***
Rencanannya untuk mengubah kisah cintanya menjadi romance comedy, berubah jadi kekacauan. Chaos. Kini, ia hanya bisa meringkuk di sebelah sofa, duduk memeluk lututnya sendiri karena pria yang ada di ranjang sedang memegangi pistolnya. Sebuah pistol mirip punya Jiyong, yang entah ia dapatkan dari mana. Lisa tahu hanya ada enam lubang peluru di sana, dan salah satu selongsongnya dibiarkan kosong, sama seperti milik suaminya.
"Tembakan selanjutnya peluru sungguhan! Kau tahu itu kan?!" Ten berteriak, membuat Lisa semakin menekan telinganya, membuat orang-orang di luar berhenti berteriak.
"Apa yang kau inginkan bajingan sialan?! Lepaskan Lisa sekarang!" Jiyong balas membentak dari luar, ia membuka pintu itu, namun kunci dengan rantai di baliknya masih terpasang. Hanya tangannya yang bisa masuk. Namun tangan itu pun tidak bisa membuka kunci rantainya. Pintu harus lebih dulu di tutup rapat untuk bisa membuka rantai kunci itu.
"Adik kelasku yang jatuh dari atap... buka lagi kasusnya," jawab Ten, menoleh ke arah pintu, memperhatikan Jiyong yang berusaha masuk, berusaha mengintip. "Satu langkah saja kau masuk ke sini, akan aku lubangi kepala istrimu, Detektif Kwon," susulnya, mengancam Jiyong yang akhirnya berhenti mendorong pintu itu.
Suara Ten berubah-ubah, begitu yang Lisa perhatikan. Ia terdengar begitu dingin ketika mengancam Jiyong, namun saat tengah mengutarakan keinginannya, suaranya melemah. "Adik kelas kami yang jatuh dari atap, cari lagi pembunuhnya," pinta Ten. "Buka lagi kasusnya, akan aku kembalikan istrimu kalau kau membuka lagi kasusnya. Waktumu hanya sampai besok pagi untuk membuka kembali kasusnya. Kau harus cepat pergi Detektif Kwon, waktumu tidak banyak," Ten berkata, kali ini sembari membaringkan tubuhnya ke ranjang, memainkan pistol di tangannya, berbisik kalau ia tidak pernah menyentuh pistol sungguhan sebelumnya.
Beberapa waktu selanjutnya, suara Jiyong tidak lagi terdengar. Di luar masih sangat ramai, orang-orang berjaga, mencari celah agar mereka bisa menyelamatkan Lisa. Suara rekan-rekan kerja Jiyong pun sempat terdengar, namun itu hanya sebentar. Sebelum satu persatu dari mereka pergi untuk mendapatkan petunjuk. Di tengah riuhnya orang-orang sibuk diluar, Lisa bertanya pada Ten, apa alasan dari semua kekacauan ini. Bertanya apa Ten sudah lama merencanakan aksi teror ini, apa pria itu sudah lama memata-matainya.
"Awalnya aku pikir suamimu menggagalkan semuanya," Ten berkata, di dalam ruangan yang kini serba tertutup. Baik pintu maupun tirai jendelanya, semua sudah tertutup meski suara riuh diluar masih terdengar. "Seorang Detektif dari Ibukota datang dan mengambil alih kasus di Pilos, bukankah itu tidak biasa? Aku tidak merencanakan ini sebelumnya. Rencanaku hanya membunuh Detektif Park, lalu mengancam detektif yang mengerjakan kasusnya. Aku sudah menyiapkan sebuah ruangan untuk menculik anak detektif itu. Tapi orang yang datang ke lokasi justru suamimu, bukan detektif yang sudah aku incar," Ten bercerita, seolah apa yang dilakukannya adalah hal yang pantas dibanggakan.
"Aku hampir putus asa tadi. Tapi tiba-tiba kau muncul di lokasi. Ah... Itu temanku, lama sekali tidak berjumpa dengannya. Aku ingin menyapamu di sana, tapi kau sudah lebih dulu masuk ke dalam mobil Detektif itu. Jadi aku mengikutimu. Mungkin kau juga detektif, mungkin aku bisa bicara denganmu dan memintamu membantuku. Tapi makin lama aku mengikutimu, perkiraanku ternyata salah. Aku terkejut saat tahu kalian ternyata suami istri. Semua yang kalian lakukan hari ini, pertengkaran kalian, aku melihat semuanya," oceh Ten.
"Kenapa kau melakukannya?"
"Apa?" Ten bergerak, pindah untuk duduk di lantai, bersandar pada ranjang, sejajar dengan Lisa yang setengah bersembunyi di sebelah sofa.
"Membunuh orang," kata Lisa gemetar. "Ten yang aku kenal tidak mungkin melakukannya, Ten yang aku kenal bahkan tidak bisa membunuh serangga," susulnya.
"Uhm... Sebelum aku menjawab yang satu itu," pria itu memandangi Lisa, mengamatinya dengan pandangan yang jauh berbeda dari sebelumnya. Tatapannya kini sendu, seolah ada banyak luka dalam dirinya. "Kenapa kau pergi waktu itu? Di hari kelulusan? Aku bisa mengerti kalau kau memilih pulang karena terkejut. Tapi setelah beberapa hari, kenapa kau tidak kembali? Kenapa kau memutus hubungan dengan semua orang dan melarikan diri?" tanya Ten, memenuhi dada Lisa dengan banyak rasa sesak. "Aku tidak menyalahkanmu, aku hanya bertanya," susulnya.
"Aku tidak bisa melupakannya, kejadian itu," jawab Lisa akhirnya, setelah lama ia diam, setelah lama Ten memberinya waktu untuk menjawab pertanyaannya. "Saat gadis itu perlahan-lahan jatuh, melayang di udara lalu tubuhnya menyentuh tanah, aku tidak bisa melupakannya. Setiap hari, aku mengulang kejadian itu di dalam kepalaku. Rasanya seperti hampir gila," katanya dan Ten mengangguk, mengatakan kalau dirinya pun merasakan hal yang sama. Bedanya, Lisa mendapat banyak bantuan dari orang-orang di sekitarnya, orangtuanya mengajaknya menemui profesional, Lisa benar-benar dibantu untuk melupakan kejadian itu, sedang Ten tidak begitu. Tidak seorang pun mengulurkan tangan padanya, membuatnya terus terjebak pada hari kelulusannya.
"Lisa-ya, apa kau ingat di hari kelulusan itu aku ingin menyatakan perasaanku pada gadis yang aku suka? Apa kau ingat aku memberitahumu tentang itu?" Ten bertanya, sebuah pertanyaan acak yang tidak Lisa duga.
Ya, Lisa mengingatnya. Karena hari itu, ia pikir Ten akan menyatakan perasaan padanya. Ia luar biasa bersemangat di pagi harinya, tidak sabar untuk menerima pernyataan cinta yang Ten bicarakan satu hari sebelumnya.
"Anak yang jatuh dari atap itu... Orang yang aku suka," susul Ten, setelah melihat Lisa menganggukan kepalanya. "Namanya Karina, siswa baru, kelas sebelas D, rumahnya berada tepat di sebelah rumahku. Kau mungkin tidak tahu karena tidak pernah berkunjung ke rumahku. Saat dia datang untuk pertama kalinya, dia datang ke rumahku, mengantarkan kue. Dia baru saja pindah ke rumah sebelah, bersama ibunya setelah ayahnya meninggal. Aku menyukainya, sejak saat itu."
"Aku tidak tahu semua itu," gumam Lisa, dengan perasaan yang campur aduk. Tidak tepat rasanya kalau ia sakit hati sekarang, namun itulah yang muncul pertama kali. Rasa sakit hati bercampur malu karena ia pikir cinta pertamanya berbalas. Karena dikiranya, Ten pun menyukainya, ketika itu.
"Aku malu menceritakannya, ketika itu," Ten membuat alasan. "Karina pindah sekolah setelah dirundung. Karena ia kehilangan ayahnya dan ibunya bekerja di bar. Dia tidak memberitahuku, ibunya yang bilang begitu. Ibunya memintaku menjaganya di sekolah."
"Lalu, kenapa kau tidak mengenalkannya padaku? Kalau kalian ternyata sedekat itu?"
"Dekat? Tidak, kami tidak dekat. Aku hanya bicara dengan ibunya beberapa kali. Karina tidak ingin bicara denganku di sekolah. Kau sudah bergaul dengan anak-anak populer, kau sudah punya banyak teman, kau tidak membutuhkanku untuk jadi temanmu di sekolah. Aku tidak ingin berteman denganmu, aku tidak ingin terlihat di sana. Dimana pun akan sama saja, mereka yang tahu siapa ibuku akan merundungku. Karena itu, biarkan aku hanya jadi bayang-bayang di sekolah. Aku hanya perlu ijazah sekolahku, aku tidak butuh teman apalagi kekasih. Begitu katanya, ketika aku menawarinya untuk pergi ke sekolah bersamaku. Dia terus menolak ajakanku, bahkan tidak sudi memberikan nomor teleponnya padaku. Aku hanya bisa memperhatikannya dari jauh," cerita Ten.
"Apa disekolah, dia dirundung?" tanya Lisa, seketika ingat permintaan Ten pada suaminya tadi.
"Tidak," geleng Ten. "Kau tidak perlu tahu alasan permintaanku pada suamimu tadi. Alasannya sama sekali tidak berhubungan denganmu," katanya lembut. Seolah ia tidak ingin Lisa mengetahui banyak hal, kemudian terluka karenanya.
"Kalau semua ini tidak ada hubungannya denganku, lalu kenapa kau melakukan ini padaku? Kenapa kau muncul dan membuatku takut seperti ini?"
"Sudah aku bilang, kau bukan orang yang seharusnya berada di posisi ini. Kau adalah plan B yang bahkan tidak aku pikirkan sebelumnya," jawab Ten. "Kau hanya kebetulan berada di waktu dan tempat yang salah," tambahnya. "Tapi Lisa... Kenapa kau menikah dengan seorang polisi kalau kau tidak menyukainya? Kalian dijodohkan? Atau kau tidak tahu kalau dia seorang polisi sebelumnya? Penipuan?" Ten balas bertanya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Why Do Women Get Angry?
Fanfiction"Baik, aku mau bercerai. Tapi sebelum itu, carikan seseorang untukku," katanya, menatap serius pria di hadapannya. "Siapa?" suaminya bertanya, berharap wanita di depannya bisa segera menandatangani surat cerai mereka. "Cinta pertamaku." . . . . . ...