24

463 83 4
                                    

***

Lisa terkejut bukan main ketika dihadapannya telah berdiri pria yang beberapa hari ini ia cari. Ten Lee hampir tidak berubah, masih sama seperti saat mereka masih duduk di sekolah menengah. Pria itu berdiri di ujung lorong penginapan, muncul setelah memanjat dinding dan masuk lewat jendela yang terbuka. Lisa yang awalnya ingin masuk ke dalam kamar hotelnya seketika membeku, terkejut menatapnya.

"Lama tidak bertemu," katanya, menyapa sembari menghampiri Lisa seolah ia memang datang untuk menemui gadis itu.

Merasa ada yang janggal, Lisa tidak menjawab. Ia melihat sekeliling, dan hanya ada mereka berdua di sana. Jiyong pergi dengan mobilnya tadi, meninggalkannya di depan penginapan setelah bertengkar.

"Kau tidak mengingatku? Aku masih mengingatmu," susulnya, berdiri tepat di depan Lisa.

"Kenapa kau datang dari sana?" Lisa bertanya. "Apa yang kau lakukan di sana?" susulnya.

"Menghindari polisi yang ada di depan?" Ten menjawab dengan bahu yang sebentar ia angkat, menunjukan kalau ia hanya mengada-ada.

Gadis itu memang mencari cinta pertamanya. Namun tidak ia sangka, begitu orang itu muncul, cinta pertamanya justru memberi kesan yang kurang baik. Ia justru takut pada cinta pertamanya itu. Wajahnya masih sama seperti dahulu, meski sekarang warna kulitnya sedikit lebih gelap dan pipinya sedikit lebih tirus. Pakaiannya terlihat lusuh, sebuah jaket denim berwarna hitam yang sudah pudar dengan celana berwarna senada. Rambutnya ditutupi sebuah topi baseball yang warna putihnya sudah mulai kekuningan.

"Aku melihatmu berkunjung ke rumahku tadi," Ten kembali berucap sebab Lisa hanya memandanginya. Menilai penampilannya untuk menentukan sikap yang harus ia keluarkan. "Tapi aku sudah tidak tinggal di sana lagi," susulnya, karena lagi-lagi Lisa hanya diam.

"Ah... Iya, aku tidak sengaja lewat dan tiba-tiba saja merasa perlu mampir, aku pikir kau masih tinggal di sana," katanya, yang kemudian meraih handphone di sakunya. Hendak menghubungi Jiyong, sebab kedatangan Ten tidak berkesan baik untuknya. Gadis itu takut untuk membawa masuk Ten ke dalam kamar hotelnya, juga takut untuk berbalik dan memunggungi pria itu.

"Tidak, sudah tiga tahun aku pindah dari sana," katanya. "Kau akan menelepon suamimu? Detektif Kwon?" tanya pria itu, membuat Lisa sedikit terkejut lantas menjatuhkan handphonenya. "Apa karena kau istri seorang polisi, instingmu jadi sangat tajam?" gumam Ten, yang kemudian mengulurkan tangannya untuk mengambilkan handphone Lisa.

Tangan yang dulu terlihat halus, sedikit berotot hanya karena bermain basket, kini terlihat gelap karena tattoo dan beberapa memar, juga debu dari dinding belakang penginapan. Ten kemudian mengembalikan handphone Lisa, namun sebelum benar-benar melepaskan handphone itu pada genggaman Lisa, ia berucap, "aku tidak akan menyakitimu. Tapi bisa kau memberitahu suamimu, kalau aku menculikmu?" tanya pria itu, membuat Lisa melepaskan handphonenya, lantas melangkah mundur. Menjauhi Ten, juga menjauhi pintu.

"Lisa-ya, jangan melarikan diri lagi," kata Ten, membuat lawan bicaranya mulai gemetar, jadi sangat gugup.

"Kau membuatku takut, Ten," gugup Lisa.

"Oh? Aku tidak bermaksud begitu," Ten mendekati gadis itu, mengulurkan tangannya untuk menyentuh bahunya. Ia hanya menyentuh bahu Lisa, menggenggamnya, sama sekali tidak berusaha untuk menyakitinya. Namun meski begitu, Lisa mengernyit, gugup dan takut. "Aku hanya membutuhkan sedikit bantuanmu. Demi masa lalu, tolong bantu aku, Lisa," pinta Ten, yang akhirnya membuat Lisa mau membukakan pintu kamar hotelnya.

Ia masih gugup, ia masih ketakutan. Di langkahkan kakinya ke jendela kamar hotel itu, melirik keluar, mencoba mencari jalan keluar lain selain pintu kamar itu. "Sungguh, aku tidak akan melukaimu. Aku tidak akan menyentuhmu," pria itu berkata sekali lagi, setelah dikuncinya pintu kamar itu dari dalam. "Aku tidak ingin melukaimu, teman lamaku," susulnya, berbalik untuk melihat Lisa kemudian menghampiri telepon di kamar itu. Ia tarik kabel teleponnya sampai putus, membuat Lisa jadi semakin takut.

"Apa yang akan kau lakukan, Ten? Kau membuatku takut," tanya Lisa, dengan suaranya yang bergetar.

"Hanya mencari properti foto," pria itu menjawab, lantas melemparkan kabel telepon itu ke kaki Lisa. "Ikatlah tanganmu dan kakimu dengan itu, hanya sebentar," katanya namun Lisa menggeleng, menolak melakukannya. "Lalu? Apa yang harus aku lakukan untuk membuat suamimu percaya kalau kau berada dalam bahaya? Memukulmu? Aku tidak ingin memukulmu, Lisa," geleng Ten.

"Ada alarm keamanan di handphoneku," jawab Lisa, yang kemudian membuat Ten kembali mengulurkan handphone itu padanya. Sekali lagi ia berikan handphone Lisa kepada pemiliknya. Menunggu Lisa menyalakan alarm keamanan itu, membuat sebuah panggilan darurat di sana.

"Apa yang membuatmu ragu?" Ten duduk di ranjang setelah mengembalikan handphone Lisa. "Kau ragu, aku akan melukaimu atau tidak? Atau kau ragu suamimu akan datang karena sebelumnya kalian bertengkar? Kalau kau ragu pada suamimu, kau bisa menelepon polisi lain. Siapapun yang kau telepon, aku tidak keberatan," Ten berkata, sembari memperhatikan gadis yang duduk di sudut ruangan, di depan sofa yang bersebelahan dengan jendela tanpa besi pengaman.

Lisa ragu, apakah menuruti permintaan Ten adalah suatu yang benar? Apakah ia harusnya mengatasi masalah ini sendirian? Sekarang juga melompat turun dari jendela—dari lantai tiga? Namun lagi-lagi Ten berkata, "tidak perlu memikirkan hal lainnya, cukup telepon seseorang yang bisa menyelematkanmu dan aku akan pergi setelah mereka memberikan apa yang aku mau," kata Ten, seolah bisa membaca raut resah lawan bicaranya.

"Apa yang kau mau?"

"Membuka kembali sebuah kasus lama," tenang Ten, yang sekali lagi menyuruh Lisa untuk segera menelepon suaminya.

Pada akhirnya Lisa menuruti permintaan itu. Ia telepon Jiyong, namun butuh waktu lama sampai pria itu menjawab teleponnya. Waktu yang terasa sangat lama bagi Lisa. "Oppa, tolong aku-" Lisa tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Ten sudah lebih dulu merebut handphonenya.

"Halo Detektif Kwon," Ten menyapa begitu ia merebut handphone itu.

"Siapa kau?" Jiyong menepikan mobilnya, menginjak pedal remnya kuat-kuat setelah didengarnya suara orang lain dalam panggilan itu.

"Aku? Aku yang membunuh Park Haesoo tadi pagi," santai Ten. "Kenapa kau terkejut? Kau sudah menduganya, bukan begitu? Ah... Atau karena masalah rumah tanggamu yang berat itu, kau tidak menduga ini? Istrimu membuatmu tidak bisa bekerja?" tanyanya, terus menatap Lisa yang kini juga balas menatapnya. Marah dan takut bercampur jadi satu dalam tatapan gadis itu.

"Dimana Lisa?! Apa yang kau lakukan padanya?! Ya! Bajingan! Dimana kau sekarang?!" bentak Jiyong, yang hanya perlu beberapa detik untuk merubah keterkejutannya menjadi amarah.

"Istrimu ada di sini, dia aman bersamaku," tenang Ten. "Aku bisa menjanjikan keamanannya sampai besok pagi. Lebih dari itu, aku tidak bisa menjamin apapun," pria itu berucap, disusul ratusan makian dari Detektif Kwon yang bergegas kembali ke penginapan. Ingin menyelamatkan istrinya.

Hanya dalam beberapa menit, Jiyong tiba di penginapan. Ia belum pergi terlalu jauh tadi. Ia mencoba untuk membuka pintu kamar hotelnya, menggedor-gedor pintunya, hampir akan mendobrak pintu itu sebab tidak kuasa menunggu kunci master dari petugas keamanan. Namun baru satu kali ia memakai bahunya untuk mendobrak pintu itu, suara tembakan lebih dulu terdengar dari dalam kamar.

***

Why Do Women Get Angry?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang