***
"Apa benar aku yang membunuh Sekretaris Jung?"
"Bukan, kau tidak pernah membunuh siapapun. Aku akan jadi orang pertama yang menangkapmu kalau kau membunuh seseorang."
"Tapi mungkin saja, aku memang membunuhnya?"
"Tidak. Di hari itu, kita terus bersama sepanjang malam."
"Apa untuk membunuhnya aku harus berada di sana dan mendorongnya? Bisa saja dia benar-benar bunuh diri karena aku menolaknya. Kalau benar begitu, berarti aku memang membunuhnya, iya kan?"
"Tidak Lisa, tidak. Kau tidak membunuh siapa pun, aku bisa menjamin itu."
Bahkan, hanya dengan pertanyaan-pertanyaan itu, Jiyong sudah kelelahan. Tentu bukan masalah kalau Lisa menanyakan itu hanya sebatas satu atau dua kali saja, nyatanya, gadis itu bertanya hampir setiap malam. Selama lima minggu penuh.
Namun Jiyong masih berusaha. Ia terus menjawab pertanyaan-pertanyaan itu selelah apapun dirinya. Ia temani Lisa disetiap waktu luangnya. Berusaha keras untuk memastikan gadis itu tidak mempercayai rumor yang beredar tentang dirinya.
Sampai malam ini, gadis itu menghancurkan segalanya. Rasa lelah sepulang kerja membuat Jiyong tidak bisa menganggap ucapan Lisa sebagai omong kosong belaka. Gadis itu tidak mungkin hanya asal bicara. Ia pasti bersungguh-sungguh ketika mengatakannya— "apa seharusnya aku menikah dengan Sekretaris Jung saja waktu itu?" katanya, membuat Jiyong kehilangan kesabarannya.
"Apa kau menyesal karena menikah denganku?" Jiyong yang sebelumnya menggenggam tangan istrinya, tengah berusaha menghibur wanitanya, kini melepaskan pegangannya.
Raut wajahnya jelas berubah. Rasa marah dan kekecewaan kini memenuhi wajahnya. Perceraian terlintas di kepalanya, namun tidak segera ungkapkan pikiran itu. Jiyong merasa dirinya tidak pernah menginginkan itu— perceraian. Namun Lisa justru menambah buruk keadaan dengan kata-katanya.
"Baru sekarang oppa bertanya?" Lisa meremas tangannya kuat-kuat, menahan ledakan yang akan keluar dari dalam dirinya. "Oppa tidak pernah menyesali pernikahan ini? Sekali pun tidak pernah? Wah... Kau pasti merasa suci! Saat oppa pergi dari pesta pernikahan kita, saat oppa melupakan anniversary kita, saat oppa berhari-hari tidak pulang, saat aku harus mengerjakan semua pekerjaan rumah sendirian sedang kau hanya berjanji akan membantu tapi tidak pernah menepatinya, saat itu aku bertanya-tanya apa pernikahan memang benar seperti ini? Apa keputusanku untuk menikah denganmu memang sudah benar? Apa aku benar-benar ingin hidup seperti ini? Aku penasaran, apa yang aku pikirkan saat memutuskan untuk menikah waktu itu. Apa aku dihipnotis? Apa aku kehilangan akalku waktu itu? Oppa tidak pernah merasa begitu? Bahkan di saat seperti ini, oppa membuatku jadi satu-satunya yang jahat," marah gadis itu.
Jiyong kehabisan kata-kata dalam kepalanya. Seburuk itu kah pernikahan mereka? Ia tidak pernah merasa begitu. Perasaan yang campur aduk, lantas membuat Jiyong bangkit dari sana. Tidak lagi ia tahan untuk berada di sana.
"Kalau kau menyesal, kita bisa bercerai," katanya kemudian. Bangkit ke lemari es dan mengambil sebotol air mineral di sana. Menenggak air dingin itu untuk mendinginkan kepalanya.
"Baik. Ayo bercerai!" Lisa membentak suaminya, melangkah dengan keras untuk masuk ke dalam kamarnya. "Bajingan! Sekarang kau akan membuangku?! Disaat begini kau akan membuangku?! Kau benar-benar hal terburuk yang terjadi dalam hidupku!" teriak Lisa, jelas membuat Jiyong luar biasa marah.
Setelah membanting pintu lemari es di depannya, pria itu meraih kunci mobilnya, menggenggamnya dengan amat kuat lantas pergi meninggalkan rumah itu. Meninggalkan Lisa yang mulai menangis sendirian di kamarnya. Lepas malam itu berakhir, Jiyong tidak lagi menginjakkan kakinya di rumah itu.
Begitu pagi datang, penyesalan menyelebungi dada sang istri. Ia menangis begitu bangun dan sadar Jiyong tidak ada di sebelahnya. Ia duduk di ranjangnya, mengingat kembali semua ucapannya semalam. Padahal ia tidak mabuk semalam. Ia hanya minum sekaleng bir setelah makan malam, lantas larut dalam pikiran-pikirannya sendiri. Tenggelam dalam imajinasinya sembari menunggu suaminya pulang. Lisa tidak pernah menyangka kalau ia akan meneriakkan kata-kata semalam dalam keadaan sadar, tanpa alkohol.
Jam sudah menunjuk pukul sepuluh dan Lisa masih menangis di ranjangnya. Ia sudah berkeliling rumahnya, mencari suaminya, menunggu Jiyong untuk pulang namun tidak ada tanda-tanda keberadaan pria itu di sana. Lantas, ia raih handphonenya dan mulai menelepon. Ia telepon Jiyong, meminta maaf atas ucapannya semalam. Mengatakan kalau ia sedang sangat tertekan karena semua gunjingan orang, mengatakan kalau ia sedang butuh pelampiasan atas emosinya.
"Aku tidak sungguh-sungguh dengan ucapanku, aku hanya marah dan... Dan ingin melampiaskannya. Aku minta maaf, bisakah oppa pulang?" pinta Lisa, namun Jiyong tidak terdengar senang mendengarnya. Seolah pria itu tidak tersentuh sama sekali.
"Pergilah ke rumah sakit," Jiyong berkata setelah satu menit mendengarkan ocehan istrinya. "Psikolog atau psikiater, temui mereka," suruhnya kemudian. Terdengar begitu dingin, begitu mudah seolah ia tidak lagi memedulikannya.
Isakan Lisa terdengar semakin jelas setelahnya. Gadis itu menangis, meminta suaminya kembali, meminta Jiyong memaafkannya, mengatakan kalau semuanya terlalu berat untuk bisa ia atasi seorang diri.
Sayangnya, Jiyong tetap keras kepala. Kata-kata yang Lisa lontarkan semalam, tidak bisa ia lupakan begitu saja. Lisa menyesal sudah menikah dengannya, ia adalah kesalahan terbesar dalam hidup istrinya, kata-kata itu terpatri dalam kepalanya. Menusuk ke bagian paling dalam dari dadanya.
Jiyong lebih dulu mengakhiri panggilan itu. Lantas hari berlalu dan Lisa tidak lagi pergi ke kantornya. Satu hari, dua hari, tiga hari, ia menelepon Jiyong, memintanya untuk kembali namun pria itu terus menolak. Ia berjanji akan pergi ke psikiater kalau Jiyong mau menemaninya, namun pria itu menolak. Mengatakan kalau dirinya tidak bisa meninggalkan pekerjaannya.
"Pulang lah," bujuk Lisa, yang hanya bisa bicara pada suaminya melalui telepon. "Sebentar saja... Tolong pulang. Kita perlu bicara, oppa... Aku benar-benar menyesal, aku minta maaf, pulang lah," katanya yang Jiyong tolak dengan berbagai alasan pekerjaannya.
Hari itu seseorang datang, Kim Jisoo. Wanita itu mampir ke rumah Lisa dalam perjalanannya pulang ke rumah. Di temani putranya yang ia jemput di sekolahnya beberapa menit lalu, Kim Jisoo melangkah masuk ke rumah Lisa.
Jisoo punya seorang anak laki-laki yang usianya baru enam tahun. Gadis itu bersetubuh dengan pacar pertamanya lalu hamil. Selanjutnya mereka menikah dan hidup bersama sampai enam tahun lamanya, sampai hari ini.
"Kau baik-baik saja?" Jisoo bertanya, setelah ia di persilahkan masuk.
Lisa menuangkan dua gelas jus untuk tamunya. Sementara mereka membiarkan si bocah bermain di halaman, dengan sekop dan tanah subur yang rencananya akan dipakai berkebun, Jisoo duduk di beranda. Memperhatikan putranya sembari menunggu Lisa selesai dengan jusnya.
Sang tuan rumah akhirnya menyusul. Duduk di sebelah Jisoo sembari menyajikan dua gelas jus untuk tamu-tamunya juga beberapa keping biskuit. Satu-satunya suguhan yang bisa ia sajikan di sana. Sudah beberapa hari ini Lisa tidak pergi berbelanja, tidak keluar rumah karena khawatir dirinya tidak ada di sana saat Jiyong pulang.
"Aku berencana untuk berhenti kerja," kata Lisa setelah menolak untuk berbasa-basi. Makin cepat ia katakan isi kepalanya, makin cepat juga Jisoo akan pergi dari sana. Gadis itu hanya datang karena khawatir, karena Lisa tidak pergi ke kantor, tidak juga menjawab teleponnya. "Aku tidak tahu aku baik-baik saja atau sebaliknya, tapi aku tidak bisa bekerja lagi," susulnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Why Do Women Get Angry?
Fanfiction"Baik, aku mau bercerai. Tapi sebelum itu, carikan seseorang untukku," katanya, menatap serius pria di hadapannya. "Siapa?" suaminya bertanya, berharap wanita di depannya bisa segera menandatangani surat cerai mereka. "Cinta pertamaku." . . . . . ...