***
Jiyong terbangun karena mendengar suara gaduh bercampur erangan Lisa di belakangnya. Pria itu kemudian menoleh, melihat Lisa tengah berusaha mendorong ranjangnya agar lebih dekat dengan ranjang suaminya. Setelah memindahkan nakas kecil di antara dua ranjang itu, Lisa mendorong ranjangnya dan kesibukannya itu membangunkan Jiyong.
"Apa yang sedang kau lakukan? Sudah jam berapa ini?" heran Jiyong, dengan tingkah aneh istri itu.
"Bantu aku," pinta Lisa, sembari memasang wajah sedihnya. Ia sudah setengah jalan. Hanya butuh beberapa dorongan lagi, ranjangnya bisa menyentuh ranjang Jiyong.
"Hentikan," kata Jiyong, dengan nada tegasnya. "Apa kau tidak tahu kalau aku lelah?"
"Aku hanya-"
"Apapun itu, hentikan, aku lelah," potong Jiyong. Terdengar tegas meski ia tidak menaikan nada bicaranya.
"Maaf," gumam Lisa, yang sempat tertunduk namun langsung menghela nafasnya setelah melihat Jiyong berbalik seolah tidak peduli.
Merasa kalau Jiyong mengacuhkannya, kalau pria itu tidak terlihat peduli lagi padanya, Lisa memutuskan untuk keluar dari kamar hotel itu. Tanpa berpamitan, gadis itu melangkah pergi. Keluar, meninggalkan Jiyong sendirian. Pria itu jelas tahu istrinya pergi, namun tidak ia mengejarnya. Ia biarkan Lisa pergi, sekedar menenangkan dirinya.
Lalu, sembari menatap langit-langit kamar hotel itu, Kwon Jiyong mendengus, mencoba untuk kembali tidur meskipun sulit. Ia memejamkan matanya, namun tidak bisa benar-benar terlelap sampai di dengarnya pintu kamar hotelnya kembali terbuka. Matanya masih terpejam, mendengarkan langkah seseorang masuk ke dalam kamar itu tanpa menutup pintunya. Tidak terdengar suara pintu yang kembali ditutup setelah terbuka.
Melalui pendengarannya, Jiyong bayangkan kalau orang yang melangkah masuk tadi sedang sedikit gelisah. Langkahnya pendek, seolah diseret, terburu-buru dan kedengaran ragu. Langkah itu mendekat, lalu menjauh, mendekat lagi dan menjauh lagi, seolah takut untuk mendekatinya. Ikut resah setelah mendengar langkah-langkah kaki itu, Jiyong lantas membuka matanya, menoleh untuk melihat siapa pelakunya, yang sudah pasti istrinya.
"Ada apa lagi denganmu?" tegur Jiyong, yang meski tidak bermaksud untuk marah, nada ketusnya tetap membuat Lisa terlonjak, sedikit terkejut dan jadi semakin gugup. Suaminya memang bisa jadi sangat mengintimidasi, meski biasanya tidak begitu. Hampir tidak pernah Lisa diperlakukan begitu, meski sudah beberapa kali ia melihat suaminya mengintimidasi orang lain.
"Aku rasa ada yang tidak beres di kamar sebelah," gadis itu berucap, menunjuk dinding di sebelah kanannya, dinding yang membatasi kamar mereka dengan kamar lain.
Jiyong tidak mendengar apapun dari kamar sebelah. Meski bukan hotel bintang lima, kamar mereka terbilang mahal. Tiap ruangnya di dekorasi dengan cantik, pemandangannya pun cantik saat ada matahari, ditambah dengan beberapa fasilitas juga kamar-kamar yang kedap suara.
"Saat aku keluar dari lift, pintu kamar sebelah terbuka. Seorang gadis akan keluar dari sana tapi ada orang lain yang menariknya masuk," cerita Lisa. "Gadis itu minta tolong," susulnya, sedang Jiyong masih mendengarkannya. "Aku tidak berbohong. Meski sangat ingin diperhatikan, aku tidak akan membuat kebohongan seperti ini," tegas gadis itu, membuat Jiyong akhirnya bangun.
Pria itu kembali memakai sepatunya, meraih jaketnya kemudian melangkah ke pintu. "Tetap di sini," Jiyong memerintah, sebelum ia keluar dari kamar itu dan menutup pintunya.
Lisa ingin melihat apa yang terjadi. Gadis itu membuka sedikit pintu kamar mereka, hendak mengintip. Jelas Jiyong menyadarinya. Ia menoleh pada Lisa, menatap mata gadis itu kemudian dengan perasaan terintimidasi, Lisa tutup kembali pintu kamarnya. Satu-satunya yang bisa Lisa lakukan hanya mengintip lewat kaca bulat kecil di tengah pintunya.
Tidak banyak yang bisa ia lihat. Hanya bahu suaminya yang sedang menekan bel kamar sebelah yang terlihat olehnya. Satu kali bel dibunyikan, namun tidak ada jawaban. Pintu baru terbuka setelah Jiyong menekan bel untuk yang kedua kalinya.
"Siapa kau? Apa maumu?" seorang pria yang membukakan pintu kamar sebelah bertanya pada Jiyong. Hanya sedikit pintu yang terbuka. Jiyong hanya bisa melihat separuh wajah pria itu sampai mata mereka bertemu. "Detektif Kwon?" susul pria itu, terlihat terkejut sekaligus panik.
Di saat bersamaan, pintu lift terbuka dan ada empat pria berseragam melangkah keluar dari lift itu. Sebentar Jiyong memperhatikan mereka. Pria yang menginap di sebelahnya, langsung menutup pintu ketika merasa Jiyong mulai lengah. Sayangnya pria itu memilih gerakan yang salah. Begitu pintu tertutup, Jiyong bertanya pada segerombol anak sekolah yang datang, "kalian akan masuk ke sini?" tanyanya, yang justru dicibir oleh anak-anak berandal itu.
Tidak seorang pun dari keempat anak sekolah itu kalau Jiyong bekerja di kantor polisi, mereka mencibir mengatakan pada Jiyong untuk segera pergi. Menyuruh Jiyong agar menjauh jika tidak ingin babak belur. Seorang dari gerombolan itu membuka pintu kamar di depan mereka dengan sebuah kartu akses dari sakunya. Seorang lainnya melangkah masuk, berteriak kepada pria di dalam sana seolah tengah menangkap seorang cabul. "Pak tua sialan! Berani sekali kau menyentuh adikku?!" seru salah satu dari empat pria tadi.
Dari pintu yang ia tahan agar tetap terbuka, Jiyong menonton. Melihat bagaimana anak-anak nakal di dalam kamar hotel itu menipu klien mereka. "Ini bukan pertama kalinya, bagaimana bisa kau terus tertipu dengan modus yang sama?" heran Jiyong, yang belum melakukan apapun selain melihat kenalannya dipukuli, dompetnya dijarah dan gadis berseragam yang Lisa lihat tadi tengah memakai kembali kemejanya.
"Detektif Kwon tolong- ya! Augh!" pria empat puluh tahunan yang dipukuli itu mencoba membela dirinya, namun tiga remaja memukulinya, menendangnya sekaligus, bisa apa dia? Selain berusaha melindungi kepalanya sendiri.
"Augh... Pria cabul bodoh," cibir Jiyong, yang selanjutnya mengeluarkan handphonenya untuk menelepon polisi setempat. Anak-anak itu tidak menyadarinya, ketika Jiyong dipanggil detektif oleh korban mereka. Namun disaat Jiyong menelepon polisi, si gadis yang sedang buru-buru memakai kemejanya lantas menunjuk Jiyong. Mengatakan kalau Jiyong menelepon polisi.
Selanjutnya Jiyong yang menjadi sasaran keempat remaja itu. Jiyong akan dipukul, sebab ia menganggu pekerjaan mereka. Anak-anak itu menyebutnya pengadu berengsek, seolah dunia berada dalam genggaman mereka, seolah mereka adalah yang terkuat di muka bumi, mereka meremehkan Jiyong. Apapun kesalahannya, mereka akan dimaafkan, sebab mereka masih dibawah umur. Tidak ada satupun hal yang mereka takutkan sampai Jiyong yang kebetulan sedari tadi kesal punya alasan untuk melawan.
Jiyong dipukul tepat di pipinya. Dipukulan pertamanya, ia masih memperingatkan anak-anak itu untuk berhenti. Dipukulan kedua pun sama, namun setelah pukulan keempat, Jiyong berkata kalau apa yang selanjutnya ia lakukan adalah pembelaan diri. Anak-anak itu dihajar, kecuali seorang anak perempuan yang masih duduk di ranjang. Keenam orang yang Jiyong temui di kamar sebelah, lantas ia buat berlutut di lantai dengan tangan terkepal yang diangkat ke atas kepala mereka.
Baru setelah sepuluh menit tangan orang-orang itu gemetar, polisi setempat datang bersama staff hotel. Mereka masuk ke dalam kamar yang terkunci, juga berantakan karena perkelahian. Mereka yang baru saja datang, tentu terkejut melihat kekacauan itu, lantas Jiyong menunjukan kartu pegawainya, yang dahulu selalu ia kalungkan namun sekarang tersembunyi di dalam saku jaketnya.
"Prostitusi dibawah umur," Jiyong menunjuk orang-orang di depannya, yang masih mengangkat tangan mereka di atas kepala.
Sebentar, Jiyong dimintai keterangan. Sampai beberapa menit selanjutnya ia bisa kembali ke kamarnya dan kali ini dua ranjang di dalam kamarnya sudah menempel. Entah bagaimana, tapi istrinya berhasil mendorong ranjang-ranjang itu, dan gadis itu pun sudah berbaring di ranjang, menutupi tubuhnya dengan selimut bersama mata yang terpejam rapat-rapat. Berpura-pura tidur meski keringat masih ada di pelipisnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Why Do Women Get Angry?
Фанфик"Baik, aku mau bercerai. Tapi sebelum itu, carikan seseorang untukku," katanya, menatap serius pria di hadapannya. "Siapa?" suaminya bertanya, berharap wanita di depannya bisa segera menandatangani surat cerai mereka. "Cinta pertamaku." . . . . . ...