***
Lisa terbangun dari tidurnya ketika hari mulai gelap. Ia tidur hampir sepanjang hari. Begitu tenang, hampir tidak bergerak. Ketika bangun, suaminya ada di sana. Duduk di sebelah ranjangnya, memegangi tangannya dengan kepala yang tertunduk di atas ranjang. Jiyong menumpangkan dahinya ke atas jemarinya yang menggenggam jemari istrinya. Menunggu wanita itu bangun.
Lantas Lisa menggerakan tangannya, balas meremas jemari suaminya, membuat pria itu langsung bangun, mengangkat kepalanya dan menatapnya. Melihat istrinya akhirnya bangun, Jiyong menghela lega nafasnya. Ia mendekati wanita itu, lantas memeluknya, mencium dahinya kemudian memeluknya lagi, mengatakan kalau ia bersyukur karena Lisa akhirnya bangun. Bersyukur karena istrinya tidak lecet barang sedikit pun.
Ia masih membungkuk, baru saja melepaskan pelukannya dari tubuh istrinya sembari berucap, "maaf, aku minta maaf, harusnya aku tidak mengerjakan kasus ini, aku benar-benar minta maaf," katanya. Jiyong menyesal karena datang ke lokasi meninggalnya Kepala Park. Ia menyesal, karena kasus itu membuat istrinya berada dalam bahaya. Kalau saja, ia tidak datang ke lokasi kejadian dan ikut mengerjakan kasus itu, Lisa tidak akan mengalami pengalaman menakutkan itu.
Setelah Jiyong melepaskan pelukannya, perlahan Lisa bergerak untuk duduk. Tubuhnya terasa aneh, terasa lebih berat dari biasanya. Namun begitu bangun, ia merentangkan tangannya, meminta Jiyong untuk memeluknya sekali lagi. Selanjutnya, pria itu duduk di tepian ranjang, memeluk istrinya sembari mengusap-usap bagian belakang kepalanya.
"Aku takut sekali," kata Lisa, terus memeluk suaminya, menyembunyikan wajahnya di bahu pria itu. "Aku takut tidak bisa bertemu lagi denganmu... Aku minta maaf, aku tidak akan marah lagi... Aku janji tidak akan marah lagi, tapi jangan pergi, aku takut," ia berbisik pelan, terus memeluk Jiyong dan mulai kembali menangis. Mengingat apa yang terjadi semalam.
Tentu Jiyong menepuk-nepuk punggung wanita itu, menenangkannya. Hingga Lisa mulai merasa tenang dan mencari posisi duduk yang lebih nyaman di ranjang rumah sakit itu. Mereka berada di dalam sebuah kamar yang hanya punya sebuah ranjang. Hanya Lisa yang dirawat di sana. Beberapa saat kemudian, Lisa kembali diperiksa, sedang Jiyong menunggu sembari memesan makan malam lewat handphonenya.
Lisa baik-baik saja, semua alat vitalnya bekerja dengan seharusnya dan ia pun tidak terluka. Gadis itu hanya terkejut, karenanya ia pingsan. Ia sudah diizinkan untuk pulang saat itu juga, namun Jiyong melarangnya. Mengatakan kalau ia ingin Lisa tetap di rumah sakit, tetap diobservasi setidaknya sampai besok. Jiyong tidak ingin ada sesuatu yang terlewat, ia tidak ingin istrinya berada dalam bahaya lainnya.
Meski mengatakan kalau ia baik-baik saja dan tidak ingin terlalu lama berada di rumah sakit, Lisa tidak bisa berbuat banyak. Ia hanya bisa menuruti perintah suaminya, tetap tinggal di sana sampai tubuhnya benar-benar kembali sehat. Tubuhnya jadi sakit dan terasa berat setelah semalaman terjaga dalam kondisi tegang, juga kelelahan karena takut. Setelah makan dan beristirahat sebentar, Lisa akan kembali normal lagi.
Ia makan di ranjangnya, Jiyong yang membantunya, melayaninya. Menunya sup ayam, di dalam mangkuk plastik dengan asap yang masih mengepul. Jiyong sudah mengarahkan sendok ke tangannya, namun alih-alih segera makan, gadis itu justru meraih tangan suaminya, menyentuh perban yang melilit rapi di sana.
"Oppa terluka?" ia berucap, kemudian menggeser kerah pakaian Jiyong, melihat perban elastis yang juga ada di bahu pria itu.
"Sedikit," pria itu tersenyum, menenangkan istrinya yang menatap curiga padanya. Lantas ia menghela nafasnya, mengaku kalau dirinya banyak terluka saat akan mendobrak pintu. Bahunya terkilir dan ada beberapa memar di rusuknya. Namun pria itu sudah mengobati semua lukanya dan ia baik-baik saja, Jiyong bersikeras kalau ia baik-baik saja.
"Harusnya oppa yang dirawat di sini," komentar Lisa. "Aku tidak terluka, sama sekali," susulnya, akan bangun agar Jiyong yang duduk di ranjang itu. Sekali lagi Jiyong menolak. Ia minta istrinya untuk tetap berada di sana, sebagai pasien. Sedang ia mendudukan bokongnya ke tepi ranjang, tepat di sebelah Lisa, duduk menyamping agar bisa memeluk gadis itu sekali lagi.
"Terima kasih sudah bertahan, kau pasti sangat takut kemarin," Jiyong berkata sembari terus memeluk istrinya. Ia pun menerima pelukan balasan, namun pelukannya tidak lama, Jiyong lebih dulu melepaskannya agar istrinya bisa makan.
Lisa tidak perlu disuapi, ia bisa memakai sendoknya sendiri. Justru dirinya lah yang sesekali menyuapi suaminya, memaksa pria yang mengaku sudah makan itu. Jiyong memang sudah makan, beberapa potong roti yang ditinggalkan rekan-rekannya tadi. Ia tidak ingin meninggalkan ruangan itu terlalu lama hanya untuk makan. Membeli makanan dan makan sendirian di sana pun rasanya akan menganggu istrinya yang beristirahat.
Selesai makan, Jiyong yang merapikan mangkuk-mangkuk kosongnya. Ia bawa semua itu keluar, membuangnya ke tempat sampah kemudian kembali lagi ke dalam kamar rawat istrinya. Pria itu kemudian menyeduh teh di sudut ruangan dekat dapur. Ada sebuah teko listrik dengan mangkuk kecil berisi teh dan kopi sachet, juga gelas kertas dan gula yang juga di kemas.
"Oppa," Lisa memanggil dari ranjang, setelah melihat Jiyong menuangkan air panas ke dalam dua gelasnya. Membuat segelas teh untuk istrinya dan segelas kopi untuknya. "Aku sudah bertemu dengan Ten," susulnya, menghentikan gerakan Jiyong di tempatnya. "Tentang kesepakatan kita, apa perlu kita bicarakan sekarang?" tanyanya, dan kali ini Jiyong berbalik, menatap padanya kemudian menggeleng.
"Kita bicarakan setelah sampai di rumah," jawab pria itu, yang kemudian tersenyum, mengantarkan gelas teh untuk istrinya yang masih duduk di ranjang.
Jiyong duduk di tepian ranjang, menghadap ke jendela yang sebagian tertutup tirai. Lepas meletakan tehnya di nakas, Lisa bergerak, menarik kakinya untuk duduk di sebelah pria itu, ikut menatap ke jendela dengan pemandangan malamnya. "Kapan kita akan pulang?" Lisa bertanya, sembari mengambil kembali tehnya, menyesapnya perlahan agar lidahnya tidak terbakar.
"Setelah kau benar-benar kuat untuk perjalanan pulang," Jiyong menjawabnya sebelum menyesap minumannya sendiri.
"Tidak bisa kah kita menginap satu malam lagi di sini?" tanyanya, dan kali ini Jiyong menoleh ke arahnya. Menaikan alisnya sebab heran dengan permintaan itu. Jiyong pikir, Lisa ingin cepat-cepat pergi dari sana. Ingin segera meninggalkan tempat traumatis itu dan melupakannya. "Malam ini aku tidak keberatan berada di sini, tapi sebelum pulang bisakah kita menginap satu malam lagi di sini? Maksudku di Pilos, di hotel, bukan rumah sakit, bukan juga penginapan yang kemarin," pintanya.
"Kenapa? Kau tidak ingin pulang?"
"Bukan begitu," Lisa menundukan kepalanya, memandangi teh di dalam gelas kertasnya. "Oppa pasti lelah. Setelah apa yang kemarin terjadi, sepanjang hari oppa juga menemaniku di sini, oppa tidak bisa benar-benar tidur nyenyak, kau pasti lelah. Selain itu, aku ingin bertemu dengan Ten sekali lagi," ia berkata.
"No," tegas Jiyong, tanpa bertanya apa alasan istrinya ingin menemui pria itu lagi. Pria itu berpaling, berhenti melihat wajah istrinya dan kembali menatap pemandangan di jendela.
Lisa berdecak, mengatakan kalau ia punya sesuatu untuk di katakan pada Ten. Namun Jiyong tetap melarangnya untuk menemui pria itu. Jiyong tidak ingin Lisa menemuinya lagi. Bukan membujuk agar Lisa mengurungkan niatnya, Jiyong melarang wanita itu, seolah Lisa akan dapat masalah jika membantah.
"Kalau kau ingin mengatakan sesuatu padanya, aku bisa menyampaikan pesan itu. Jangan menemuinya," tegas Jiyong. Meski tahu alasan Jiyong melarangnya adalah untuk menjaganya, Lisa tetap berdecak, mengeluh dan bilang kalau ia akan baik-baik saja meski bertemu dengan Ten sepuluh kali.
"Baiklah, aku tidak akan menemuinya," gadis itu akhirnya menyerah. Sebab Jiyong tidak terlihat akan melunak padanya. "Tapi oppa, apa polisi adalah cita-citamu? Kenapa kau bekerja di kantor polisi?" Lisa kemudian bertanya, rasanya mereka bisa kembali mengobrol sekarang, seolah semua pertengkaran yang sebelumnya terjadi tidak pernah ada.
"Karena seorang wanita," pelan Jiyong, jelas membuat istrinya cemburu. Meski itu sudah terhitung masa lalu, Jiyong tidak seharusnya menyinggungnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Why Do Women Get Angry?
Fanfiction"Baik, aku mau bercerai. Tapi sebelum itu, carikan seseorang untukku," katanya, menatap serius pria di hadapannya. "Siapa?" suaminya bertanya, berharap wanita di depannya bisa segera menandatangani surat cerai mereka. "Cinta pertamaku." . . . . . ...