37. Yang Hilang

30 5 3
                                    

Prangg

Suara piring dibanting ke lantai itu menggema dan memekakkan telinga. Lagi dan lagi mereka dengan teganya menyiksaku, apa aku tidak bisa hidup tenang walau sehari saja? Aku sudah cukup muak dengan kehidupanku ini, jika boleh aku ingin bereinkarnasi saja menjadi rumput.

Mama-papa tiba-tiba saja masuk kedalam kamarku dan menarikku ke ruang tengah, aku sudah pasrah. Lagipula aku sudah biasa. Mereka marah karena nilaiku kecil. Aku memang lemah dalam mata pelajaran Kimia, jadi wajar saja. Tapi menurutku nilai delapan puluh itu sudah lumayan.

"Kamu itu kalo gak bener-bener niat sekolah, yaudah berhenti aja! Kita jadi gak perlu buang-buang uang buat biayain kamu!" sentak Mama.

"Pelajaran gini aja masa gak bisa?! MAU JADI APA NANTI KAMU, HAH?!"

Aku tetap diam.

"SEKALI AJA BISA GAK SIH, KAMU BIKIN KAMI BANGGA? JANGAN BIKIN KAMI MALU, ZORA!" giliran Papa yang menghardikku.

"Contoh kakakmu, dia selalu bikin kami bangga-"

"--gak kayak kamu yang selalu bikin kami malu, saya menyesal sudah melahirkan kamu. Andai kakakmu masih ada, mungkin dia yang akan selalu membuat kami bangga," selaku.

"Itu kan yang mau Mama bilang? Contoh kakak, jangan bikin kalian malu, harus jadi yang terbaik, harus nurut, jangan membangkang, jangan ini, jangan itu, harus ini, harus itu!"

"Inget Ma, INI SEMUA UDAH JADI TAKDIR! MAMA HARUS IKHLAS! Aku gak bisa gantiin Kakak, aku gak bisa,"

"Aku udah nyoba yang terbaik, Ma! Tapi kalo kemampuan aku cuman sampai segitu, aku harus gimana lagi?"

Plakk

"USAHA TIDAK AKAN MENGKHIANATI HASIL! KALO HASILNYA KAYAK GITU, BERATI KAMU GAK SERIUS BUAT USAHA!" bentak Papa setelah menamparku.

Aku terkekeh walaupun tangis membasahi pipi. "Jadi mau kalian ini apa? Aku harus banggain kalian? KALIAN BUTA APA GIMANA, HAH?! JELAS-JELAS ITU PIALA BERJEJER DI LEMARI, APA KALIAN GAK LIAT?! KALIAN AJA YANG GAK PERNAH MERASA CUKUP DENGAN PENCAPAIANKU!"

"BERANI KAMU MENGATAI KAMI, HAH?! KAMI INI ORANGTUA KAMU, ZORA!" sentak Papa.

Brakk

Mama mendorongku hingga aku ambruk diatas lantai dingin. Badanku seakan remuk, bahkan serasa hancur. Sakit menerjang sekujur tubuhku, aku hanya bisa menangis dan menangis.

Aku kembali mencoba bangkit. Kembali terkekeh dan menatap dua manusia itu dengan tatapan remeh.

"Orangtua? Apa pantas orang yang selalu menyakiti dan menyiksa anaknya itu disebut orangtua? Bukannya kalian gak menganggap aku sebagai anak kalian?"

Papa dan Mama berdecih. Tcih, Papa-mama? Bahkan aku sudah tidak sudi mengucapkan dua kata itu pada mereka. Mereka adalah orangtua yang paling gagal, mereka tidak berhasil mendidik anaknya. Jangan salahkan jika aku menjadi seperti ini, karena ini memang hasil dari didikan mereka.

"Kalo kalian benci sama aku, yaudah bunuh aja aku. Jangan siksa aku kayak gini, lebih baik langsung ke intinya aja. Kalian mau bunuh aku perlahan-lahan? Jangan, tolong jangan. Bunuh aku sekarang, aku udah siap buat nyusul kakak," ucapku dengan suara bergetar.

"Aku udah gak sanggup buat terus bertahan dengan segala tekanan dan siksaan yang kalian berikan, aku mau nyerah. Itu kan yang kalian mau? Kalian mau aku mati. Nyawa harus dibayar nyawa, itu kan yang Mama bilang dulu? Ayo Ma, Pa, ayo bunuh aku,"

"Lebih baik aku mati ditangan kalian berdua. Karena dengan begitu, kematianku akan dikenang banyak orang terlebih kalian berdua. Mama mau kan, aku mati? Iya, silahkan tusuk aku dengan pisau. Atau kalian ingin penggal kepalaku? Itu terserah. Aku sudah lelah dan aku ingin mati. Tapi aku tidak ingin mati bunuh diri, aku ingin mati dibunuh oleh kedua orangtuaku saja. Tapi aku minta satu hal pada kalian, jika aku sudah mati, tolong peluk jasadku. Sekali itu saja, aku mohon...." aku tersenyum getir dengan tangis yang terus mengalir.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 30 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Am I Selfish?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang