1

1.4K 136 4
                                    

***

Jam masih menunjuk pada angka tiga. Sabtu sore ini, ia duduk sendirian di ruang tengah rumahnya. Memakai selembar masker lembab di wajahnya, sembari memegangi segelas milk tea dengan boba. Sesekali ia aduk gelas plastiknya itu dengan sedotan tebal yang didapatnya dari toko minuman itu. Kakinya dipakaikan kaus kaki berbahan plastik dengan lotion di bagian dalamnya— feet mask. Sedang matanya asik melihat acara di layar TVnya. Sesekali gadis itu tertawa karena lelucon di acara TV, di lain kesempatannya, ia hanya menatap datar layar itu.

Rasa lapar membuatnya bangun, berjalan hati-hati ke dapur, mengambil sepotong cake dari lemari es. Cake itu awalnya bulat, berdiameter 18 sentimeter dengan hiasan cokelat dan strawberry. Namun kini, cake-nya hanya tersisa satu perempat bagian, dengan semua hiasan yang sudah hilang. Ia kembali duduk di sofa, menaikan kakinya ke atas meja di depannya, kembali menonton dengan tenang sampai seseorang mencoba untuk membuka pintu rumahnya.

Orang yang berdiri di luar rumahnya, menekan kode pintunya. Namun orang itu gagal, kode pintu yang ia masukan tidak bisa membuka pintunya. Lisa melirik ke arah pintu depan, ke arah pintu kaca dan lorong yang akan menghubungkannya dengan pintu kayu di depan. Dua kali, tiga kali, orang itu mencoba kode pintunya, namun tetap gagal. Sampai, Lisa mendengar handphonenya berdering. Sebuah panggilan baru saja masuk ke handphonenya.

"Lisa, sepertinya pintu kita rusak. Aku tidak bisa masuk, kau di rumah?" kata si penelpon, pria yang ternyata tengah mencoba membuka pintu depan.

"Tidak," jawab Lisa, masih di posisinya. "Aku hanya mengganti kodenya," susulnya.

"Huh? Kenapa? Apa kodenya? Aku tidak bisa masuk."

"Kenapa oppa ingin masuk?" Lisa bertanya, kemudian menoleh pada pintu balkon di sebelahnya. Pintu itu tidak terkunci, jadi pria yang meneleponnya tadi bisa masuk ke dalam. Lisa akhiri telepon mereka, kemudian menoleh pada tamunya. "Siapa anda?" tanyanya, pada Kwon Jiyong— suaminya.

"Ada apa denganmu? Kenapa kau mengganti kode pintunya? Apa kode barunya?"

"Untuk apa memberitahumu? Orang asing?" balas Lisa, yang kemudian menggerakan tangannya, menyuruh Jiyong untuk menyingkir dari hadapannya, pria itu menghalangi TV yang sedang ia tonton.

Jiyong kemudian menggerutu, mengatakan kalau ia terlalu lelah menghadapi suasana hati istrinya sekarang. Ia baru saja tiba. Baru saja pulang setelah lelah bekerja. Namun istrinya sudah berulah, mengabaikannya bahkan mengganti kode pintu rumah mereka.

Malas berdebat, Jiyong melangkah ke kamar. Pergi mandi sementara Lisa melepaskan semua maskernya, membuang lembar-lembar lembab itu ke dalam tempat sampah dan mengusap kakinya dengan tissue, sebelum lotion lembab di kakinya mengotori lantai. Tidak sampai lima belas menit kemudian, Jiyong keluar dari kamar mandi.

Lantas, ia duduk di sebelah istrinya. "Aku minta maaf," katanya, setelah air dingin dari shower menyadarkannya. Lisa akan menanggapinya, namun suara gemuruh dari perut Jiyong menghentikan mereka. Pria itu lantas menekan perutnya, mengatakan kalau ia belum makan sejak semalam. Makanan terakhirnya adalah mie instan, yang ia makan kemarin sore.

Kesal karena suara perut itu menginterupsinya, Lisa melangkah ke lemari es. Ia ambil sisa cake-nya dari sana kemudian memberikannya pada Jiyong. Ia memberi pria itu makan sebelum memarahinya.

"Kenapa kita punya cake?" Jiyong bertanya, menerima cake itu dengan kedua tangannya kemudian memakannya dengan sendok yang juga Lisa berikan. Sebentar gadis itu membisu. Ia rapatkan bibirnya kuat-kuat, menahan dirinya agar tidak berteriak, memaki pria di depannya. "Oh! Hari ini hari ulangtahunmu? Tidak, ulang tahunmu masih bulan Maret nanti. Ulangtahunku juga bukan... Hari pernikahan? Sepertinya bukan. Hari pernikahan kita masih tanggal 1 Desember- astaga! Aku benar-benar melakukan kesalahan besar," ocehnya, sedang Lisa yang bediri di samping sofa, mendengarkannya dengan lengan terlipat di depan dada.

Rasa lapar lantas hilang. Pria itu berlutut, menarik dan memegangi tangan Lisa, memohon pengampunan. Sekarang sudah tanggal 3 Desember. "Apa oppa pikir kesalahanmu hanya melupakan tanggal penting itu?" tanya Lisa yang kemudian menarik tangannya, enggan di sentuh. "Kau berangkat bekerja di hari Senin dan sekarang sudah Sabtu! Sayang maaf, aku akan pulang terlambat hari ini— hanya itu yang bisa oppa kirim setelah terlambat lima hari?!"

"Aku benar-benar minta maaf," Jiyong akhirnya bangkit, membujuk istrinya, mencoba untuk memeluknya. Biasanya wanita itu luluh saat dipeluk, namun Lisa justru mendorongnya, enggan dipeluk, enggan disentuh. "Kantor polisi sedang sibuk sekali. Kau tahu kasus percobaan pemerkosaan di area konstruksi minggu lalu kan? Aku sedang mengerjakannya dan-"

"Oppa, apa rumahmu jauh dari kantor polisi?" tanya Lisa, menyela dengan sinis. "Kau hanya perlu berjalan sepuluh menit untuk sampai ke sini! Augh! Menyebalkan! Kalau berjalan sepuluh menit saja tidak mau, tidak perlu pulang! Tinggal saja di kantor polisi!" bentak gadis itu, yang kemudian meraih handphonenya lalu membawanya ke kamar tidur mereka. Ia banting pintu kamar tidur, sembari menggerutu kalau Jiyong sudah merusak hari liburnya.

Sama seperti Jiyong yang harus pergi bekerja hampir setiap hari, Lisa pun sama. Ia bukan seorang ibu rumah tangga tanpa anak yang punya segudang waktu luang. Gadis itu bekerja lima hari dalam sepekan, di sebuah perusahaan waralaba minimarket. Menjadi manager dari beberapa cabang minimarket di Ibu Kota Bellis, sedang suaminya menjadi detektif di kantor polisi setempat.

Ditinggalkan begitu, Jiyong menghela nafasnya. Ia jatuhkan tubuhnya di sofa, lantas melanjutkan kembali makan siangnya yang jauh terlambat. Sembari memikirkan cara untuk mendapatkan maaf dari istrinya, pria itu menyuapkan cake ke dalam mulutnya. Begitu makan siangnya yang terlambat itu habis, ia kembali melangkah pergi. Berjalan beberapa meter dari rumahnya lalu tiba di area pertokoan.

Rumah mereka berada di tengah kota, dekat dengan kantor polisi, pusat perbelanjaan, rumah sakit dan segala fasilitas umum lainnya. Rumah yang seharusnya tidak berada di sana. Menjadi satu-satunya hunian di antara berderet-deret pertokoan. Ada restoran Prancis di sebelah kanan rumahnya, kedai camilan di sebelah kiri dan sebuah cafe di depannya.

Tempat itu sebelumnya adalah tempat kursus pembuatan keramik, sebuah bangunan satu lantai dengan halaman yang tidak seberapa luas. Lisa meminta tempat itu sebagai hadiah pernikahan mereka, dari orangtuanya. Sedang orangtua Jiyong merenovasi tempat itu menjadi rumah yang layak huni, dengan pagar dinding tinggi mengelilingi seluruh rumahnya, menjadi tempat tinggal yang lebih nyaman, lebih tertutup diantara keramaian.

Beberapa meter dari rumahnya, Jiyong sampai di sebuah toko bunga. Ia beli buket paling cantik di sana, lalu pergi ke tetangganya, memesan tempat untuk makan malam berdua di restoran Prancis nanti malam. Sayangnya, tempat itu sudah dipesan untuk pesta pertunangan orang lain. Jiyong tidak bisa memesan tempat di sana.

"Kalau begitu, lakukan delivery untukku," pinta pria itu, memohon pada koki utama sekaligus pemilik tempat itu. "Aku mungkin akan dimusuhi seumur hidup kalau tidak melakukannya. Suruh seseorang untuk mengantarkan makanan ke rumahku nanti malam, ya? Hanya di sebelah," pinta pria itu, membujuk agar dibantu memenangkan kembali hati istrinya.

***

Why Do Women Get Angry?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang