9

29 4 0
                                    

Jangan lupa vote~

Pukul tiga dini hari Dharma membukakan pintu gudang. Alih-alih meminta untuk makan Dharma malah menghidupkan saklar lampu dan melemparkan buku-buku tebal sampai membuat anaknya yang sedang tidur itu terkaget bukan main.

Pukul setengah enam pagi Dharma muncul lagi dari balik pintu, pria itu menyuruh Tama mandi dan mengenakan seragam. Setelah itu pergi ke sekolah dengan barjalan kaki yang memakan waktu setengah jam dari rumah. Kata Dharma, itu adalah hukuman untuk Tama yang berani melawannya.

Hari ini tampaknya Tama sudah mulai menghiati Dharma layaknya Shania. Tapi bedanya, Shania tidak akan diketahui Dharma sedangkan dirinya sebaliknya. Tapi tidak apa Tama mendapatkan pukulan nanti setelah ia sampai dirumah. Lebih baik mati saja ditangan Dharma, dibandingkan mengikuti semua kemauan pria itu yang membuat Tama benar-benar lelah.

Pukul sembilan pagi Tama terduduk dirumah kosong yang jauh dari permukiman. Rumah tidak layak huni yang dihinggapi semak-semak dan dilapisi lumut. Cahaya matahari masuk melalui lubang-lubang dan jendela-jendela yang sudah tidak utuh lagi itu.

Tidak jauh dari sana, ada pemakaman umum. Dari tempat Tama duduk sekarang, ia dapat melihat pusara ibu disamping pohon kamboja besar dengan keramik bewarna biru.

Tama memanggil perempuan berhati lembut itu dengan Ibu, walau beberapa kali Dharma mengingatkan agar Tama memanggilnya dengan panggilan Mama. Akhirnya pada usia enam tahun, Tama memanggil wanita itu dengan sebutan Mama walau Tama tidak terlalu menyukai itu. Entahlah, dari dulu Dharma selalu menyuruh Tama untuk melakukan hal-hal yang tidak disukai anaknya, mulai dari hal-hal sepela ini pun.

Ibu adalah orang yang paling mengerti kekurangan yang dimiliki Tama. Sekalipun ia tidak pernah menuntut Tama. Bahkan saat Tama belum bisa membaca pada kelas satu sd, ibu mengajari Tama penuh dengan kehati-hati an dan lemah lembut. Berbeda dengan Dharma yang langsung emosi saat mengetahui jika Tama belum pandai membaca.

Ibu adalah orang yang menghargai lukisan Tama. Wanita berhati besar itu selalu tersenyum memandangi anaknya yang berumur tujuh tahun melukis. Memang lukisannya tidak sebagus pelukis profesional, tapi dibandingkan dengan anak-anak seusainya Tama jauh lebih baik. Ibu adalah penyelamat, disaat Dharma meminta Tama melakukan hal-hal yang tidak disukainya.

Tapi...semuanya berubah dikala Ibu meninggalkan Tama untuk selamanya. Dharma tidak hanya mengatur, tapi Dharma juga kerap berteriak kepada Tama setelah itu. Menjadikan Tama tumbuh sebagai anak yang bermental lemah. Selalu takut mencoba hal-hal yang baru karena tuntunan harus sempurna dengan apa yang dilakukan sedangkan dirinya penuh dengan kegagapan dan ketidak sempurnaan. Tidak itu saja, Tama juga tumbuh dengan hati yang penuh luka. Sering menangis pada malam hari mempertanyakan kepada hidupnya semenyedihkan ini. Kerap kali termenung dengan sorot mata kosong, memikirkan kenapa ia tidak punya rumah untuk pulang, bercerita mengenai apa-apa saja yang terjadi pada hari ini. Tidak ada tempat yang menerima keberadaannya dengan diri yang jauh dari kata sempurna. Apa dunia ini hanya untuk mereka yang bisa melakukan suatu hal dengan sempurna saja? Jika iya, itu sangat kejam.

Tama menghela nafas berat, bergerak membuka sepatu converse dikala kakinya terasa berdenyut. Luka itu yang hanya diobat dengan obat mereh itu masih basah, tidak seharusnya Dharma meminta Tama mengenakan sepatu.

Tama terkaget dikala orang-orang berseragam yang sama dengannya yang entah dari mana berlari masuk kedalam rumah kosong itu. Dengan terburu-buru mereka menutup pintu itu. Lalu refleks mereka memegangi dada dikala melihat keberadaan Tama disana.

Cepat-cepat Tama mengenakan sepatu yang sempat ia copot dan meraih tas miliknya. "Minggir, gue mau lewat."

"Lo?" pria dengan rambut belah tengah itu sangat kaget melihat Tama ada ditempat ini. "Lo bukannya sekolah hari ini?" pria itu masih terheran-heran.

Lukisan Untuk Tama (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang