***
Ia seorang narapidana, yang sudah tiga tahun lama tinggal di penjara. Hari ini adalah hari bebasnya. Hanya satu hari, sejak pukul dua dini hari tadi. Begitu keluar, ia langsung melancarkan rencananya—membunuh seorang detektif yang telah menghancurkan hidupnya.
Dalam perjalannya menuju tempat tinggal detektif itu, Ten mengingat-ingat lagi masa mudanya. Ia berada di ruang interogasi, ditampar dan dipukul sebab tidak mengatakan apa yang detektif itu ingin dengar. Diingatnya, tetes-tetes darah yang jatuh dari mulutnya. Mengotori meja dan ia sekali lagi dipukul karenanya. Ia di dorong, sampai tubuhnya jatuh tersungkur ke lantai.
"Karina tidak mungkin bunuh diri, aku melihatnya," katanya meski sudah babak belur. "Aku melihatnya mengajak Karina ke atap! Dia pasti membunuhnya! Karina tidak mungkin melompat!" Ten bersikeras, namun semakin keras ia berpendapat, semakin keras juga tamparan yang mengenai wajahnya.
Setelah akhirnya ia kehabisan tenaga, dirinya menyerah dan diantar pulang ke rumah. Namun begitu tiba di rumah, situasi yang hampir sama persis terjadi. Orangtuanya marah, sebab ia terus mengganggu penyelidikan polisi. "Bahkan ibunya percaya kalau gadis itu bunuh diri! Jangan mengada-ada! Daripada memikirkan anak wanita bar itu, kau harusnya memikirkan hidupmu sendiri! Kau harus memikirkan kuliahmu sekarang! Ujian perguruan tingginya sebentar lagi!" ibunya marah, memukul pinggang dan bokongnya dengan lap dapur yang ada di dekat mereka.
Di hari lainnya, ibunya melemparinya dengan garam. Mengusir hantu Karina yang katanya menempel pada tubuhnya, karena ia bersikap terlalu baik pada anak malang yang bunuh diri itu. Dalam langkahnya menuju halte terdekat dari penjara, Ten mengusap air matanya. Sepertinya benar, Karina menghantuinya. Bahkan sampai sekarang, setelah bertahun-tahun lamanya. Rasa bersalah yang sebenarnya menghantui, menjebaknya dalam jiwa seorang anak yang belum genap 18 tahun. Selain tubuhnya yang jadi semakin tua, ia berhenti tubuh, sama seperti Karina yang tidak lagi bisa membuka matanya.
Ia telah membunuh orang itu. Seorang yang diyakininya telah membunuh Karina. Karena pembunuhannya itu, ia terjebak di balik jeruji. Ia membunuh orang itu, membeberkan segalanya, mengungkit kembali kasus bunuh diri di sekolahnya beberapa tahun lalu. Berharap dengan begitu, kasus pembunuhan Karina akan kembali di selidiki. Namun sayang, meski sudah diberi banyak bukti, semua temuan Ten saat itu, kasusnya tidak dibuka kembali.
"Tidak ada yang menuntut penyelidikan ulang. Ibu Karina, enggan melakukan penyelidikan ulang, putrinya sudah tenang sekarang, tidak perlu lagi menyelidikinya," begitu alasan polisi, membuat pembunuhan yang sudah Ten lakukan jadi sia-sia. Ia pergi ke penjara tanpa hasil apapun.
Tiga tahun tinggal di penjara, sembari berusaha untuk terus berkelakuan baik, ia membuat rencananya. Awalnya ia hanya ingin mengancam Park Haesoo, detektif yang dahulu memukulinya. Namun pembunuhan yang kedua ternyata tidak lah sulit. Ia habisi detektif itu dengan batu pajangan yang ada di rumah itu.
Berbeda dari sebelumnya, kali ini ia punya plan cadangan untuk mendapatkan keinginannya. Ia berencana untuk menyekap keluarga polisi yang mengerjakan kasus pembunuhan keduanya. Ia berencana mengancam detektif yang bertugas agar mau membuka kembali kasus Karina. Kasus itu bisa kembali dibuka, jika polisi menemukan bukti baru. Meski keluarga Karina menolak untuk membuka kembali kasusnya, polisi diizinkan membuka kembali kasus itu jika mereka beranggapan kasusnya adalah kasus pembunuhan. Itu yang Ten tahu, namun ia pun tahu, tidak semua detektif mau menyelidiki kembali kasus lama. Terlebih kasus yang dulunya ditangani oleh seorang pejabat kepolisian, atasan mereka. Semua orang, ingin menjaga posisinya di tempat kerja.
Seperti yang Ten katakan, kehadiran Lisa di sana adalah sebuah variabel tidak terduga. Ketika melihat Lisa, pria itu sempat meragu. Harus kah ia menemui Lisa dan memohon saja padanya? Ten sempat berfikir begitu. Ia menunggu di sekitaran penginapan untuk bicara pada Lisa, untuk memohon padanya, agar ia membujuk suaminya untuk menyelidiki kembali kasus kematian Karina. Tapi rencana itu hanya menjadi angan yang tidak pernah Ten realisasikan. Pada akhirnya, ia berada di posisinya sekarang, menjadi seorang penjahat yang menyandera temannya sendiri.
Jiyong berhasil menemukan apa yang Ten sembunyikan di rumah Park Haesoo. Bukti kalau Karina tidak lah meninggal karena sengaja bunuh diri. Sebuah rekaman suara, pengakuan dari pelaku pembunuhan itu. Tanpa pikir panjang, saat itu juga Jiyong beserta rekan-rekannya membuka kembali kasus kematian Karina. Tidak seorang pun tega membantah, tidak seorang pun tega melarang Jiyong membuka kasus lama itu.
Dari luar, situasinya tidak terlihat tenang seperti di dalam kamar hotel itu. Orang-orang berteriak, mencoba membujuk Ten agar mau melepaskan Lisa. Semua orang panik karena suara tembakan, juga karena hilangnya senjata milik Park Haesoo dari kediamannya. Tidak seorang pun yang berada di luar bisa menunggu dengan tenang. Negosiator dipekerjakan namun Ten mengabaikan mereka semua. Ia hanya mau bicara dengan Jiyong, sedang Jiyong terlanjur menyetujui syarat permintaannya.
Di luar, situasinya kacau, seperti tengah terjebak di jalan buntu dengan ombak yang berlari dan akan menghantam mereka. Apa Lisa sepenting itu hingga tidak seorang pun bahkan atasan mampu merelakannya? Ya, Jiyong membuatnya begitu. Sama seperti Ten yang mengancamnya, pria itu pun mengancam para atasan. Mengatakan kalau ia tahu banyak tentang kasus busuk tidak terselesaikan dan akan membeberkannya jika istrinya terluka. Entah apa yang akan terjadi nanti, baginya satu-satunya yang penting adalah mengeluarkan Lisa dari sana dengan selamat.
Setelah mengganggu tidur banyak orang, Jiyong mendapatkan apa yang Ten inginkan. Kini, bisa ia tukar apa yang Ten inginkan itu dengan istrinya. Disaat itu juga, Ten menyerahkan diri seperti janjinya. Ia melangkah keluar dari kamar hotel itu tampa penyesalan di wajahnya. Ditinggalkannya Lisa sendirian di dalam ruangan itu, setelah berkata, "Lisa-ya, seandainya Karina punya seorang yang bisa diandalkan, dia tidak akan terlalu kesepian, bukan begitu? Terima kasih, sudah membantu kami. Aku juga berterima kasih pada suamimu," ujarnya, yang kemudian diringkus, didesak ke dinding, juga diborgol, tepat setelah ia membuka pintu di depannya.
Jiyong pun datang ketika itu. Berlari menerobos keramaian, mendorong siapapun yang menghalangi langkahnya. Ia datang bersama paramedis darurat, menghampiri Lisa yang berdiri di sudut, di dekat jendela. "Aku minta maaf," kata Jiyong, langsung memeluk istrinya yang masih gugup. Masih bingung melihat bagaimana cinta pertamanya diperlakukan. Sepanjang malam, dari dalam kamar hotel itu, Lisa tidak tahu bagaimana kacaunya keadaan diluar.
Di detik selanjutnya, tentu Lisa membalas pelukan itu. Mendengar suara Jiyong, tangisnya pecah. Dirinya sendiri pun tidak tahu alasannya menangis. Siapa yang ia tangisi, dirinya sendiri, suaminya atau pria yang menjadi cinta pertamanya itu, Lisa tidak bisa memutuskan. Rasanya dadanya sesak, debar jantungnya memburu dan segala yang terjadi membuatnya sangat ingin menangis. Selanjutnya tubuhnya melemas, ia pasti sangat takut, sangat terkejut, sangat lelah meski tidak dilukai sama sekali. Tubuhnya tidak bisa mengatasi semua ketakutan itu dan segalanya berubah jadi gelap.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Why Do Women Get Angry?
Fanfiction"Baik, aku mau bercerai. Tapi sebelum itu, carikan seseorang untukku," katanya, menatap serius pria di hadapannya. "Siapa?" suaminya bertanya, berharap wanita di depannya bisa segera menandatangani surat cerai mereka. "Cinta pertamaku." . . . . . ...