16

442 80 1
                                    

***

Lisa pulang untuk berkemas setelah Jiyong akhirnya menyerah dan bersedia mencarikan Ten Lee untuknya. Butuh satu minggu—terhitung dari hari Minggu sebelumnya—untuk membuat pria itu bersedia. Muak karena terus dibujuk, karena Lisa bersikap seolah tidak terjadi apapun, pria itu akhirnya bersedia. Meski Lisa harus menandatangani surat cerai mereka lebih dulu. Ia tanda tangani surat itu di depan Jiyong, namun kemudian menyimpan suratnya. "Aku yang harus menyimpan surat ini, karena oppa mungkin akan menyerahkan surat ini ke pengadilan sebelum kita menemukan cinta pertamaku," mereka membuat kesepakatan.

Di rumah, gadis itu melipat surat yang sudah ia juga suaminya tanda tangani. Melihat surat cerai itu sudah siap dikirim ke pengadilan, jelas membuat hatinya terluka. Namun apa lagi yang bisa ia lakukan selain menahannya? Ia tahan rasa sesaknya, lantas memasukan beberapa pakaiannya, juga pakaian suaminya ke dalam sebuah koper. Ini akan menjadi perjalanan terakhir mereka. Setelah perjalanan ini, ia berharap mereka bisa memikirkan ulang perceraian itu. Meski setelah perjalanan ini hubungan mereka tidak membaik, ia tidak akan menyesalinya. Ia sudah berusaha, apapun keputusan mereka nanti.

Di tengah sibuknya ia melipat dan memasukan pakaian ke dalam koper, ditemukannya sebuah kotak di dalam lemari. Kotak itu berwarna hitam, dengan pita perak di atasnya. "Oh!" ia berseru, terkejut karena menemukan kotak itu diantara koper dan ransel. "Apa aku belum memberikannya?" bingung Lisa, mengingat hadiah ulang tahun yang sudah ia siapkan dan ia sembunyikan untuk suaminya. Hadiah ulang tahun yang seharunya ia berikan pada Jiyong di tanggal 18 Agustus kemarin. Semua yang terjadi di kantor membuatnya lupa pada hadiah yang sudah lama ia siapkan.

Lantas, ia kemasi juga kotak itu. Akan dicarinya waktu yang tepat untuk memberikan kotak itu nanti. Sebuah kotak seukuran buku berisi handphone baru yang harusnya menjadi hadiah ulang tahun suaminya. Sebuah koper juga sebuah tas jinjing model koper yang bisa disandarkan ke atas koper itu, Lisa selesai memenuhi kedua tas itu dalam satu jam. Kini, ia hanya perlu menunggu suaminya sampai di rumah. Jiyong bilang ia akan tiba sebelum matahari terbenam.

Ia membuka dompetnya sembari menunggu. Melihat foto Ten Lee yang disimpannya di sana sejak beberapa hari lalu. Dipandanginya foto itu kemudian terkekeh, sudah lama sekali sejak ia melihat wajahnya, juga wajah pria dalam foto itu. Mereka masih duduk di sekolah menengah dalam foto itu, dengan seragam yang membuat mereka merasa mampu menaklukkan dunia. Mereka sangat bersemangat waktu itu, bersumpah kalau mereka akan merubah dunia yang ketika itu terasa menyesakan.

Dalam angannya, Lisa kembali ke sekolahnya dahulu. Di lihatnya gedung sekolahnya yang tua, dengan dinding-dinding dingin berwarna kelabu. Atap sekolahnya berwarna merah bata, dengan banyak pohon-pohon rimbun di depan gedungnya, di sisi kanan dan kiri jalan, membentuk tudung hijau yang menahan silaunya matahari. Dedaunannya rontok, tertiup angin dan memenuhi jalan. Lantas, di atas jalanan itu, ia lihat dirinya sendiri. Terbalut seragam yang roknya sengaja ia naikan. Membuat pahanya terekspos, membuat dirinya ditegur guru piket. Pahanya ditepuk dengan stik kayu panjang, ia dimarahi dan diminta memakai roknya dengan benar.

Kemudian dari belakangnya, seorang pria berlari. Pria itu diteriaki si guru piket, dimarahi karena berlari. Namun alih-alih berhenti, pria itu justru berteriak, mengatakan kalau ia harus pergi ke toilet. Dahulu Lisa tidak peduli, pria itu—Ten— benar-benar harus ke toilet atau hanya berpura-pura. Tidak Lisa ingat, pria itu sungguhan masuk ke dalam toilet, atau hanya bersembunyi di suatu tempat demi bisa bolos dari kelas pertama mereka—fisika.

Saking seriusnya ia mengingat-ingat masa sekolahnya, tidak Lisa sadari kalau Jiyong sudah pulang. Pria itu berdiri di depan gerbang, menaikan alisnya sembari memperhatikan Lisa yang tengah tersenyum, memandangi foto lamanya. Jiyong mengetuk pintu gerbang mereka yang dilapisi kayu-kayu tebal, meleburkan ingatan Lisa yang langsung menoleh dan melihat kehadirannya.

Tidak ada obrolan berarti. Jiyong tidak bertanya apa yang sedang istrinya lamunkan, ia pun bersikap seolah tidak ingin tahu. Pria itu justru heran, sebab Lisa mengemas sebuah koper untuk mereka. Seolah mereka akan pergi sangat jauh hanya untuk menemukan Ten Lee. Jelas Jiyong menggerutu, namun Lisa tidak peduli. Ia masukan koper mereka ke dalam mobil, lantas membawa tas kecilnya duduk di sebelah kursi pengemudi. "Ayo makan malam dulu-" ajak Lisa yang Jiyong sela dengan sebuah perintah. Jiyong menyuruh Lisa memasukan alamat rumah Ten Lee ke dalam navigasi mobil mereka.

"Aku tidak tahu dimana rumahnya," kata Lisa, yang sudah duduk manis dengan seat belt-nya. "Aku tidak akan memintamu mencarikannya kalau tahu dimana rumahnya," susul Lisa, lantas bertanya apa Jiyong sudah mencari alamat Ten atau belum.

Tidak ada satupun informasi tentang Ten yang Jiyong cari seharian ini. Ia bekerja di kantor kepolisian, mencari seseorang harusnya bukan masalah untuknya. Pria itu bisa menemukan informasi pribadi Ten lewat komputernya. Dengan catatan, Ten harus menjadi penjahat lebih dulu. Atau pria itu sudah dilaporkan hilang sebelumnya. Tanpa dua syarat itu, Jiyong tidak diizinkan mengorek informasi pribadi orang lain. Ada aturan yang ia langgar kalau ia mencari informasi pribadi Ten Lee hanya karena istrinya ingin menemukan cinta pertamanya.

"Lalu bagaimana kau akan menemukannya?" Jiyong terdengar kesal. Ia matikan lagi mesin mobilnya, hampir memukul roda kemudinya, namun masih berusaha menahan dirinya.

"Aku memintamu menemukannya. Aku tidak tahu bagaimana cara menemukannya. Oppa polisi, tidak mungkin oppa tidak bisa mencari seseorang," santai Lisa, yang kemudian menggerutu, berkata kalau ia tidak pernah merasakan hasil kerja Jiyong selama ini—tentu gaji tidak termasuk ke dalam hasil kerja itu.

"Apa katamu?" tanya Jiyong, yang jelas marah karena mendengar pendapat Lisa.

"Apa? Aku benar kan?" balas gadis itu, bertingkah seolah ia tidak melukai perasaan siapapun. "Oppa selalu pulang terlambat, oppa berkeliaran mencari ini dan itu, membantu korban ini dan itu, tapi tidak pernah membantuku. Oppa bilang akan mencari selang untuk mesin cuci, tapi tidak pernah melakukannya. Oppa bilang akan memperbaiki ini dan itu, tapi tidak pernah melakukannya. Saat aku minta tolong karena Jennie tertipu voice phishing, oppa juga mengoper kasus itu ke tim lain. Kali ini, lakukan sesuatu untukku, temukan cinta pertamaku," katanya, mencibir sekaligus memerintah suaminya. Menyuruh pria itu segera menyalakan mobil mereka, segera mengemudi menjauhi rumah.

Sembari marah, menggerutu karena penilaian Lisa terhadapnya, mengatakan kalau ia selalu punya alasan logis atas semua tindakannya, pria itu mulai mengemudi. Tanpa tujuan, Jiyong hanya mengemudikan mobilnya masuk ke jalan utama. Tentu dengan suasana hati yang buruk, yang kemudian menularkan perasaan kesal itu pada teman berkendaranya. Melalui kata-katanya, ia balas luka yang Lisa torehkan, "aku tidak ingat kenapa aku ingin menikahi dulu," katanya, menggerutu pelan namun cukup tajam untuk menusuk hati orang di sebelahnya.

***

Why Do Women Get Angry?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang