menyelesaikan lukisan.

"Tama!" sedangkan Dharma melihat alat lukisan yang seharusnya tidak ada itu tentu saja ia marah. "Sejak kapan kamu jadi pembohong?! Sejak kapan kamu jadi pembangkang kayak gini?!"

Tama diam saja, menganggap suara itu angin lalu, bahkan tangan pria itu masih memegang kuas dan masih mengayun-ngayun'kannya diatas kanvas. Tetapi tiba-tiba Tama mendongak saat mendengar suara resleting, Dharma membuka tas sekolahnya. Bahkan saat ini Tama sudah berdiri didekat pria tua itu dengan raut wajah was-was.

"Ini? Ini hasil ulangan kamu?!" Dharma mengangkat kertas ulangan milik Tama tinggi-tinggi. Dikertas ulangan itu terpampang jelas angka 18 yang ditulis menggunakan pena merah.

"Pa, Tama belum sempat belajar, itu ulangan mendadak." Tama melakukan pembelaan, tangan pria itu berusaha untuk mengambil alih kertas ulangan itu, sebelum Dharma meremuknya dan melemparkan kewajahnya.

"Belum sempat belajar kata mu?! Waktu luang itu dipakai buat belajar! Bukan buat ngelukis! Sekarang kamu seharusnya belajar, nanti ada ulangan mendadak lagi, gimana?!"

"Tama tadi udah belajar, Pa, buat ngejar ketertinggalan materi. Pa--" cepat-cepat Tama berbicara lagi sebelum pria itu kembali mengeluarkan suara. "Akhir-akhir ini Tama sering rapat, karena bentar lagi Tama bakal dilantik. Sama Papa tau sendiri 'kan jam empat Tama juga ikut bimbel--"

"Itu bukan alasan! Sekarang aja kamu ngebuang-buang waktu buat ngelukis! Stop ngelakuin hal-hal yang nggak penting. Ingat, Tama, kamu itu penerus perusahaan! Papa nggak mau orang-orang beranggapan kalau kamu itu nggak pantas jadi pemegang perusahaan karena kamu bodoh! Semua ini Papa lakuin demi kamu, Tama!" Dharma menjeda ucapannya, memandang anak lelakinya itu dengan raut penuh kekecewaan beberapa saat. "Kamu tau kan siapa kamu disekolah? Jangan malu-maluin keluarga kita karena kebodohan kamu." kali ini Dharma berucap dengan suara yang semakin mengecil.

Tama berstatus sebagai cucu tunggal pemilik sekolah SMA Dharma Putra. Disaat Tama ingin menanggalkan status itu pada dirinya, orang-orang malah mengatakan Tama anak yang beruntung. Mereka semua tidak tahu, betapa tertekannya Tama dengan status itu. Selalu dituntut untuk sempurna disekolah, walau begitu Tama terus saja melakukan kesalahan dan suatu hal yang dianggap memalukan oleh Dharma.

"Tau sebentar lagi dilantik, kamu seharusnya mempersiapkan diri dari sekarang! Siapkan pidato dari sekarang! Besok, pidato kamu sudah ada ditangan Papa buat Papa koreksi." perintah Dharma yang mau tidak mau dibalas anggukan oleh Tama, padahal besok jadwalnya sangatlah padat. "Papa berharap kamu bisa melakukannya dengan maksimal, tidak malu-maluin seperti sebelum-sebelumnya, masak pidato aja gemeteran." Dharma menyinggung persoalan Tama waktu itu, berpidato dengan wajah gugup dan tidak berani memandang audiens.

"Besok kamu pulang cepat 'kan? Ikut sama Papa buat ketemu rekan kerja."

"Besok Tama ada rapat, Pa."

Kening Dharma langsung mengkerut. "Kamu aturlah waktu rapat kamu itu. Ingat, pintar-pintar bagi waktu. Bagaimana caranya supaya tugas-tugas wajib kamu itu nggak ketinggalan. Besok jam empat kamu ada bimbel juga tuh."

Tama menghela nafas panjang. Tidak ada gunanya juga ia menjawab, itu hanya akan memperpanpanjang masalah, karena semua kalimat yang keluar dari mulut Dharma selalu bertentangan dengan Tama. "Iya, Pa."

Saat ini Tama hanya bisa memandangi bagaimana Dharma mengemasi semua alat-alat lukisnya, lalu mengangkat dan membawa alat lukis itu keluar.  Untuk apalagi kalau bukan untuk dibuang seperti sebelumnya.

Tama menghela nafas panjang, memilih merebahkan tubuh diatas ranjang dengan lengan yang sengaja dijadikan sebagai bantalan. Mata pria yang tidak tajam lagi itu memandang langit-langit kamar dengan kepala yang terasa sempit. Pengap, bahkan saat ini ia ingin berteriak sekencang-kencannya.

Tama sangat pandai malukis. Tapi, itu tidak cukup. Tama juga ingin menjadi siswa yang pintar, juara kelas, dan ikut olimpiade seperti Shania. Tama ingin aktif di organisasi, tanpa mengganggu kegiatan-kegiatannya yang lain. Tama ingin berpidato didepan siswa-siswi tanpa rasa gugup sedikitpun. Tama ingin melakukan itu semua tanpa ada kesalahan sedikitpun. Tapi...Tama selalu saja melakukan kesalahan disetiap langkah. Hasil yang ia dapat selalu saja tidak sesuai dengan harapan karena kakurangan ia miliki.

Tama ingin bisa melakukan sesuatu yang sesuai dengan kemaunnya dan kemauan sang ayah.

Tama ingin sempurna, tapi selalu saja tidak bisa, karena manusia memang tidak bisa sempurna, kan?

"Kenapa aku selalu dituntut untuk sempurna disaat tidak ada manusia yang benar-benar sempurna didunia ini?" pernyataan singkat yang melakat dikepala Tama sedari dulu, dan sampai saat ini Tama belum mendapatkan jawaban atas pertanyaan itu.

    

Hai

Lukisan Untuk Tama (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang