24. Menyebalkan tapi membuat nyaman

56 43 26
                                    

Hai hai haiiiiii.

Gimana sama hari ini? Baik semua, kan??

Oke, lama aku gak up. Jadi, maaf aja lah ya...

Udah gitu aja.

Pencet bintang, follow aku, koment, n share cerita ini ke temen-temen kalian. Makasih😘😘

Happy reading. Moga kalian suka.

Sudah hampir satu minggu Bima terbaring lemas di brankar rumah sakit. Keaadaannya sudah mulai membaik, tapi dia masih belum membuka matanya. Dan hampir seminggu ini juga, aku dan orangtuanya menjaga Bima. Aku bahkan sampai beberapa hari tidak masuk sekolah untuk menjaga Bima.

Hari ini aku tidak ke rumah sakit untuk menemui Bima, karena dirumah ada orangtuaku yang baru saja pulang tadi malam. Mereka sedang sarapan di ruang makan sambil sesekali mengobrol. Bi Inah tidak ada, dan sekarang aku takut jika harus turun kebawah dan menemui orangtuaku.

Hari Rabu pagi ini tadinya aku akan pergi ke sekolah, namun karena ada orangtuaku di lantai bawah, aku jadi takut untuk menemui mereka. Tapi jika aku tidak pergi sekolah, aku juga akan di marahi oleh mereka. Aku harus bagaimana? Padahal aku sudah memakai seragam lengkap dengan tas yang kudendong di bahu.

Dengan langkah pasti, aku keluar dari kamar dan menutup pintunya. Berjalan ke lantai bawah dengan perasaan takut, kuharap Mama-papa tidak melihatku yang akan pergi sekolah. Namun percuma, kini mereka sudah duduk tegak dengan tatapan tegas di sofa ruang tengah. Sepertinya mereka menungguku untuk keluar kamar.

Baru saja sampai tangga, Papa sudah menyuruhku untuk menghampiri mereka. Tatapan mereka berdua sangat menakutkan. Perlahan, aku menghampiri kedua orangtuaku.

Saat sampai dihadapan mereka berdua, Papa berdiri tegak dihadapanku yang terus menunduk takut. Papa menatap lekat kearahku dengan sangat tajam yang membuatku ketakutan.

"Cih, kenapa anak sialan sepertimu masih hidup?" Papa bertanya sambil mendecih kesamping.

Mama bangkit dari duduknya, dan ikut berdiri di samping Papa. "Seharusnya Gathan membunuhmu agar kamu mati."

"Ma..." aku mendongak menatap lekat kearah manik mata Mama.

"Kenapa kamu menatap saya seperti itu?" ucap Mama tidak suka. Aku langsung saja mengalihkan pandangan ke arah lain.

"Kamu benar-benar membuat kami muak, Zora. Kami sudah lelah merawat kamu!!!" bentak Papa tepat di depan wajahku.

Apa? Merawat? Sejak kapan mereka merawatku? Sedari kecil mereka hanya mendahului Yora daripada aku. Mereka tidak pernah memiliki waktu untukku. Padahal aku ini juga anak mereka, tapi kenapa aku diperlakukan layaknya orang asing disini?

"Dan juga, kami baru mengetahui jika kamu masuk kelas X IPA 2. Kenapa bukan masuk kelas X IPA 1?!!" Mama juga ikut membentakku.

"Kalian bisa gak, sih, hargai usaha aku? Aku cuman pengen kalian apresiasi usaha aku? Aku cuman pengen kalian ucapin selamat karena aku udah bisa masuk SMA Favorit. Kenapa aku gak bisa dapetin itu? KENAPA?!!" nafasku mulai memburu, dada ku naik turun menahan amarah. Aku tidak sengaja mengeluarkan kata-kata dengan nada tinggi pada orangtuaku. Aku sungguh merasa bersalah.

Plak.

Mama menampar pipi kanaku sangat kencang. Rasanya sangat perih hingga terlihat bekas tamparan dari tangan Mama. Tamparan itu memang sakit, tetapi tidak sesakit perasaanku saat ini.

"Kamu ingin kami menghargai hasil usaha kamu?!! Apa yang harus kami hargai dari hasilmu yang tidak sebanding dengan hasil kakakmu?!! APA?!! TIDAK ADA!!!" Mama berujar demikian masih dengan tatapan tajamnya.

Am I Selfish?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang