***
"Oppa, aku merindukanmu," Jiyong mendengar bisikan itu seraya merasakan tangan Lisa bergerak di pinggangnya, memeluknya dari belakang di atas ranjang yang gadis itu satukan.
Ketika mendengarnya, hatinya terasa begitu nyeri. Bohong kalau ia tidak merasakan hal yang sama. Sama seperti Lisa, Jiyong pun merindukan istrinya. Bedanya, gadis yang Jiyong rindukan sudah lebih dulu menghancurkan perasaannya. Hancur lebur, berkeping-keping, hingga kini rasa rindu yang Lisa ucapkan terasa seperti garam yang ditaburkan ke atas lukanya.
Dadanya luar biasa sakit mendengar bisikan lemah itu. Seolah ia akan meledak untuk kedua kalinya. "Aku sudah melukai perasaanmu, aku minta maaf... Tapi jangan pergi, jangan meninggalkanku, aku takut ditinggalkan sendirian," bisik Lisa selanjutnya. Ia dekatkan dahinya ke punggung Jiyong, memeluk pria itu semakin erat, meski Jiyong tidak membalas pelukannya.
Tidak ada obrolan. Jiyong mengabaikannya. Pria itu hanya diam, seolah ia sudah benar-benar terlelap hingga tidak menyadari pelukan itu. Lisa sedikit bersyukur karenanya, karena kemungkinan terburuk yang dipikirkannya, tidak lah terjadi. Ia sudah membayangkan skenario akan di dorong, dipaksa menjauh. Ia sudah memikirkan reaksinya jika Jiyong melakukan itu padanya. Namun, untungnya, ia tidak perlu menerima penolakan sekejam itu.
Marah tidak membuat tubuhnya lupa. Setelah ia memutuskan untuk berpura-pura tidur dan membiarkan Lisa memeluknya, Jiyong akhirnya benar-benar terlelap. Lalu, begitu tidurnya mulai nyenyak, tanpa ia sadari tubuhnya bergerak sendiri, berbalik untuk balas memeluk wanita yang masih menjadi istrinya.
Lisa pun sudah terlelap karena lelah saat itu. Tidak ia sadari Jiyong memeluknya, sampai ia akhirnya bangun dari tidurnya. Sudah ada sedikit kemajuan—nilai Lisa. Ia jadi enggan untuk bangun. Enggan menyadarkan Jiyong dari tidurnya, enggan kehilangan lagi pelukan yang sudah lama tidak dirasakannya. Seandainya ia bisa mengulang lagi waktu yang sudah terlewati, ingin rasanya ia menarik lagi ucapannya. Kalau memutar kembali waktu bukan lah sesuatu yang mustahil, Lisa ingin kembali pada malam itu, pada malam ketika ia melukai perasaan suaminya. Ia ingin kembali kesana lalu menutup mulutnya sendiri, memastikan dirinya tidak akan melukai Jiyong.
Di saat begitu, Lisa mengingatnya. Ketika itu ia merasa gagal dalam interview kerjanya. Itu adalah interview kelima dalam minggu ini dan ia kesal karena menggagalkannya. Ditengah penyesalan itu, ia langkahkan kakinya menuju minimarket. Ia perlu menaiki sebuah bus untuk sampai ke minimarket tujuannya, di dekat kantor polisi.
Tiba disana, dilihatnya sekeliling. Lantas ia mendengus sebab orang yang dicarinya tidak terlihat batang hidungnya. Ini juga sudah kelima kalinya ia datang ke minimarket itu, dan disana pun ia gagal menemukan apa yang diinginkannya. Pada minggu selanjutnya, ia pun masih gagal. Gagal mendapat pekerjaan, juga gagal menemui polisi yang tempo hari ia belikan kopi.
"Aku akan mengantar pesanan ke kantor polisi, kau mau menolongku, nona?" seorang wanita paruh baya yang menjaga toko itu bertanya. Ada sekeranjang minuman energi, roti, kopi dan rokok di tangannya.
"Ya?" Lisa menunjukan wajah bingungnya ketika itu, lantas wanita paruh baya dengan rompi tadi menghampirinya dari meja kasir.
"Bisakah kau tetap di sini sampai aku kembali dari kantor polisi?" tanyanya, sebab tahu kalau Lisa akan tetap berada di sana setidaknya beberapa jam ke depan.
"Boleh aku saja yang mengantar itu ke kantor polisi?" Lisa balas bertanya.
Ia berhasil pergi selanjutnya. Untuk pertama kalinya menginjakan kaki di kantor polisi, melangkah masuk dengan canggung, berdiri bingung di depan pintu utamanya. Tanpa tahu apa yang harus ia lakukan, gadis itu memperhatikan orang-orang yang dengan santai melangkah keluar dan masuk kantor polisi. Sampai dilihatnya lagi pria itu, yang baru saja keluar dari sebuah mobil hitam dan akan masuk ke dalam kantor polisi.
"Oh! Oh!" serunya, berlari kecil menghampiri pria itu, jelas membuat pria tadi kelihatan bingung. "Aku diminta mengantar pesanan dari minimarket ke kantor polisi," katanya.
"Ah? Ya, silahkan," angguk Jiyong, yang mengulurkan tangannya untuk mempersilahkan lawan bicaranya masuk.
"Tidak bisakah kau membantuku? Aku baru ingat kalau aku tidak tahu siapa pembelinya," jawab Lisa.
Sejurus kemudian, keduanya melangkah masuk ke dalam kantor polisi. Satu-satunya yang tertulis di struk belanjanya hanya tulisan—Tim Kejahatan dan Kekerasan—ditulis tangan dengan tinta hitam. Pria itu mengajaknya masuk ke dalam sebuah ruangan dengan pintu ganda. Jeruji besi dipasang di depan pintunya, terasa sangat mengintimidasi bagi Lisa. Membuat gadis itu melangkah dengan gugup sembari melihat ke sekelilingnya. Melihat-lihat seolah ia baru saja masuk ke dalam wahana rumah hantu di taman hiburan.
"Siapa yang memesan minuman di minimarket?!" pria itu berteriak, membuat Lisa terlonjak kaget, lantas kembali pada kenyataannya. Ia berada di sana untuk mengantarkan pesanan.
Beberapa pria mendekat pada Jiyong. Mengambil pesanan mereka, sedang seorang pria berpangkat tinggi datang dan memberikan sejumlah uang tunainya. Membayar semua pesanan itu pada Jiyong. "Ambil saja kembaliannya untukmu," Jiyong berkata begitu pada Lisa, mengembalikan keranjang yang kosong serta uang yang ia bayarkan atas semua isi keranjang tadi.
"Terima kasih, oppa," Lisa berucap dengan sedikit canggung.
"Ya?"
"Jiyong oppa," kata Lisa sekali lagi, sembari menunjuk tanda pengenal yang Jiyong kalungkan ke lehernya. Gadis itu berbalik, akan melangkah pergi karena malu. Namun di detik selanjutnya, ia berubah pikiran. Lisa kembali menatap Jiyong, di lorong kantor polisi itu. Lantas ia bertanya, "apa kebetulan kau punya waktu luang akhir pekan nanti?" katanya.
Sayang sekali, alih-alih mengatakan kalau ia bisa meluangkan waktu akhir pekan nanti, Jiyong justru menggeleng. Mengatakan kalau ia sibuk akhir pekan nanti. "Ah... Kau sibuk? Baiklah, terima kasih untuk bantuannya, aku harus kembali ke minimarket sekarang," pamit Lisa, yang dengan sopan menundukan kepalanya, lantas melangkah meninggalkan kantor polisi itu.
Lisa kembali ke minimarket saat itu. Mengembalikan keranjang, juga uang yang ia terima dari kantor polisi tadi. Lantas, di dudukannya bokongnya ke salah satu kursi, sembari mengeluh. Mengatakan kalau semua hal gagal untuknya. Kemudian, bibi penjaga minimarket itu mendekat, sembari memberikan sekaleng soda untuknya. Ucapan terima kasih, katanya.
"Kau sedang mencari kerja?" bibi itu bertanya, seraya duduk di sebelah Lisa.
"Iya," angguk Lisa, yang sengaja menumpukan kepala beratnya pada lengannya di atas meja. "Tapi semua interviewku gagal," susulnya.
"Datang lah ke sini besok lusa, manager toko ini akan datang besok lusa. Mungkin, dia bisa memberimu pekerjaan," kata bibi tadi, yang kemudian menoleh ke pintu karena seorang pelanggan baru saja masuk. "Oh? Jiyong-ah, kau butuh sesuatu?" bibi tadi menyapa pelanggan yang baru saja datang, membuat Lisa lekas menoleh untuk memastikan siapa pelanggan itu.
"Rokok dan pemantiknya," Jiyong menjawab, meski matanya sudah bertukar tatap dengan Lisa di meja panjang. Pria itu kemudian mengeluarkan dompetnya, memberikan selembar uang pada bibi penjaga minimarket lantas melangkah menghampiri Lisa setelah meraih asal sebungkus permen di dekat kasir. "Dan permen ini," katanya, hanya menunjukan permen di tangannya pada Bibi yang sekarang di meja kasir.
Ia meletakan permen itu di depan Lisa, masih sembari bertukar tatap dengannya. Saling menatap seolah tatapan itu bisa menjelaskan segalanya. "Sampai akhir pekan nanti aku sibuk, tapi aku libur di hari Senin. Kalau kau memberiku alamatmu, aku bisa menjemputmu di rumah hari Senin sore nanti, setelah aku mengunjungi orangtuaku," katanya, yang mengulurkan permennya tadi, memberikannya pada Lisa, sebagai ganti kopi tempo hari.
"Bukankah seharusnya kau meminta nomor teleponku dulu?" tanya Lisa, yang disusul cegukan beberapa kali. Membuat gadis itu lantas berpaling, menyembunyikan wajah malunya dari si pekerja kantor polisi.
"Aku tidak keberatan kalau kau mau memberiku nomor teleponmu," Jiyong menjawabnya, sembari mengulurkan handphonenya pada Lisa. Handphone yang baterainya hanya tersisa 5%.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Why Do Women Get Angry?
Fanfiction"Baik, aku mau bercerai. Tapi sebelum itu, carikan seseorang untukku," katanya, menatap serius pria di hadapannya. "Siapa?" suaminya bertanya, berharap wanita di depannya bisa segera menandatangani surat cerai mereka. "Cinta pertamaku." . . . . . ...