***
Jiyong membuka kunci pintu mobilnya, dan begitu menyadarinya, Lisa bergegas masuk ke dalam mobil itu. Ia duduk di kursinya, dan tidak berselang lama, Jiyong menyusul. Tanpa mengatakan apapun mereka melaju pergi, menjauhi lokasi kejadian yang ramai sembari menahan diri untuk tidak bertengkar di sana. Jiyong akan malu, kalau mereka ketahuan bertengkar di depan rekan-rekan kerjanya.
"Minta maaf padaku sekarang," Jiyong berucap begitu mobil mereka sudah cukup jauh dari lokasi sebelumnya.
"Huh? Bukannya oppa yang- baiklah, aku minta maaf, oppa..." balasnya.
"Baiklah? Whoa... Kau benar-benar keterlaluan," Jiyong bergumam. "Apa cinta pertamamu itu sangat penting? Jauh lebih penting daripada aku?" tanyanya, jelas membuat Lisa menegang. Tidak disangkanya, Jiyong akan sangat picik dengan kata-katanya. Pria itu begitu tajam, menusuknya sampai ke dalam. "Tsk... Lagi-lagi kau berlaga seolah kau satu-satunya yang terluka," decak pria itu.
Jelas Lisa membantahnya. Lisa berkata kalau ia sudah dengan besar hati menyusul Jiyong ke lokasi kejadian tadi. Ia sudah berbesar hati meminta maaf lebih dulu, berbesar hati untuk meraih Jiyong lebih dulu. "Kalau oppa bisa bilang begitu, berarti benar apa kataku, pekerjaanmu jauh lebih penting dariku, pekerjaanmu jauh lebih penting dari pernikahan kita!" serunya, tidak ingin kalah tajam, tidak ingin kalah kejam.
"Pekerjaan? Kau benar-benar hanya mempedulikan dirimu sendiri? Yang mati itu Kepala Park! Yang mati itu mentorku! Kau sangat sedih ketika rekan kerjamu meninggal, kau tidak berfikir aku pun akan merasakan hal yang sama?!" bentak Jiyong, lantas menepikan mobilnya, sebelum mereka terlibat dalam kecelakaan yang tidak diinginkan.
Kali ini Jiyong yang keluar dari mobil. Pria itu membanting pintu mobilnya, lantas melangkah menjauh, berteriak lalu menendang pohon besar yang ada di tepi jalan. Lisa berpaling ketika melihatnya, enggan melihat bagaimana pria itu marah, melampiaskan emosinya di trotoar.
Lisa tidak terkejut, bahkan sebelum menikah Jiyong bersikap begitu setiap kali sangat marah— meski amarahnya dulu tidak pernah datang karenanya. Pada Lisa, Jiyong tidak pernah semarah itu. Satu jam lamanya mereka berada di sana. Lisa tetap duduk di dalam mobil, sedang Jiyong merokok di luar, memunggunginya. Lantas setelah beberapa batang tembakau dihabiskannya, ia kembali ke mobil. Kembali mengemudikan mobilnya ke alamat pria bernama Ten Lee.
Tidak seorang pun bicara selama perjalanan itu. Untungnya, jarak yang mereka tempuh tidak seberapa jauh. Hanya lima belas menit setelah mengikuti navigasi di mobilnya. Tiba di sebuah gang perumahan yang tidak seberapa ramai, Jiyong menghentikan mobilnya di depan rumah dengan pagar kayu setinggi dada. Rumah itu tidak terlihat sangat mewah, tidak juga kelihatan dirawat. Dedaunan di pohonnya sudah rontok, batang pohonnya menggelap, hampir kering. Pohon biasanya tidak mudah mati. Semak di sekitaran rumah itu pun mulai mengering, dengan ranting-rantingnya yang kecil dan rapuh. Barang-barang yang terlihat dari luar pun kelihatan berdebu. Rumah itu sudah lama tidak ditinggali—begitu kesan pertamanya.
"Dimana ini?" tanya Lisa, akhirnya membuka mulutnya.
"Rumah cinta pertamamu," balas Jiyong. "Aku sudah melakukan tugasku, sekarang berikan padaku surat cerainya," katanya namun Lisa menolak. Ia belum bertemu dengan Ten. Mereka hanya tiba di rumah pria itu, rumah yang kelihatan kosong seperti rumah hantu.
Singkat cerita, setelah berdebat, Lisa akhirnya turun dari mobil itu. Ia melangkah mendekati rumah di depannya, lantas menekan belnya. Sedang Jiyong tetap berada di dalam mobil. Enggan keluar dari mobilnya, enggan bertemu dengan cinta pertama istrinya.
Satu kali, dua kali, sampai tiga kali Lisa menekan bel rumahnya, namun tidak seorang pun menyahut. Tidak seorang pun keluar untuk membukakan pintunya. Ia akhirnya kembali, menggeleng pada Jiyong, mengatakan kalau tidak seorang pun tinggal di sana.
Lisa mengatakan untuk datang lagi besok. Jiyong tidak menyukai ide itu. Jiyong menyuruh istrinya untuk bertanya pada orang-orang di sekitar sana namun Lisa menolaknya. Ia bersikeras untuk datang lagi besok, mengatakan kalau dirinya lelah dan sangat ingin beristirahat sekarang. Sekali lagi mereka berdebat, lantas Jiyong mengalah dan membawa gadis itu ke penginapan di sekitar sana.
"Oppa tidak ingin masuk sekarang?" tanya Lisa, ketika mereka berdiri di lobby penginapan itu. Setelah menurunkan koper dan memberikan kunci kamarnya pada Lisa, Jiyong berbalik, mengatakan kalau ia akan kembali ke mobil. "Oppa akan kembali ke tempat tadi?" tanyanya, membuat Jiyong menghela nafasnya.
Pria itu akan mengatakan sesuatu namun Lisa sudah lebih dulu memotong ucapannya. "Tidak apa-apa, pergilah," potong Lisa. "Aku tidak bisa menghiburmu sekarang, jadi kalau kembali ke sana bisa membuatmu merasa lebih baik, pergilah. Aku bisa pergi ke rumah Ten dan pulang sendiri, ada taksi, bus, kereta, banyak cara untuk pulang. Tidak perlu mengkhawatirkanku. Hati-hati," katanya, yang lantas mengangkat tangannya, melambai untuk berpamitan.
"Akan aku antar pulang besok, beristirahat lah dulu di sini," balas Jiyong, yang kemudian mengusap bahu istrinya, lalu pergi meninggalkan penginapan itu.
Di lobby penginapan, mereka berpisah. Jiyong kembali ke mobilnya, sedang Lisa masuk ke dalam kamar yang sudah pria itu pesan untuknya. Di dalam mobil, ia seketika lesu. Bersandar pada sandaran kursi, dengan mata terpejam. Tubuhnya terasa begitu lemas, namun jantungnya berdegup luar biasa cepat. Ia kelelahan, seolah dirinya baru saja menyelesaikan lari maraton yang luar biasa panjang. Menahan dirinya, menahan emosinya, mempertahankan kewarasannya, tidak lah mudah baginya.
Sama seperti Lisa yang kecewa karena Jiyong lebih peduli pada pekerjaannya, pria itu pun kecewa karena Lisa lebih mempedulikan dirinya sendiri, lukanya sendiri. Lama pria itu duduk di sana, berkeringat sebab tidak menyalakan mobilnya. Dadanya sudah sesak dan kini ia menjebak dirinya sendiri di dalam mobil yang juga sesak.
Sampai tanpa disadarinya, waktu telah lama berlalu. Malam sudah datang dan seseorang mengetuk panik kaca mobilnya. Dengan tubuh berkeringat yang masih lemas, pria itu membuka matanya, menoleh melihat Lisa yang terus mengetuk kaca mobilnya, memanggilnya.
"Ada apa?" tanya Jiyong, ia masih duduk di posisi yang sama. Hanya ia gerakannya jarinya, membuka kunci pintu mobilnya lantas membiarkan Lisa membuka pintunya, langsung memeluknya.
Gadis itu akan berjalan-jalan di sekitar hotel setelah beberapa jam berendam. Ia sudah menenangkan dirinya, merenungi ucapan Jiyong sebelumnya. Lalu baru saja ia tiba di pintu utama hotel kecil itu, dilihatnya mobil Jiyong masih terparkir di tempat yang sama seperti beberapa jam lalu. Ia hampiri mobil itu, melihat suaminya duduk berkeringat dengan mata terpejam. Ekspetasi terburuk sudah berputar di kepalanya, membuatnya luar biasa panik, mengetuk seolah ingin menghancurkan kaca mobil itu. Namun mobil mereka terlalu mahal, kaca mobilnya terlalu mahal hingga tangan Lisa saja tidak cukup untuk menghancurkannya.
Begitu Jiyong membuka matanya, bertukar tatap dengannya dan membuka kunci mobil itu, ia bergegas membuka pintunya. Memeluk Jiyong yang ia pikir akan berakhir sama seperti Jung Jaehyun, juga seperti gadis yang samar-samar muncul kembali dalam ingatannya. Jiyong yang baru saja bangun dari tidurnya, membiarkan Lisa memeluknya. Ia masih mengingat-ingat apa yang terjadi sebelumnya. Masih mencoba mengingat kapan tepatnya ia mulai tertidur di sana, juga berapa lama ia terlelap.
"Lepaskan," ucap pelan pria itu, yang lantas melepaskan pelukan Lisa dari tubuhnya.
Gadis itu bergerak mundur, menunjukan wajah kesalnya pada Jiyong. Merasa kalau Jiyong sedang mempermainkannya sekarang, kalau pria itu tengah berusaha untuk terlihat sangat menyedihkan hingga ia merasa semakin bersalah padanya. Sama seperti banyak orang lainnya, Lisa tidak ingin menjadi penjahat dalam hubungan rumah tangganya sendiri.
"Sebenarnya apa masalahmu?! Oppa selalu menghindar setiap kali kita perlu bicara! Kau selalu diam lalu tiba-tiba meledak seperti hari ini! Kita sudah menikah, bukankah kita harusnya lebih banyak bicara?! Apa yang sebenarnya kau inginkan?! Apa yang harus aku lakukan agar kita tidak perlu bercerai?!" seru gadis itu, berteriak di depan hotel kecil tempat mereka menginap. Dengan wajah memerah, terlihat sangat marah.
"Apa kau akan mendengarkanku kalau aku bicara? Apa kau pernah mendengarkanku?" balas Jiyong, yang justru menyalakan mobilnya, hendak melarikan diri lagi. Menghindari istrinya, sebelum ia tidak mampu lagi menahan emosinya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Why Do Women Get Angry?
Fanfiction"Baik, aku mau bercerai. Tapi sebelum itu, carikan seseorang untukku," katanya, menatap serius pria di hadapannya. "Siapa?" suaminya bertanya, berharap wanita di depannya bisa segera menandatangani surat cerai mereka. "Cinta pertamaku." . . . . . ...