6. Dibandingkan

86 70 47
                                    

Hai hai haiiii. Gimana kabarnya hari ini?? Baik semua, kan??

Maaf kalo sebelum"nya aku gak kasih kata pembuka kayak gini. Tapi aku juga gak tau harus bilang apa. Jadi udahlah biarin.

Selamat membaca ya!!!

Semoga kalian sukaa...

Jangan lupa follow, vote, komen dan bagikan ke temen-temen kalian...

Babayyyy...

Pulang sekolah adalah hal yang paling menakutkan bagiku. Karena saat pulang sekolah aku akan bertemu dengan kedua orangtuaku, itu sangat menakutkan.

Aku takut jika saat aku pulang, orangtuaku sudah ada dirumah. Dan ternyata, benar saja orangtuaku sudah pulang. Padahal hari masih siang, kenapa mereka sudah pulang?

Jika seandainya orangtuaku mengetahui nilai ulanganku, bagaimana?? Apakah mereka akan memarahiku?? Jelas iya. Memangnya kapan mereka tidak memarahiku jika nilai ulangan ku jelek.

Dengan hati-hati, aku masuk kedalam rumah. Disana sudah ada kedua orangtuaku yang sedang berbincang.

Saat mereka mengetahui kedatanganku, lantas mereka berhenti berbincang. Lalu dengan senyum semringah, Mama mendekatiku.

"Sekarang kamu ulangan harian Mtk kan, Zora?" tanya Mama saat aku sudah mencium punggung tangannya.

Belum juga aku mengatakan salam, Mama sudah menanyakan itu. Aku harus bagaimana??

"I-iya, Ma..." jawabku gugup.

"Mana?? Mama mau liat hasilnya," pinta Mama antusias.

Lantas dengan perlahan, aku mengeluarkan kertas hasil ulanganku dari dalam tas, dan memberikannya pada Mama. Saat Mama menerimanya, raut wajah yang semula semringah, kini berubah menjadi datar.

"Kenapa nilai kamu nggak seratus??" tanya Mama padaku dengan nada dingin.

Papa yang semula duduk diam di sofa, kini berjalan menghampiriku. Papa melihat hasil ulanganku, raut wajahnya sangan menakutkan. Sudah kutebak pasti sebentar lagi...

Plakk

Ya, apa yang aku pikirkan benar terjadi. Papa menampar pipi kiriku dan membuat aku menoleh kekanan.

Tamparannya sangat menyakitkan, ada rasa panas sedikit saat Papa menampar pipiku. Aku tidak bisa berontak, lagipula untuk apa aku berontak? Itu tidak akan membuat mereka sadar. Jadi aku hanya bisa diam.

"Harus kami bilang apalagi, Zora?!! Nilai kamu gak seratus!!! Apa yang harus dibanggakan dari kamu?!!!" bentakan Papa sangat menakutkan.

"Maaf..." lagi dan lagi, aku hanya bisa meminta maaf.

"Maaf, maaf, udah berapa kali kamu minta maaf?!! Harusnya kamu tingkatkan lagi nilai kamu!!!" Mama ikut memarahiku.

"Memang tidak ada yang bisa kami banggakan dari kamu. Kamu hanya bisa membuat kami malu, mama menyesal sudah melahirkan kamu," lanjut Mama.

Perkataan itu sangat membuat hatiku sakit. Apakah aku bukan anak yang diharapkan? Mengapa aku dilahirkan jika kalian tidak ingin memiliki anak seperti aku?

Air mataku jatuh meluruh. Aku hanya bisa menangis dan menangis. Apakah aku terlalu munafik jika menutupi luka seperih ini?? Menurutku tidak.

Jangan tanyakan kemana Bi Inah. Sepertinya dia sudah pulang, mungkin Mama yang menyuruhnya pulang lebih awal.

"Zora juga gak minta Mama lahirin Zora. Kenapa kalian cuman bisa ngekang Zora tanpa ngasih apresiasi? Kalian nuntut Zora buat jadi sempurna, tapi kalian gak tau gimana perasaan Zora. Zora capek Ma, Zora capek Mama-Papa kekang terus. Apa Zora gak bisa bebas kayak anak-anak lain?" ucapku mengeluarkan semua keluhkesahku. Air mataku semakin membanjiri pipi.

"Diam kamu!! Kami tidak mengekang kamu!! Kami hanya ingin yang terbaik untuk kamu!!" kata Papa sembari menunjuk diriku.

"Mungkin bagi kalian itu yang terbaik buat aku!! Tapi nyatanya nggak!!! Kalian selalu minta aku buat dapetin nilai bagus, kalo nggak, kalian akan pukulin aku. Apa itu bukan ngekang namanya?!!" jawabku dengan nada bicara yang naik beberapa oktaf.

"Berani kamu bentak kami?!!" tanya Papa dengan urat leher dan dahi yang menonjol karena menahan amarah.

"Kami gak pernah ajarin kamu buat bentak orangtua!!" lanjut Papa.

"Kalian emang gak pernah ajarin aku, tapi kalian yang buat aku kayak gini..." selorohku dengan nada lemah, tidak seperti sebelumnya.

"Mama lebih bangga sama kakak kamu. Yora. Dia selalu bisa buat Mama-papa bangga. Andai aja kalau dia masih ada, dia yang akan buat Mama-papa bangga. Nggak kayak kamu yang bisanya cuman buat malu!" ucap Mama.

Ucapan itu sangat menusuk hatiku. Lagi-lagi membicarakan masa lalu. Aku sangat membenci itu.

"Ma, kakak meninggal itu karena emang udah jadi takdir, tolong ikhlasin kakak. Jangan stuck di masa itu, Ma. Ikhlasin, yang bakal terjadi biarin terjadi. Kita gak bisa nebak skenario Tuhan-"

"MANA MUNGKIN SAYA BISA IKHLAS DENGAN KEMATIAN ANAK YANG SANGAT SAYA SAYANG?! DITAMBAH ITU KARENAMU, ZORA! Dasar pembunuh!"

"MA! AKU BUKAN PEMBUNUH! INI EMANG UDAH TAKDIR!" selaku dengan nada tinggi.

"Kamu itu pembunuh, kamu yang membunuh anak saya. Sudahlah pembunuh, buat malu pula. Setidaknya kamu bisa menggantikan posisi Yora!" kata Mama sembari menatapku remeh.

Aku menarik nafas dalam berusaha menghilangkan sesak di dada, lalu menghembuskannya perlahan.

"Mama sama Papa cuman bisa banding-bandingin aku sama kakak. Aku sadar diri kok, aku emang gak ada apa-apanya dibanding dia. Tapi Ma, Pa, kami berdua itu berbeda. Setiap anak punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Jadi tolong Ma, Pa, tolong ngertiin aku," sambil terus terisak, aku mangatakan itu.

"Ngertiin kamu? Cih! Ingat, Yora meninggal itu karena kamu. Kami tidak akan pernah melupakan kejadian tiga tahun lalu," kata Papa sambil mendecih.

"Kenapa kalian selalu salahin aku soal meninggalnya Yora? Aku gak salah. Kenapa kalian salahin aku atas semua kesalahan yang nggak aku perbuat?" tanyaku pada mereka sambil terus menangis.

Tanpa memperdulikan aku, lantas Mama dan Papa meninggalkanku sendirian--diruang tengah--menuju kamar mereka berdua.

Aku hanya melihat kepergian mereka. Mereka meninggalkanku yang sedang menangis. Jika biasanya seorang anak yang menangis akan ditenangkan oleh orangtuanya, tapi aku tidak.

Aku memukul dadaku berharap itu akan sedikit mengurangi rasa sesak yang kian menyeruak. Tapi nyatanya nihil. Semakin aku memukul dadaku, semakin histeris pula tangisanku.

Lalu aku berjalan menuju kamarku untuk beristirahat. Aku sangat lelah. Aku ingin menyerah. Tapi jika aku menyerah, apa tuhan akan marah??

Setibanya aku dikamar, aku langsung membanting tas ke sembarang arah lalu menangis sejadi-jadinya sambil berjongkok di pojok kamar. Terus membenturkan kepala pada tembok berharap ingatan masalalu itu menghilang, namun bukannya menghilang, ingatan itu terus berputar layaknya kaset film.

Aku membuka laci yang ada dimeja belajar, lalu mengambil sesuatu didalamnya. Cutter. Itu yang aku ambil. Lantas aku menggoreskan cutter itu pada pergelangan tanganku. Terlihat ada beberapa luka bekas goresan juga yang sudah mengering.

Mungkin bagi kalian ini alay, lebay, dan semacamnya. Tapi bagiku, ini sangat menyenangkan. Aku tidak bisa bercerita pada siapapun, jadi lebih baik aku melampiaskan emosiku pada diriku sendiri.

Saat aku menggoreskan Cutter, ada beberapa tetes darah yang mengalir. Namun aku tidak peduli. Biarkan saja, lagipula aku sudah biasa.

Aku masih waras untuk tidak menggores urat nadiku. Aku belum ingin mati. Aku masih ingin membuktikan pada orangtuaku jika aku bisa membuat mereka bangga.

Sebenarnya aku sangat ingin menceritakan semua keluhkesahku pada keluargaku, pada sahabatku. Tapi aku tidak bisa melakukan itu. Entah karena apa.

"Sakit...tapi gak sesakit apa yang dirasain Yora," gumamku.

Aku terdiam beberapa saat untuk merasakan rasa sakit yang menjulur di tanganku. Aku merasa sedikit tenang saat menggoreskan benda tajam itu pada lenganku. Jadi saat aku menggoreskannya, itu bisa memberikan sensasi menenangkan.

"Kalo gue mati, mereka bakal nangisin gue gak, ya??" tanyaku entah pada siapa.

Am I Selfish?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang