***
"Setiap kali seseorang menatapku di kantor, aku merasa mereka sedang membicarakanku. Lihat, itu Lisa, gadis yang membuat Sekretaris Jung bunuh diri— dalam kepalaku, aku mendengar mereka bilang begitu. Suaminya polisi, dan suaminya menutup kasus Sekretaris Jung sebagai bunuh diri biasa. Padahal, kalau diurut ke belakang, Sekretaris Jung mengambil keputusan itu karena Manager Hwang. Kalau memang Manager Hwang tidak menyukai Sekretaris Jung, dia bisa menolaknya saja. Tidak perlu sampai melaporkannya ke bagian personalia. Ingat bagaimana Sekretaris Jung dipermalukan oleh wanita itu? Dia jadi dijuluki bajingan mesum karena Manager Hwang. Jika berada di posisi itu, kurasa aku pun tidak akan tahan. Seseorang yang tidak aku kenal bicara begitu di toilet," ceritanya, pada Jisoo dengan suara yang begitu pelan. Ia khawatir putra kecil rekannya itu akan mendengar obrolan mereka.
"Wah... Pasti berat," komentar Jisoo. "Padahal kau sama sekali tidak terlibat. Dia tidak menghubungimu sebelum kejadian itu, iya kan?" katanya dan Lisa menghela nafasnya.
Jaehyun menghubunginya malam itu— Jiyong bilang begitu. Jaehyun meneleponnya, dua kali, namun panggilannya tidak pernah sampai ke handphone Lisa. Sebab, gadis itu sudah lama memblokir nomor telepon Sekretaris Jung. "Kim Dahyun tetap ke kantor seperti biasanya. Dia sudah tidak lagi kelihatan sedih dan marah seperti sebelumnya. Maksudku, kalau kau ingin cuti beberapa hari dan kembali lagi ke kantor, aku rasa itu memungkinkan. Tentu sebelum itu kau harus beristirahat dulu," saran Jisoo. Dalam hatinya, Jisoo bilang kalau dibanding dengan Dahyun, justru Lisa lah yang terlihat lebih berkabung atas perginya Sekretaris Jung.
Lima minggu sudah berlalu sejak kepergian Sekretaris Jung. Kim Dahyun pun sudah kembali bekerja, sudah tersenyum, bercanda dengan rekan-rekan lainnya. Meski sesekali ia terlihat menangis, sedikit meneteskan air matanya ketika seseorang menyinggung tentang Sekretaris Jung. Dari semua orang, anehnya justru Lisa yang tersiksa atas kepergian pria itu. Ia kehilangan kenyamanannya di kantor, juga suaminya.
Sepulangnya Jisoo dari rumahnya, Lisa masih duduk di beranda rumahnya. Ia menatap pada pagar rumahnya, berharap suaminya akan pulang malam ini. Sayang, pria itu tidak lah datang. Bersama angin malam yang terasa sejuk, Lisa meratapi hidupnya. "Dimana awal masalahnya? Kenapa semuanya jadi begini?" gadis itu bertanya-tanya.
Lama ia menunggu, sampai di keesokan harinya, Lisa memutuskan untuk mandi. Memutuskan untuk keluar dari rumahnya dan melangkah kan kakinya ke kantor polisi. Sejak pernikahan mereka, hampir tidak pernah ia menginjakan kakinya di sana. Satu kali, hanya satu kali Lisa datang ke sana setelah mereka menikah. Itu pun karena ia harus mengantar Jiyong setelah mereka selesai memeriksakan bahu pria itu. Padahal sebelum mereka menikah, Lisa sering datang ke sana.
"Nyonya Kwon?" seseorang menyapanya ketika ia datang. Lantas ia ukir senyumannya, balas menyapa seorang wanita yang bekerja di pintu depan. Seorang yang bertugas menerima tamu seperti seorang resepsionis. Seorang polisi dari bagian administrasi.
"Selamat pagi," sapa Lisa, yang kemudian mengulurkan sekotak roti, mengatakan kalau ia membeli roti itu di jalan dan meminta Opsir Kim untuk menikmati roti itu bersama teman-temannya.
"Sudah lama anda tidak berkunjung," sapanya, yang dua tahun lalu masih jadi seorang petugas baru, seorang yang baru lulus dari akademi kepolisian. "Anda datang mencari Detektif Kwon?"
"Hm... Aku datang untuk menemuinya, dia ada di sini?" tanya Lisa, namun sayangnya Jiyong tidak ada di sana. Jiyong pergi bersama Seunghyun pagi tadi. Terburu-buru masuk ke dalam mobil dan melaju dengan sirine yang meraung-raung.
Petugas itu tidak tahu detail kasus yang Jiyong kerjakan. Ia pun tidak tahu alasan Jiyong pergi dengan terburu-buru. Satu hal yang ia tahu, Lisa bisa menunggu Jiyong di sana. Pria itu pasti akan kembali sebentar lagi, sebab Lee Seungri dan Kang Daesung, sudah kembali beberapa menit yang lalu. "Mereka kembali dengan satu kantong USB dan sekarang sedang menonton rekaman CCTV-nya di dalam, sebentar lagi Detektif Kwon pasti datang," katanya.
Lisa tersenyum, mengiyakan ucapan lawan bicaranya kemudian mengatakan kalau ia akan menunggu di luar, agar tidak menganggu pekerjaan siapa pun. Bersamaan dengan melangkahnya Lisa keluar, mobil Jiyong datang, disusul sebuah SUV lainnya dari belakang.
Sama seperti Lisa yang melihat mobil itu datang, Jiyong pun melihat istrinya berdiri di depan kantor polisi. Pria itu lantas keluar dari mobilnya, bersama dengan Choi Seunghyun yang muncul dari mobil lainnya. Sebentar Jiyong menatap istrinya, namun pria itu belum bisa menyapanya sebab tangannya di borgol dengan tangan pria lain.
Lisa perlu menggeser kakinya dari pintu utama itu, sebab khawatir dirinya akan menghalangi jalan pria-pria yang lewat dengan borgol di tangan masing-masing. "Ya! Apa yang kau lihat?!" bentak Jiyong, bukan pada Lisa, melainkan pada pria yang tangannya terborgol bersamanya.
Dua pria yang diborgol babak belur, entah apa yang terjadi sebelumnya, namun dua puluh menit kemudian, Jiyong keluar sembari membersihkan tangannya. Dengan tissue basah, pria itu mengusap telapak tangannya, jemari sampai ke pergelangan tangannya yang memerah karena borgol besi tadi. Buku-buku jaringa terluka, namun Jiyong mengantongi plester yang selanjutnya ia pakai setelah membuang tissuenya ke tempat sampah. Sembari melangkah pria itu memasang plester di jarinya, menghampiri Lisa ke bangku panjang di sebelah mesin kopi. Tempat mereka biasa bertemu, dulu sebelum menikah.
"Kenapa kau datang?" Jiyong bertanya setelah beberapa menit mereka duduk di bangku itu, membisu seolah tidak ingin berada di sana.
"Karena oppa tidak mau menemuiku," pelan Lisa, dengan kepalanya yang tertunduk, khawatir Jiyong akan mengusirnya kalau mata mereka bertemu.
"Kau tahu aku tidak ingin menemuimu dan tetap datang?" balas Jiyong, yang kemudian mengeluarkan selembar kertas dari saku jaketnya. Lembar pendaftaran perceraian dan Jiyong sudah mengisi semua kolom isiannya. Lisa hanya perlu menandatanginya.
Melihat lembar itu, Lisa mengigit bibirnya. Menahan air matanya agar tidak jatuh. Menahan suaranya agar tidak keluar. Menahan dirinya agar ia tidak lepas kendali seperti terakhir kali.
"Aku tidak bisa mengendalikan emosiku," gadis itu kemudian berucap.
"Aku tahu."
"Karena itu, tidak bisakah oppa sedikit bersabar? Kalau oppa memberiku kesempatan, aku akan memperbaikinya. Beri aku sedikit waktu untuk memperbaikinya," pinta Lisa namun Jiyong yang duduk di sebelahnya justru menoleh, menatap Lisa kemudian menggelengkan kepalanya.
"Aku sudah banyak bersabar," Jiyong berkata. "Aku tidak tahu ini bisa diperbaiki atau tidak, aku bahkan tidak tahu dimana bagian yang rusak itu. Satu yang aku tahu, kita bisa saling membenci kalau terus begini. Jadi sebelum itu terjadi, lebih baik kita berpisah," tuturnya.
"Tapi kita sudah menikah," Lisa mengulurkan tangannya, meraih tangan Jiyong untuk ia genggam. Pria itu membiarkan tangannya digenggam, namun tidak ada yang berbeda dari raut wajahnya. Ia tetap terlihat dingin. "Kita tidak bisa bertengkar lalu bercerai begitu saja. Bagaimana kita akan memberitahu ayah dan ibu? Bukankah kita harusnya lebih dewasa dan-"
"Aku benar-benar muak dengan itu, Lisa," potong Jiyong setelah ia menghela kasar nafasnya. "Aku muak setiap kali mendengarmu bicara begitu. Apa kata orang kalau kita... Bukankah kita harusnya lebih dewasa... Kita pasti bla bla bla... Semua kalimat itu membuatku muak. Akui saja kalau kita tidak sedewasa itu. Akui saja kalau kita belum siap dengan semua masalah ini, kita belum siap menikah dan hidup bersama. Akui saja, hm? Aku tersiksa dengan semua prasangka itu," pinta Jiyong, dan ia berhasil meloloskan sebulir air mata milik lawan bicaranya. Dihadapkan pada kekurangan yang tidak ingin ia akui, membuat hatinya terasa sangat nyeri.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Why Do Women Get Angry?
Fanfiction"Baik, aku mau bercerai. Tapi sebelum itu, carikan seseorang untukku," katanya, menatap serius pria di hadapannya. "Siapa?" suaminya bertanya, berharap wanita di depannya bisa segera menandatangani surat cerai mereka. "Cinta pertamaku." . . . . . ...