10. Lagi (?)

75 63 17
                                    

Hai hai haiiiiiii

Gimana sama hari ini? Baik semua, kan??

Sebelumnya aku mau minta maaf, soalnya udah 3 hari aku gak update.

3 hari kemarin, aku mikirin ujian praktek dulu. Susah bangettttt. Jadi gak sempet buat update.

Buat kalian yang lagi ujian, SEMANGATTTT. Kalian pasti bisa. Yakin sama diri sendiri klo kalian bisa.

Udah ah, gosah basa-basi. Selamat membaca ya....

Semoga kalian suka. Tapi sebelumnya, biasakan kasih bintang sebelum baca, ya....

Jagan lupa follow aku, komen, dan bagikan cerita ini ke temen-temen kalian.

Bayyyyy

Hari sudah sore. Aku sudah pulang diantar oleh bunda Rahma dan Bima. Mereka langsung pulang, tidak mampir terlebih dulu ke rumahku.

Aku masuk kedalam rumah dengan sangat perlahan. Aku sangat takut jika orangtuaku ada dirumah. Kalian pasti sudah tau apa yang akan terjadi, bukan? Ya, mereka akan memarahiku.

"Assalamu'alaikum..." ucapku memberi salam. Lalu dengan lagkah pelan aku masuk kedalam rumah.

"Waalaikumsalam," jawab Mama dingin.

Aku menghampiri Mama dan Papa yang sedang mengobrol. Aku mengulurkan tangan untuk menyalami mereka berdua. Namun naas, mereka menepisnya.

"Kenapa kamu juara dua?" tanya Papa padaku.

Aku diam. Aku tidak bisa menjawabnya. Lalu dengan nada lebih tinggi, Papa bertanya lagi.

"KENAPA KAMU JUARA DUA?!!"

Aku terlonjak saat mendengar bentakan Papa. Itu sangat membuatku terkejut sampai hampir membuat jantungku lompat keluar.

"KALO DITANYA, JAWAB!!!" Mama ikut membentakku.

"Udah berapa kali kita bilang, kamu harus juara satu, Zora!!!" Papa membentakku. Tapi tidak semenggelegar sebelumnya.

"JAWAB PAPA, KENAPA KAMU GAK JUARA SATU?!!" kini, Papa mendorong tubuhku hingga membentur dinding. Bokongku sangat sakit.

Papa berjongkok menyetarakan tingginya denganku. Dia mendongakkan kepalaku dengan paksa. Itu sangat sakit.

"Jawab papa, kenapa kamu gak juara satu?!!" desisnya.

Aku menatap tepat kearah manik mata milik Papa. Dari matanya saja, sudah bisa terlihat jika Papa adalah orang yang tegas.

"Kamu tau, kenapa kamu gak juara satu?" papa menghempaskan wajahku kearah lain. Hempasan itu membuat kepalaku terbentur meja yang ada di sampingku.

"Karena kamu gak belajar dengan serius, beda dengan Kakak kamu. Yora. Dia sangat pintar, bisa membuat kami bangga, tidak seperti kamu. Kamu hanya bisa membuat kami malu!" lanjutnya dengan penuh penekanan.

Kata-kata itu, sangat membuat hatiku hancur. Sebenarnya, aku sudah biasa mendengar makian itu dari orangtuaku. Tapi, entah kenapa saat aku mendengarnya, aku sangat ingin menangis. Lemah sekali diriku ini.

"Jangan berharap kamu bisa mendapatkan kasih sayang kami jika kamu belum bisa membanggakan kami," kata Papa lalu beranjak pergi.

Jadi, selama ini aku tidak pernah membuat mereka bangga? Apa gunanya semua piala yang berjejer di buvet? Mereka tidak pernah tau sekeras apa aku belajar untuk mendapatkan semua piala itu.

Am I Selfish?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang