***
Lama mengemudi tanpa tujuan, akhirnya mereka berhenti di depan sebuah restoran cepat saji. Jiyong yang memilih tempat itu, sebab Lisa hanya mengatakan "terserah," ketika pria itu bertanya. Namun setelah mobil memasuki restoran itu, Lisa membuka mulutnya. "Aku tidak ingin makan roti isi," katanya, yang kemudian buru-buru meralat ucapannya. Ia mengaku tidak keberatan makan apapun sebab lirikan sinis Jiyong membuatnya takut. Jelas Jiyong kesal, karena Lisa tidak memberikan jawaban yang ingin di dengarnya.
Pria itu heran, setelah semua yang terjadi, bisa-bisanya Lisa masih bersikap seolah ia berhak memerintahnya. Jiyong penasaran, apa tidak ada sedikit pun rasa bersalah dalam hati wanita itu? Kesal karena sikap istrinya, Jiyong membanting pintu mobilnya. Lantas melangkah lebih dulu ke restoran cepat saji tadi. Lisa masih melepaskan seat belt-nya, masih mengatur nafasnya, menahan dirinya agar tidak meledak di sana. "Aku sudah berjanji akan berubah, aku bisa berubah," yakin Lisa, meski tidak ia tahu, dimana bagian yang harus dirubahnya.
Berselang beberapa menit, mereka kemudian duduk bersama di meja restoran itu. Jiyong memesan untuk dirinya sendiri, dan Lisa pun harus melakukan hal yang sama. Belum ada tanda-tanda melunaknya hati pria itu. Jiyong masih sangat marah sekarang.
Ia sudah mulai menggigit roti isinya ketika Lisa datang dengan nampan berisi roti dengan gelas colanya. Gadis itu pun membawa semangkuk kentang goreng, yang kemudian ia ulurkan, ia dekatkan pada Jiyong. Lisa tengah mencoba mengulurkan upaya perdamaian sekarang. "Kenapa tidak memesan kentang juga? Roti isi saja tidak cukup untukmu, oppa," katanya, memberikan kentang yang biasa Jiyong makan namun tidak pernah dibelinya.
Jiyong tidak pernah merasa roti isi tidak cukup untuk mengenyangkannya. Namun disaat yang sama, ia pun sadar kalau ia selalu makan kentang goreng setiap kali datang ke restoran itu bersama istrinya. Lisa selalu memesankan roti isi dengan semangkuk kentang dan segelas cola untuknya. Mereka makan dalam sunyi, larut dalam pikiran masing-masing, berusaha menenangkan hati masing-masing, mencoba untuk berdamai dengan sesak masing-masing, agar ketika bicara mereka sama-sama bisa menahan diri, agar mereka tidak lagi melukai perasaan satu sama lain.
Lisa selesai lebih dulu, karena ia hanya makan porsi kecil roti isinya. Lisa tidak terlalu menyukai menu makan malamnya. Dibanding roti isi yang basah karena saus, Lisa lebih mengidam-idamkan sup ayam pedas yang hangat. Sembari melipat kertas pembungkus roti isinya, gadis itu berkata, "beberapa hari lalu aku pergi ke bioskop," katanya, mulai bercerita meski Jiyong belum menanggapinya. "Aku pergi ke bioskop, tapi di sebelum filmnya dimulai, bosku menelepon. Aku mengundurkan diri," katanya, yang akhirnya menarik perhatian Jiyong. Pria itu mengangkat kepalanya, menatap Lisa dengan tatapan terkejutnya.
"Aku sudah mengirim surat pengunduran diriku lewat e-mail, tapi mereka belum meresponnya. Atasan memintaku untuk memikirkan lagi keputusanku," susul gadis itu sebelum Jiyong berkomentar. Sesaat mereka sama-sama diam. "Kenapa? Oppa tidak setuju?" tanyanya, karena Jiyong hanya diam, hanya menatapnya dengan sebelah alis terangkat. Jiyong sedang menyelidik perasaannya.
"Apa rencanamu selanjutnya?" pria itu akhirnya bicara dan Lisa menaikan bahunya. Sudah jelas, rencananya adalah berbaikan dengan suaminya. Apa lagi rencana yang bisa Lisa buat selain itu?
"Belum ada. Aku akan tetap di rumah selama beberapa hari untuk memikirkannya," geleng Lisa kemudian. "Haruskah kita punya anak sekarang? Mumpung aku belum punya pekerjaan?" tanya Lisa, yang langsung membuat Jiyong batuk tersedak.
Lama pria itu batuk, menyesap colanya pelan-pelan untuk mengatasi keterkejutannya namun itu tidak membantu. Sampai Lisa harus berjalan ke kasir dan memesan sebotol air mineral untuknya. "Kau gila?" komentar Jiyong setelah akhirnya ia bisa bicara. "Dalam keadaan seperti ini kau ingin punya anak? Kau benar-benar harus pergi ke rumah sakit. Kau butuh bantuan, Lisa," katanya. Anak tidak akan membuat hubungan mereka jadi kembali erat—yakin Jiyong. Hanya akan ada penyesalan yang semakin dalam kalau mereka melahirkan seorang anak dalam situasi rumah tangga yang sedemikian kacau.
Alih-alih memperbaiki ketegangan yang sebelumnya, selesai makan malam, Lisa justru menambah jarak diantara mereka. Jiyong menolak keras idenya. Mereka bahkan tidak bisa mempertahankan pernikahan itu, egois sekali jika keduanya justru membawa manusia lain dalam neraka itu. Meski Lisa bilang kalau anak mungkin akan memperbaiki segalanya, namun Jiyong tetap menolak idenya.
"Maaf," gadis itu lantas berucap, menghentikan langkah Jiyong menuju mobilnya.
"Jangan mengungkit ide gila itu lagi," tegas Jiyong. Menunjuk Lisa tepat di wajahnya, memperlihatkan dengan jelas bagaimana perasaannya sekarang. Ia yang sudah kesal, jadi semakin marah sekarang.
"Iya," angguk Lisa, tetap menunduk untuk menunjukkan perasaannya. Gugup juga khawatir. Sedih sekaligus putus asa.
Di mobil, Jiyong menyuruh Lisa memasukan alamat rumah lamanya. Sebelum tinggal di kota Bellis, gadis itu tinggal di Pilos, kota kecil di sudut pulau yang masih bisa mereka jangkau dengan berkendara selama tiga jam, jika lancar. "Maaf," Lisa berucap ditengah sunyinya perjalanan mereka. Bahkan musik tidak dinyalakan saat itu. Jiyong hanya mengemudi, dengan rahang yang dikeraskan, dengan raut yang masih kesal.
"Ya," pria itu membalas, namun tidak ada raut khas seorang pemaaf di wajahnya.
"Aku bilang, aku minta maaf," kata Lisa, sebab pria di sebelahnya tidak kelihatan memaafkannya. "Kenapa oppa pendendam sekali? Aku minta maaf, sudah berkali-kali aku meminta maaf, kenapa oppa tidak memaafkanku juga?" desak gadis itu. "Aku minta maaf, ya? Maafkan aku... Hm? Setiap kali oppa melakukan kesalahan, aku selalu memaafkanmu. Tidak bisakah oppa melakukan hal yang sama?" tanyanya.
Mendengarnya, Jiyong justru menghela nafasnya. Tidak ia ingat kapan terakhir kali Lisa meminta maaf padanya, bahkan bisa jadi, sebelum emosinya meledak beberapa hari lalu, Lisa tidak pernah meminta maafnya. Namun malam ini, baru disadarinya kalau istrinya itu tidak bisa meminta maaf. Alih-alih memohon pengampunan, Lisa justru mendesak Jiyong untuk melakukan apa yang diinginkannya, itukah yang disebut meminta maaf? Itukah yang normalnya orang lakukan saat merasa menyesal? Jiyong tidak tahu.
Karena terus diabaikan, Lisa akhirnya tertidur. Gadis itu kesal karena tidak juga mendapatkan maaf yang ia inginkan. Ia pun canggung dan sudah kehabisan ide. Tidak lagi ia tahu bagaimana caranya memperbaiki suasana hati Jiyong, apalagi memperbaiki hubungan mereka. Kini ia memilih untuk mundur, memilih untuk memejamkan matanya sebentar sampai tanpa sadar ia terjerumus dalam mimpinya.
Sadar kalau istrinya terlelap, Jiyong mengurangi kecepatannya. Ia perhatikan jalanan di depannya, memastikan mobil mereka tidak akan terlalu berguncang dan menganggu tidur Lisa. Perjalanan masih sangat panjang, dan normalnya ia akan meminta rekan berkendaranya untuk bangun. Si pengemudi mungkin mengantuk jika harus berkendara seorang diri, hingga rekan pengemudi itu seharusnya tetap terjaga, memastikan si pengemudi tetap bangun, tetap berkonsentrasi pada jalanan di depan mereka. Namun malam ini, Jiyong justru berharap Lisa bisa tidur sampai mereka tiba di Pilos nanti.
Gadis itu terlihat manis saat tidur. Ia terlihat tenang, juga begitu cantik. Hingga tanpa di sengaja, Jiyong berlabuh pada ingatan masa lalunya. Ingatan yang manis juga cantik.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Why Do Women Get Angry?
Fanfiction"Baik, aku mau bercerai. Tapi sebelum itu, carikan seseorang untukku," katanya, menatap serius pria di hadapannya. "Siapa?" suaminya bertanya, berharap wanita di depannya bisa segera menandatangani surat cerai mereka. "Cinta pertamaku." . . . . . ...