Hari sudah siang, aku dan teman-teman sekelasku akan pulang. Bersama Camelia, aku keluar kelas setelah membersihkan papan tulis. Karena sekarang aku yang mendapat jadwal piket, maka akulah yang membersihkannya.
Teman dikelas yang sangat akrab denganku hanya Camelia.
Teman- teman yang lainnya, tersebar di beberapa kelas.
Destya dan Bilva di kelas 9D. Alifahtu, kayla, dan Sauzan, mereka di kelas 9C. Sedangkan aku, Bima dan Camelia, kami bertiga di kelas 9B. Kelas yang terkenal akan keonarannya. Lain kali aku ceritakan bagaimana keadaan kelasku.
"Lo pulang sama siapa, Ra?" tanya Camelia tiba-tiba.
"Sama si Bimoli kali," aku terlihat berpikir. "Kalo lo sendiri, sama siapa?" tanyaku kemudian.
Bimoli, siapa lagi kalau bukan Bima Sakti Pranayudha. Aku selalu memanggilnya seperti itu.
"Sama si Mbot, Destya, sama Kayla," jawabnya.
"Oooh," jawabku singkat.
Saat kami melewati koridor kelas, terlihat Alifahtu, Destya, Kayla, dan Sauzan sudah menunggu kami. Tapi sepertinya hanya Camelia yang mereka tunggu. Aku tidak pulang bersama mereka.
"Lama amat lo. Pegel tau gak kita nuggunya?" itu Kayla. Dia memang seperti itu, suka ngegas.
"iya sorry. Abisnya, Zora harus hapusin papan tulis dulu. Jadi lama," jawab Camelia. Padahal tadinya aku akan mengatakan itu.
"Yodah, yok pulang," ajak Destya kemudian.
Jangan tanyakan Sauzan, dia memang pendiam. Sebenarnya rumah Sauzan tidak searah dengan rumah Destya, Kayla, Alifahtu, dan Camelia. Tapi dia selalu keluar sekolah bersama. Paling sampai gerbang sekolah mereka berpisah.
"Lo gak pulang bareng si Kotenkk?" tanya Alifahtu padaku.
Aku menggaruk kepala yang tidak terasa gatal. "Gue pulang bareng Bima aje deh."
"Lo ada hubungan apa sih, sama si Bima?" Kayla sudah mulai mengintrogasiku.
"Cuma sahabatan," jawabku seadanya.
"Yaudah ah, ayok pulang. Pengen cepet-cepet rebahan." Camelia memang seperti itu. Jika ditanya akan apa setelah pulang sekolah, pasti dia menjawab mau rebahan.
"Iya gih, sono pulang. Dicariin emak lo nanti," aku menyuruh mereka cepat pulang.
"Lo sendiri gak mau balik?" tanya Alifahtu padaku.
"Mampir ke kantin dulu bentar. Abistuh baru pulang," kata ku menjelaskan.
"Ayok ih, dari tadi mau pulang gak jadi-jadi perasaan," akhirnya Sauzan angkat bicara.
"Iya-iya ayoo. Ra, duluan yaa." Kayla berpamitan.
"Iya sana pulang," akhirnya mereka pun pulang setelah melewati banyak drama.
___♡♡___
Saat baru saja sampai kantin, baru saja beberapa detik yang lalu aku duduk. Handphone ku sudah berdering menandakan ada yang menelepon.
Bima.
Dia yang menelepon ku. Saat baru saja aku mengangkat telepon, dan baru saja aku dekatkan pada telinga, suaranya sudah menggelegar.
"LO TUH LAGI DIMANA SIH?!! LAMA BANGET GUE NUNGGUNYA. GUE NUNGGU AMPE KAKI GUE PEGEL ANJIRR. CEPETAN KE PARKIRAN!! GUE KEPANASAN!!" kata Bima panjang lebar seperti rumus Matematika. Suaranya sungguh membuat telingaku pengang, aku sampai harus menjauhkan Handphone dari telinga.
Belum sempat aku membalas teriakannya, dia sudah mematikan sambungan telepon. Sungguh menyebalkan.
Dengan langkah gontai, aku pergi dari kantin menuju parkiran.
Bima memang tidak menggunakan motor saat kesekolah, dia lebih memilih menggunakan sepeda. Padahal sudah jelas terlihat jika dia merasa kelelahan mengayuh sepedanya sendirian, belum lagi dirinya memboncengku. Tapi aku rasa, badanku tidak seberat itu.
Sesampainya di parkiran, aku melihat sosok lelaki menggunakan seragam yang sama seperti yang kukenakan sedang meneduh di dekat pohon rambutan. Bima. Dia yang sedang meneduh kerena kepanasan. Dihadapannya ada sepeda yang selalu dia pakai.
Sepeda ontel berwarna cokelat muda agak keemasan terlihat sangat bersinar, apalagi saat terkena cahaya matahari. Sangat mengkilap.
Itu sepeda milik ayahnya, sengaja dia pinta kerena ayahnya bilang sudah jarang dipakai. Dan akhirnya, ayahnya memberikan sepeda itu padanya. Tapi dia harus berjanji akan menjaga sepeda itu dengan baik.
"Bussettt. Kek abis mandi aja lo, ampe basah gini tuh baju karena keringet," candaku pada Bima. Sengaja, agar dia tak marah padaku. Tapi percuma...
"Ya gara-gara lo!!! Lama sih!!! Gue jadi kepanasan gini kan!!" Bima bersungut-sungut.
"Ettt, santai donkk. Lagian juga, siapa suruh ninggalin gue dikelas?" tanyaku kemudian.
Bima terlihat gelagapan. "Ya, lo lama. Malah hapusin papan tulis segala, yaudah gue tinggal," begitulah jawabannya.
"Hmmm...serah," aku akhirnya mengalah. "Yok, pulang," ajakku pada Bima sambil mengulurkan tanganku padanya.
"Lo yang bawa sepedanya. Gue capek," kata Bima sambil menerima uluran tanganku.
"Iyee," jawabku singkat.
Setelah itu, aku menaiki sepeda di jok depan. Sedangkan Bima di jok belakang.
"Lo tau gak hari ini gue kena marah sama berapa orang?" tanya ku random pada Bima saat sudah menjauh dari parkiran.
"Kagak," jawab Bima singkat.
"Lima orang," jawabku.
"Sama siapa aja??" tanya Bima penasaran.
"Mama, papa, bu Nina, pak Tisno, sama terakhir," aku menggantung perkataanku.
"Siapa?" Bima semakin penasaran.
"Lo, Bima Sakti Pranayudha."
"Kapan gue marahin lo??" Bima sepertinya tidak terima jika dia dikatakan sudah memarahiku. Padahal itu jelas asli. Fakta.
"Waktu berangkat sekolah, sama barusan," Jawabku sambil terus mengayuh sepeda. Ini sangat berat, apalagi ditambah membonceng Bima. Sangat melelahkan, sebenarnya Bima itu makan apa sampai bisa seberat ini??
"Kalo itu mah, buka marah atuh," tukas Bima.
"Lah, truss apa??" tanyaku.
"Gak tau gue ge"
"Si anying" dalam batin aku berkata seperti itu.
"Kalo sama ortu lo, kapan?" tanya Bima lagi. Sungguh banyak pertanyaannya.
"Waktu mau berangkat sekolah juga."
"Tapi lo gak kenapa-napa, kan?" tanya Bima memastikan.
"Kenapa-napa gue, Bim," jawabku.
"Lo abis di apain?!!!" teriak bima tepat di belakang telingaku. Sungguh membuat telingaku sakit.
"Dah ah, lupain," balasku kemudian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Am I Selfish?
Teen Fiction"Lo jangan egois, Zora!!" "Gue yang lebih dulu suka sama Lo, Bima!!" "Tapi lo sahabat gue." "Gue gak peduli." "Buang jauh-jauh sifat egois lo." "Gue suka sama lo dari dulu, Bim." "Buang jauh perasaan lo ke gue." "BIMAAAAA!!!" ○●○●○●○ Apa seorang per...