30

650 93 0
                                    

***

Pada akhirnya mereka memutuskan untuk pulang setelah dokter meyakinkan Jiyong kalau istrinya baik-baik saja. Begitu diizinkan untuk meninggalkan rumah sakit, Lisa mengeluh sebab uang pesangon yang seharusnya ia terima tidak juga masuk ke rekeningnya. Seperti pasangan suami istri lainnya, Lisa membayar tagihan rumah sakitnya, sedang Jiyong pergi mengambil mobil mereka di tempat parkir. Lantas mereka bertemu di depan lobby utama dan Lisa hanya perlu masuk ke dalam mobil itu. Cepat juga efisien.

"Oppa, kita benar-benar harus pulang?" tanya Lisa, yang duduk dan bergegas dengan seat belt-nya sedang mobil mulai melaju ke jalanan begitu pintu ditutup.

"Hm..." pria itu bergumam. Lantas handphone Jiyong bergetar. Handphone yang pria itu letakan di laci, di antara kursi mereka menarik perhatian Lisa. Layarnya pecah, entah sejak kapan. Meski retakannya tidak seberapa banyak, tetap saja ada garis mengganggu di sana.

Jiyong meraih handphonenya yang bergetar, melihat pesan yang masuk ke sana sembari membagi konsentrasinya dengan jalanan di depannya. Laju mobilnya melambat saat tahu kalau pesan itu di kirim oleh Choi Seunghyun. "Ten sudah mengakui semuanya. Sudah terbukti, dia membunuh Ketua Park," tulis Seunghyun dalam pesannya.

Ia tidak menjawab pesan itu. Hanya dikembalikannya handphonenya ke laci lantas menambah lagi laju mobilnya. Kini yang harus ia selesaikan adalah kasus Karina, bukan lagi tentang Ketua Park yang meninggal dibunuh. Ia mengangkat sebelah tangannya, menyandarkan tangan serta kepalanya ke jendela mobil. Mengemudi menuju penginapan tempat Lisa disandera kemarin.

"Sesuatu terjadi?" Lisa bertanya setelah Jiyong menyimpan kembali handphonenya.

"Tidak," jawab pria itu. Singkat dan tenang. Ia sengaja mengurangi kata-katanya, berhenti untuk banyak bicara karena tahu Lisa akan memakai kata-katanya untuk membujuknya, agar mereka tidak perlu pulang.

"Aku belum ingin pulang," keluh gadis itu, yang kemudian mengulurkan tangannya untuk menarik-narik lengan jaket suaminya. "Tidak perlu di Pilos, kemana pun tidak masalah, tapi jangan pulang dulu," bujuknya namun Jiyong menggeleng pelan.

"Aku harus kembali bekerja," Jiyong tetap menolak untuk pergi ke tempat lain selain rumah mereka.

"Kapan?" Lisa bertanya, kali ini ia tidak menunjukkan kekecewaan apapun. Ia hanya bertanya, benar-benar murni karena keingintahuannya.

"Besok."

"Kemana?"

"Apanya yang kemana? Tentu saja ke kantor polisi."

"Oppa tidak akan menyelidiki lagi kasus yang Ten minta kemarin?"

"Aku akan menyelidikinya," jawab pria itu, yang sudah terlanjur kena teguran karena sikapnya kemarin, ketika istrinya di sandera.

"Kalau begitu oppa akan pergi ke Pilos lagi? Kapan?"

"Kenapa kau tiba-tiba ingin tahu?"

"Aku tidak punya rencana setelah keluar dari battlefield," jawab Lisa, sembari menoleh pada Jiyong. "Aku sudah berhenti kerja. Entah disetujui atau belum, tapi aku belum menerima pesangonku. Mungkin memang tidak akan dapat, karena aku melarikan diri. Tinggal di rumah sendirian juga tidak akan menyenangkan. Kita akan terus bertengkar kalau aku kesepian di rumah sendirian. Pulang ke rumah orangtuaku justru akan membuat masalah baru, aku tidak suka orang-orang tahu kita bertengkar. Karena itu, sampai aku tahu apa yang akan aku lakukan... Biarkan aku ikut bersamamu. Aku tidak akan menganggu, sungguh. Aku hanya akan duduk di sini dan menutup mulutku seolah-olah aku tidak berada di sini. Janji!" ocehnya, dengan beberapa gerakan tangan yang memperagakan kata-katanya.

Lisa ingin mencoba mengenali suaminya. Lebih mengenalinya lagi. Meski tidak bisa terlibat dalam pekerjaan suaminya, setidaknya ia ingin tahu apa yang suaminya lakukan. Ingin ia ketahui juga hal-hal yang membuat pria itu tidak bisa pulang ke rumah. Gadis itu merasa, kalau ia mengetahui apa yang terjadi, kalau ia sedikit lebih penasaran, lebih peduli pada kesibukan suaminya, ia bisa berhenti marah. Ia bisa berhenti bersikap menyebalkan.

"Tidak," Jiyong melarangnya. Bukan karena ia ingin menyembunyikan sesuatu dari istrinya. Bukan juga karena ia tidak ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersama. Namun pekerjaannya terlalu berbahaya. Bagaimana jika kejadian kemarin terulang lagi? Jiyong tidak akan sanggup menanggung resikonya.

"Jangan hanya bilang tidak-" Lisa menghentikan ucapannya. Ia baru saja teringat akan keluhan Jiyong semalam. Kalau Lisa membuatnya tertekan, hingga tidak mampu bicara. "Maksudku kenapa tidak boleh?" ralat gadis itu, berkata lebih pelan dari sebelumnya sebab khawatir akan memulai pertengkaran baru.

Semalam Jiyong mengeluarkan batu besar di dadanya. Pria itu kelelahan menghadapi Lisa juga emosinya. Jiyong kewalahan menghadapi amarah istrinya. "Kenapa kau selalu marah?" Jiyong menanyakan itu semalam, Lisa menjawabnya—karena Jiyong memang salah. Jiyong selalu menunda-nunda pekerjaan rumah, ia selalu pulang terlambat, dan yang paling menyebalkan, pria itu sering gagal menepati janjinya—begitu alasan Lisa. Namun menurut Jiyong, Lisa tidak marah karena semua alasan itu. Menurut pendapatnya, istrinya marah karena ia tidak bisa memenuhi ekspektasinya.

"Aku ingin memberimu banyak hal, aku ingin memperhatikanmu, aku ingin memberimu segalanya, aku ingin membantumu, aku ingin mencintaimu, dan aku berusaha melakukannya. Aku tidak berharap kau akan berterima kasih untuk semua yang aku lakukan, aku tidak berharap kau akan bersyukur karena hal-hal yang aku lakukan, aku berikan untukmu. Melihatmu tersenyum karena hal-hal yang aku lakukan saja sudah cukup untukku. Tapi, yang keluar darimu justru—what? Apa yang kau harapkan dariku? Kau memang seharusnya begitu. Kau memang seharusnya memberiku banyak hal, kau memang seharusnya memperhatikanku, membantuku, mencintaiku. Itu tugasmu," semalam adalah kali pertama Jiyong mengutarakan perasaannya. Setelah lama ia tahan perasaan itu agar istrinya tidak terluka, agar Lisa tidak tersinggung dan pertengkaran mereka tidak jadi terlalu kejam. Meski akhirnya, pertahanannya justru menjadi bumerang bagi mereka.

"Kalau memang itu tugasku. Kenapa kau tidak membayarku?" tanya Jiyong. "Kalau memberimu segalanya, memperhatikanmu, membantumu dan mencintaimu adalah tugasku, dan kau tidak ingin membayarku, lalu apa tugasmu? Melakukan hal yang sama, untukku, bukan begitu? Sama seperti kau yang tidak bisa merasakan perhatianku, bantuanku, cintaku untukmu, aku pun tidak bisa merasakan semua itu darimu," akunya, membuat Lisa tidak bisa berkata-kata lagi. Tidak bisa mengeluh lagi. Tidak bisa menyalahkan suaminya lagi. Ia pun sama buruknya dengan suaminya. 

"Berbahaya," Jiyong berkata sembari memarkir mobilnya di depan penginapan kemarin. Yang sampai hari ini masih belum beroperasi. "Membawamu bersamaku, akan membuatmu berada dalam bahaya. Kejadian seperti kemarin, mungkin saja akan terulang lagi. Dan akan sangat buruk kalau penjahatnya bukan temanmu," jelas pria itu, mencoba membuat istrinya paham.

"Kalau begitu," Lisa melepas seat belt-nya, bergerak untuk duduk menyamping bersamaan dengan mobil yang berhenti bergerak. Ia duduk menyamping, menatap Jiyong yang ada di sebelahnya. "Hanya kalau pekerjaanmu tidak terlalu berbahaya, biarkan aku ikut dan menunggu di mobil. Misalnya, saat oppa hanya pergi untuk mengumpulkan rekaman CCTV, atau saat oppa pertama kali mendapatkan kasus baru, atau saat kau ingin pergi menemui saksi, bisa juga saat oppa hanya pergi untuk mencari petunjuk. Aku hanya akan menunggu di mobil, tidak menganggu, tidak mengeluh. Dan kalau keadaannya berubah jadi berbahaya, oppa bisa menurunkanku di minimarket, mall, halte, taman, tempat ramai manapun yang kita temui. Aku bisa pulang sendiri dari sana. Kalau oppa masih ragu, di waktu senggangku saat oppa tidak bisa mengajakku, aku akan berlatih bela diri. Jadi aku bisa menjaga diriku sendiri, ya? Biarkan aku ikut... Sesekali, hanya sesekali," bujuk gadis itu dengan semua alternatif yang bisa ia pikirkan.

"Kau tidak ingin kembali bekerja saja?" tanya Jiyong dan Lisa menggeleng.

"Masalah kita tidak akan selesai kalau aku kembali bekerja sekarang," kata Lisa. "Kita hanya akan terus berada dalam lingkaran setan ini kalau tidak ada yang berubah. Aku yang akan berubah lebih dulu, aku ingin berusaha memahamimu. Jadi kita bisa sama-sama merasa nyaman dan aku tidak akan terlalu sering marah lagi. Terus marah juga membuatku kelelahan. Oppa tidak mungkin mengundurkan diri juga, kita masih butuh uang, jadi... Ayo coba ideku ini, hm? Biarkan aku ikut bekerja bersamamu sesekali," bujuk Lisa. Meski tahu kalau suaminya akan terlihat tidak profesional jika menyetujui permintaannya.

***
Bentar lagi tamat .-. pengennya 2 part lagi, tapi ngga janji.

Why Do Women Get Angry?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang