***
Matahari baru saja terbenam ketika Lisa memutuskan untuk pergi. Gadis itu mengemasi beberapa barangnya ke dalam sebuah tas bahu kecil. Ia merias wajahnya, menata rambutnya lalu memakai pakaian dan sepatu cantiknya untuk pergi makan malam bersama teman-temannya.
Ia keluar dari kamar tidur utama, dan seorang yang menunggu di meja makan langsung berdiri begitu mendengar suara pintu yang ia buka. Sebentar mereka berdua bertukar tatap. "Kau akan pergi? Kemana?" Kwon Jiyong bertanya, sementara Lisa melirik bunga yang sore tadi Jiyong beli. Bunga yang pria itu geser dan sembunyikan di belakang punggungnya.
"Makan malam dengan teman-temanku," jawab gadis itu. Jujur sebab tidak ada gunanya ia berbohong.
"Harus malam ini?"
"Ya," Lisa melangkah meninggalkan ambang pintu, berjalan ke pintu depan sedang Jiyong mengekorinya.
"Apa tidak bisa lain-"
"Lain kali saat oppa tidak pulang?" potong Lisa, melirik sinis pada pria yang berdiri di depannya, berpegang pada pintu yang melekat di dinding lorong, pintu rak sepatu. Hanya lorong sepanjang satu setengah meter sebagai jarak antara pintu depan dan bagian dalam rumah. Lorong untuk menyambut tamu juga menyimpan sepatu dan payung. "Karena suamiku yang tidak pernah pulang— yang padahal tempat kerjanya ada di dekat rumah— kebetulan hari ini ada di rumah, jadi aku tidak boleh pergi? Aku harus tetap tinggal karena ini momen langka, begitu?"
"Aku merindukanmu," pelan Jiyong, ia tundukan kepalanya sebab ia menyadari kesalahannya.
"Oppa pulang dan aku tidak boleh pergi karena oppa merindukanku? Lalu bagaimana kalau aku yang merindukanmu?" tanya Lisa, yang kemudian tersenyum. "Maaf sayang, aku benar-benar tidak bisa pulang malam ini. Begitu kasus ini selesai, aku akan langsung menemuimu, aku janji," kata Lisa, menyindir dengan kata-kata yang biasa Jiyong katakan setiap kali ia harus bekerja lembur. Entah itu pengintai penjahat atau mencari petunjuk lewat rekaman puluhan CCTV di dekat lokasi kejadian.
"Kemana kau akan pergi? Boleh aku mengantarmu?" tawar Jiyong namun Lisa menolaknya, mengatakan kalau melihat Jiyong membuatnya semakin kesal.
Ia tertunduk semakin dalam, menghela nafasnya, berharap Lisa akan sedikit melunak padanya. Namun gadis itu tetap melangkah pergi. Ia keluar dari rumahnya, lantas menghilang dari pandangan setelah melewati gerbang depan yang tinggi.
Helaan nafasnya terdengar sangat keras, hampir putus asa. Tidak ia tahu bagaimana dirinya bisa memperbaiki kesalahannya. Pada akhirnya, pria itu hanya bisa membiarkan istrinya pergi dan ia kembali duduk di sofa, melirik bunga yang ia beli kemudian berpaling, berbaring di sana sembari menunggu Lisa pulang dan mau memaafkannya.
Lima menit ia menunggu, dan bel rumahnya ditekan. Tentu bukan Lisa yang datang, tapi pasta yang sore tadi dipesannya. Karena sudah terlanjur memesan, pria itu menerima makanan yang datang bersama tagihannya. Ia tata semuanya di atas meja, seolah Lisa berada di sana. Memaksakan senyumannya kemudian mengambil foto dari makanan-makanan itu. Mengambil juga foto wajahnya yang murung.
"Aku benar-benar menyesal, aku minta maaf. Sekarang, aku berjanji akan pulang setiap hari," tulis pria itu pada pesan pertamanya, bersamaan dengan beberapa foto yang ia kirim pada istrinya. "Bersenang-senang lah, aku akan menunggu di rumah. Telepon aku jika kau ingin dijemput, aku akan langsung datang," ia kirim lagi pesannya yang kedua.
Pria itu lapar, tentu ia sempat mencicipi pastanya, namun ia kehilangan nafsu makannya. Apa yang masuk ke mulutnya tidak lagi terasa enak, sama sekali tidak bisa ia nikmati. Setelah menelan tiga sendok pastanya, pria itu meninggalkan meja makan. Ia tutup makanan-makanan itu dengan tudung saji kemudian kembali ke sofa, kembali menghela nafasnya sembari menatap kosong pada layar hitam di depannya.
Rasa bersalah yang bercampur dengan keputusasaan membuatnya pasrah. Ia tidak ada di posisi bisa mengalahkan Lisa, tidak juga bisa balas menyalahkan gadis itu, tidak mungkin juga untuk balas marah. Sedang pria itu bersedih sendirian, tanpa tahu harus berbuat apa, Lisa yang menerima pesan dari Jiyong justru menghela kasar nafasnya. Mengeluh karena pesan yang suaminya kirim. Foto yang pria itu kirim membuat perasaannya jadi campur aduk.
Jelas Lisa masih marah. Ia masih amat sangat kesal dengan sikap suaminya. Pria itu tidak bekerja di luar kota, bahkan kantornya bisa dijangkau dengan berjalan kaki. Mereka sepakat untuk tinggal di rumah itu karena jaraknya yang dekat dengan tempat kerja Jiyong. Ia merasa sudah banyak mengalah untuk suaminya, namun suaminya tidak menyadarinya.
Emosinya bercampur dengan rasa kasihan sekarang. Membuat ia yang sudah duduk di taksinya, menjadi ragu untuk melanjutkan perjalanan itu. Sempat bimbang antara tetap pergi bersama teman-temannya, atau kembali untuk memaafkan suaminya, gadis itu akhirnya memilih untuk kembali.
"Augh! Kenapa aku lemah sekali?!" gerutunya sepanjang perjalanan pulang. Kesal sebab hatinya tidak tega meninggalkan Jiyong sendirian.
Jiyong langsung bergerak ke balkon ketika mendengar suara gerbang di buka. Ia lihat dari balkon, istrinya kembali. Buru-buru ia buka pintu balkonnya, menyambut Lisa dengan tangan terbuka, hendak memeluknya. "Aku hanya kembali untuk mengambil handphone yang ketinggalan," kata Lisa, tetap bersikap angkuh. Meski memutuskan pulang, tidak berarti suasana hatinya sudah kembali baik.
"Bohong," pria itu menggeleng. "Kau masih membaca pesanku, meski tidak membalasnya," katanya.
Lisa sedikit tersentuh. Pria itu menunggu balasannya dan ini bukan hal yang biasa terjadi. Sembari memasang wajah memelasnya, Jiyong mendekati gadis itu. Mereka bertemu di halaman dan Jiyong meraih tangannya dengan hati-hati. Khawatir Lisa akan menghempaskan lagi pegangannya.
"Aku tidak punya pembelaan apapun, aku bersalah, aku menyesal, beri aku satu kesempatan lagi," bujuknya, dengan kepala tertunduk, khas seseorang yang tengah merajuk. Layaknya seorang anak yang tengah merajuk karena dimarahi ibunya.
"Oppa akan pulang setiap hari?"
"Ya, aku akan pulang setiap hari dan libur di hari libur," janji pria itu, menganggukan kepalanya dengan penuh keyakinan.
"Kau tidak akan melupakan hari penting lagi?"
"Aku tidak akan melupakannya. Aku janji. Kau bisa membunuhku kalau aku mengingkarinya," bujuknya dan Lisa menganggukan kepalanya. "Kau memaafkanku?" tanya pria itu dan sekali lagi Lisa menganggukan kepalanya. "Sungguh? Aku diberi kesempatan lagi?"
"Jangan menyia-nyiakan kesempatan terakhirmu," balas Lisa, yang kemudian melangkah masuk ke dalam rumah mereka. Senyum Jiyong mengembang, ia berlari kecil mengikuti istrinya kemudian merangkulnya, memeluknya, mengungkapkan seberapa besar cintanya pada wanita itu.
Mereka memang baru satu tahun menikah— lebih beberapa hari. Namun hubungan itu sudah terjalin sejak beberapa tahun sebelumnya. Mereka sudah lama bersama, sampai akhirnya memutuskan untuk menikah agar bisa lebih sering bertemu. Lebih sering menghabiskan waktu bersama, di rumah mereka sendiri.
"Aku akan melayanimu dengan sepenuh hatiku malam ini," janji Jiyong, membuat Lisa justru berdecak karena kata-kata seperti itu sama sekali tidak cocok dengan kesan yang biasa Jiyong gambarkan setiap harinya.
"Apa itu?" tanyanya kemudian, menunjuk bunga juga pasta dan gelas wine di atas meja makan.
"Makan malam, pasta yang sudah dingin," jawab Jiyong, mengingat kembali rencananya tadi sore. "Aku akan menghangatkannya-"
"Tidak perlu," tahan Lisa. "Jangan merusak peralatan dapurku malam ini. Pasta dingin tidak terlalu buruk, aku ganti baju dulu," susulnya, melangkah ke dalam kamar tidur utama untuk mendapatkan pakaiannya di sana. Mengganti pakaiannya untuk malam yang lebih nyaman.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Why Do Women Get Angry?
Fanfiction"Baik, aku mau bercerai. Tapi sebelum itu, carikan seseorang untukku," katanya, menatap serius pria di hadapannya. "Siapa?" suaminya bertanya, berharap wanita di depannya bisa segera menandatangani surat cerai mereka. "Cinta pertamaku." . . . . . ...