***
Jiyong keluar dari kamar utama setelah selesai membersihkan tubuhnya. Hari ini akhir pekan, namun Jiyong akan pergi ke kantor polisi sebab ada beberapa hal yang perlu ia urus. Sembari melangkah keluar dari kamarnya, ia bawa keranjang berisi pakaian kotor. Membawanya ke ruang cuci di sebelah dapur, sedang istrinya tengah menyiapkan sarapan untuk mereka.
"Oppa, mesin cucinya rusak," Lisa memberitahu suaminya, sembari melirik pada pria yang meletakan keranjang pakaian kotor mereka di depan mesin cuci.
"Kenapa?" Jiyong melangkah. Menghampiri Lisa di dapur, memeluknya sebentar kemudian mengambil sepotong telur goreng yang tengah wanita itu potong. Mencuri sepotong telur untuk ia makan sebelum duduk dan menunggu sarapan mereka siap.
"Selang airnya bocor, sepertinya," jawab gadis itu. "Airnya tumpah kemana-mana saat akan dibuang," susulnya.
"Hanya perlu mengganti selang pembuangan airnya kan? Nanti sore aku perbaiki," jawabnya kemudian.
"Belikan juga selang penggantinya saat keluar nanti," suruh Lisa dan Jiyong mengiyakannya. Bertanya apa-apa saja yang perlu ia belikan dalam perjalanan pulang nanti sore.
Ini adalah hari-hari biasa, bahkan dikeesokan harinya. Sampai Senin pagi datang dan Jiyong mencari istrinya di dapur. "Sayang, apa kau lihat jaketku biasanya?" tanyanya namun Lisa hanya mendengus sebal. Ia tunjuk ruang cuci di sebelah mereka dengan dagunya dan semua cucian masih ada di sana. Belum dicuci sebab Jiyong belum memperbaiki mesin cucinya.
"Ah? Aku lupa membeli selangnya. Nanti sore aku perbaiki," kata Jiyong yang kemudian melangkah kembali ke kamar. "Akan aku pakai jaket lainnya saja," susul pria itu. "Aku tidak sarapan pagi ini, ada panggilan darurat," katanya, lantas meraih jaket apapun di lemari kemudian menghampiri lagi istrinya. Mencium pipi istrinya dan berpamitan pergi.
Sedang Lisa yang tidak kelihatan senang pun meninggalkan bak cuci piring. Ia yang sudah menyiapkan sarapan, jadi kesal karena Jiyong pergi begitu saja. Keesokan harinya, untuk membalas pria yang membuatnya kesal itu, Lisa sengaja tidak menyiapkan sarapan. Gadis itu hanya memanggang roti untuk dirinya sendiri, sedang Jiyong ia abaikan.
Tentu Jiyong harus meminta maaf setelahnya. Meminta maaf karena tidak sempat menikmati sarapan yang sudah istrinya buatkan. Ia pun harus meminta maaf karena sekali lagi melupakan mesin cuci mereka yang rusak. Bagi Lisa, Jiyong terus melakukan kesalahan. Sedang untuk Jiyong, istrinya terus saja marah.
Mereka masih bertahan, menganggap kalau memang begitulah hubungan suami istri pada umumnya. Menganggap kalau pasangan lainnya pun begitu. Marah, dimarahi, bertengkar kemudian dipaksa bersikap seolah tidak terjadi apapun. Tidak seorang pun paham akan perasaan satu sama lain. Tidak Jiyong tahu kenapa Lisa selalu marah. Tidak juga Lisa tahu kenapa Jiyong selalu membuatnya kesal.
Sampai tiba saat dimana pertahanan itu hancur berkeping-keping. Hari itu adalah hari ulang tahun Jiyong. Di tanggal 18 Agustus, hujan turun sejak pagi. Hujannya sangat deras hingga terjadi beberapa kecelakaan di jalanan. Suara sirine dari mobil polisi juga ambulans bersahut-sahutan di luar.
"Aku akan mengantarmu hari ini, aku harus pergi ke sekitaran kantormu," kata Jiyong, bicara pada istrinya yang baru saja keluar dari kamar mandi.
Jiyong masih tidur ketika Lisa pergi mandi tadi. Pria itu bangun, sebab ada telepon yang menganggu mimpinya. Tanpa membasuh wajahnya, langsung ia raih jaketnya semalam. Jaket itu tergeletak di sofa, di dalam kamar tidur utama.
"Ada apa?" Lisa bertanya, tentu sembari mengeringkan rambutnya.
"Kasus baru," jawab Jiyong, yang baru masuk ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya setelah ia memakai jaketnya. "Pakai riasanmu di mobil, aku tunggu di sana, cepat lah," suruh Jiyong, yang justru membuat Lisa menggerutu.
Kalau Jiyong memang ingin mengantarnya, pria itu harusnya tidak membuatnya terburu-buru. Lisa bisa saja berangkat sendiri, bukan kali pertama hujan terjadi dipagi hari seperti sekarang. Mereka punya payung dan tentu saja bisa memesan taksi kalau memang perlu.
Meski begitu, meski ia banyak mengeluh, pada akhirnya Lisa tetap masuk ke dalam mobil Jiyong. Tentu sembari mengeluh, "aku tidak memintamu mengantarku, tunggu aku kalau memang ingin mengantarku," gerutunya. "Mampir dulu ke minimarket, kita perlu sarapan," Lisa berkata kemudian, sembari memperhatikan wajahnya di cermin, memoles beberapa riasan di wajahnya.
"Tidak ada waktu," jawab Jiyong, yang langsung melaju, melewati beberapa minimarket.
"Augh! Oppa! Tidak perlu mengantarku kalau begini caranya, tidak ada yang memintamu mengantarku," keluh Lisa, yang kemudian marah karena Jiyong mengemudi terlalu cepat. Sangat cepat hingga Lisa kesulitan memasang riasannya. Terlebih di tengah hujan deras pagi ini.
Jiyong mendesah kesal, mengurangi kecepatan mobilnya lantas menggerutu, heran kenapa wanita selalu marah. Lisa mengabaikannya, tetap kesal, juga tetap sibuk dengan riasannya. Sampai mereka tiba di kantor tempat Lisa bekerja. Jiyong memarkir mobilnya tepat di depan pintu utama. Ia keluar lebih dulu kemudian mengambilkan payung untuk istrinya dari bagasi. Hanya ada satu payung di sana, Jiyong membuka payung itu kemudian membantu istrinya keluar.
"Ada apa di sana?" tanya Lisa, melihat keramaian tidak jauh dari tempatnya berdiri. Beberapa polisi dengan seragam dan jas hujan berdiri di depan gedung, beberapa wajah familiar pun ada di sana— petugas keamanan juga petugas kebersihan gedung.
"Seseorang jatuh dari atap, masuklah, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, belum tentu kenalanmu," jawab Jiyong, yang memberikan payungnya pada Lisa, menyuruh istrinya untuk segera masuk ke dalam gedung tempatnya bekerja sedang ia berlari kecil menerobos hujan, mendatangi kerumunan ramai tadi.
Lisa sedikit terkejut mendengarnya. Seseorang yang bekerja di gedung itu, jatuh dari atap. Seseorang yang mungkin Lisa kenali. Dari tempatnya berdiri, bisa ia lihat suaminya yang berlari dihampiri seorang petugas polisi. Petugas itu memayungi suaminya, sedang Jiyong menyapa rekan kerjanya yang lain dengan gerakan tangan sederhana.
Rasa penasaran membawa Lisa melangkah mendekat. Tidak ada seorang pun rekan kerjanya di dalam kerumunan itu. Sekarang masih terlalu pagi untuk datang ke kantor. Lisa pun tidak akan ada di sana kalau bukan karena suaminya yang sedang berulang tahun.
Daripada Lisa, tentu Jiyong yang pertama kali melihat korban dari kejadian itu. Sesaat setelah ia lihat tubuh korbannya, Jiyong menoleh, melihat Lisa menghampirinya. "Sebentar," katanya, menjeda sebentar penjelasan dari rekan kerjanya. Jiyong hampiri istrinya, membuat petugas yang memayunginya sedikit canggung karena gerakan serapangan itu.
Tidak peduli pada hujan yang mengguyurnya, Jiyong menghampiri Lisa. Menahan gadis itu agar tidak mendekat. "Jangan," tahan Jiyong.
"Siapa? Aku mengenalnya?" tanya Lisa, yang hanya bisa melihat genangan darah di tanah. Menggenang karena aspal tipis yang melapisi tanahnya tidak bisa menyerap air.
"Ya, kau mengenalnya," angguk Jiyong, yang kemudian menoleh pada Choi Seunghyun di belakang, membuat pria itu melangkah menghampirinya.
"Siapa?" Lisa kembali bertanya, namun alih-alih menjawabnya, Jiyong justru meminta Lisa memberikan kontak dari atasannya. "Siapa yang jatuh?" gadis itu mengulang kembali pertanyaannya setelah memberikan handphonenya. Kali ini Choi Seunghyun yang ia tanyai, sebab suaminya terus mengabaikannya, terus sibuk dengan urusan lainnya.
"Kau mau melihat untuk mengidentifikasinya? Kami belum menemukan identitas-"
"Aku tahu," Jiyong menahan Seunghyun. Melirik pada pria itu untuk tidak mengajak Lisa melihat korbannya. "Nanti kami akan menemuimu untuk beberapa pertanyaan, sekarang kau hanya perlu-"
"Aku perlu tahu siapa korbannya untuk menjawab pertanyaanmu, bukan begitu?" potong Lisa, jelas ia mulai takut, mulai khawatir pada korban yang jatuh kehujanan, kedinginan di tengah-tengah kerumunan orang.
"Jung Jaehyun."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Why Do Women Get Angry?
Fanfiction"Baik, aku mau bercerai. Tapi sebelum itu, carikan seseorang untukku," katanya, menatap serius pria di hadapannya. "Siapa?" suaminya bertanya, berharap wanita di depannya bisa segera menandatangani surat cerai mereka. "Cinta pertamaku." . . . . . ...