6

508 83 5
                                    

***

Saat pagi datang, Lisa bangun seperti biasanya. Ia mematikan alarm dari handphone di sebelahnya, lantas menoleh dan melihat Jiyong ada di sebelahnya. Pria itu masih terlelap, memunggunginya. Lisa tidak tahu kapan Jiyong masuk, kapan pria itu ikut tidur di sebelahnya. Sebab, ketika ia pergi tidur, suaminya itu masih berada di ruang baca, masih membaca berkas-berkas kasusnya.

Perlahan Lisa memeluk suaminya, membuat pria itu berbalik lantas balas memeluknya. Namun ketika bahu kanannya berada di bawah, pria itu mengerang. Mengeluhkan nyeri di bahunya kemudian kembali merubah posisinya menghadap ke arah sebaliknya. Membebaskan bahu kanannya dari berat tubuhnya.

"Kenapa?" Lisa bertanya, bergerak bangun untuk duduk di belakang punggung Jiyong. "Ada apa denganmu? Apa yang sakit, oppa?" gadis itu kembali bertanya, namun Jiyong hanya menyentuh bahunya. Memberitahu Lisa kalau bahunya yang nyeri, tanpa mengatakan apapun. Ia masih terlalu mengantuk, terlalu lelah untuk bangun sekarang.

Lisa menarik kerah kaus Jiyong, hendak melihat bahu pria itu yang ternyata memar. Tentu gadis itu bertanya bagaimana Jiyong bisa mendapatkan memar itu. Lisa bertanya apakah suaminya itu berkelahi dengan seseorang atau terlibat kecelakaan lain. Sayangnya, Jiyong tidak menjawab. Pria itu hanya mengeluh, mengatakan kalau ia masih sangat mengantuk dan ingin tetap tidur.

"Kenapa tidak bilang kalau oppa sakit?" gerutu Lisa, yang kemudian turun dari ranjang untuk pergi keluar dari kamar mereka. Gadis itu pergi ke lemari es, mencari apapun yang bisa dibuat jadi sarapan. Ia buat cream soup dengan bubuk instan yang dibelinya dari supermarket lantas bergegas membawanya ke kamar setelah matang.

Pelan-pelan ia bangunkan lagi suaminya, menyuruh Jiyong bangun dan menelan air mineral pemberiannya. Air mineral dingin yang ia dapatkan dari lemari es. Setelah berhasil membuat Jiyong duduk di ranjang, Lisa minta pria itu untuk menghabiskan semangkuk supnya. Membuat Jiyong harus sarapan di ranjang sementara gadis itu pergi mandi. "Habiskan supnya, jangan tidur lagi, kita akan pergi sebentar lagi," pesan Lisa, sebelum ia menghilang di balik pintu kamar mandi.

Lisa memberitahu atasannya kalau ia akan terlambat hari ini. Lewat beberapa pesan singkat, gadis itu mengabari kalau ia harus pergi ke rumah sakit untuk mengantar suaminya. Sedang Jiyong yang memang berencana memeriksakan bahunya hari ini hanya duduk tenang di sebelah kursi supir. Lisa yang mengemudi, dan baru pagi ini gadis itu sadar kalau tidak ada mobil Jiyong di rumah mereka.

Karena bertengkar kemarin, Lisa belum bertanya tentang mobil mereka yang biasanya Jiyong pakai. "Harusnya oppa memberitahuku kemarin," gadis itu kembali marah, setelah tahu kalau Jiyong terlibat kecelakaan saat tengah mengejar penjahat. "Kau harusnya segera pergi ke rumah sakit dan meneleponku. Kenapa oppa justru kembali ke kantor polisi? Kenapa tidak memeriksakan lukamu? Bagaimana kalau bahumu patah? Bagaimana kalau itu cidera parah?" ocehnya, sembari mengemudikan mobil sewaan itu menuju rumah sakit terdekat.

Jiyong tidak punya alasan. Apapun yang keluar dari mulutnya, hanya akan membuat Lisa semakin kesal. Kali ini Jiyong memaklumi omelan istrinya itu. Bahkan sebelum mereka memutuskan untuk menikah, Lisa selalu kesal setiap kali Jiyong terluka.

"Hanya cidera ringan," kata Jiyong kemudian, menangkan istrinya yang mulai mengkhawatirkan masalah-masalah besar.

"Ringan? Apa hidupmu ringan? Oppa tidak ingat apa yang terjadi pada saat luka ringan di lenganmu ternyata infeksi? Kau benar-benar ingin tanganmu diamputasi?" cerca wanita itu.

Ia ingat betul ketika kekasihnya demam dan pucat karena luka sayat di lengan kirinya ternyata infeksi karena tidak diobati dengan benar. Jiyong tersayat pisau ketika berkelahi dengan seorang perampok, namun pria itu mengabaikan lukanya dan memilih untuk terus bekerja. Luka itu hanya dibalut asal-asalan dengan perban dari kotak obat di kantor. Jiyong bahkan tidak meminta tolong temannya untuk membalut luka itu. Ia melakukannya sendiri karena setelah membalut lukanya pria itu sibuk menonton kamera CCTV, mencari perampok yang kabur setelah melukai lengannya.

Tiga hari setelahnya, luka itu tidak kunjung sembuh dan Jiyong justru demam karenanya. Karena luka yang tidak diperhatikan itu ternyata mengalami infeksi. Untungnya infeksinya tidak seberapa parah. Lisa sudah lebih dulu menyeret Jiyong ke rumah sakit sebelum tangan pria itu putus karena luka yang tidak kunjung sembuh.

"Kalau ingin kehilangan tanganmu, bilang saja, akan aku potong sendiri tanganmu," gerutu Lisa, yang terus mengomel di sepanjang perjalanan ke rumah sakit.

"Hati-hati, kita bisa mati karena kecelakaan sebelum kau sempat memotong tanganku," komentar Jiyong, yang justru memperhatikan cara istrinya menyetir. Gadis itu bisa menyetir namun kemampuannya benar-benar payah. Itu alasan ia tidak membelikan istrinya mobil, meski uang dalam rekeningnya cukup untuk membeli sebuah mobil SUV baru.

Tiba di rumah sakit, jelas mereka harus menunggu. Keadaan Jiyong tidak cukup darurat untuk bisa dilayani di UGD, kecuali kalau ia datang ke rumah sakit dua hari lalu, tepat setelah kecelakaan itu terjadi. Lisa sudah berhenti mengomel ketika mereka duduk di ruang tunggu. Keduanya duduk bersebelahan, dengan Lisa yang sibuk pada layar handphonenya. Ia membuka aplikasi belanja karena perlu membeli beberapa makanan sehat untuk pasien di sebelahnya.

"Hari ini jangan pulang terlambat," kata Lisa. "Oppa sedang sakit, jangan pulang terlambat," ulangnya.

"Hm-"

"Sungguh, aku serius. Jangan pulang terlambat hari ini," tegas Lisa dan Jiyong menganggukan kepalanya. "Plain atau strawberry?" gadis itu kemudian bertanya.

"Apa?"

"Yoghurt."

"Blueberry."

"Itu tidak ada di pilihan tapi baiklah. Apa yang ingin oppa makan nanti malam? Beef steak atau salmon?"

"Apapun, terserah," balas Jiyong, yang hampir tidak pernah menyisakan masakan buatan istrinya meski istrinya itu tidak terlalu hebat dalam memasak. Masakan Lisa tidak seenak buatan restoran, sesekali rasanya hambar, potongan dari bahan-bahannya pun sering kali kurang presisi, terlalu besar atau terlalu kecil. Namun selama ini Jiyong tetap memakannya. Meski tidak sangat enak, makanan itu tetap layak untuk dimakan.

"Nanti sore ada yang akan mengantarkan bahan makanan ke rumah, terima paketnya kalau oppa sampai di rumah lebih dulu, aku sudah membayarnya," kata Lisa, yang akhirnya selesai dengan semua belanjaannya. "Siang nanti jangan hanya makan mie instan, pergilah ke restoran atau pesan-" belum sempat gadis itu menyelesaikan perintah-perintahnya, seorang perawat sudah lebih dulu memanggil Jiyong. Mengajak pria itu untuk segera diperiksa.

Setelah diperiksa, Jiyong mengalami patah tulang ringan di bahunya. Ada sedikit keretakan di tulang bahunya namun itu tidak berbahaya. Tidak perlu operasi, pria itu hanya perlu dipakaikan sling untuk menjaga bahunya agar tidak banyak bergerak. Jiyong juga diberi beberapa obat termasuk vitamin dan pereda nyeri.

Lepas memeriksakan bahu suaminya, Lisa mengantar Jiyong ke kantor polisi. Gadis itu berencana untuk membawa mobil Jiyong pergi kantornya, namun Jiyong melarangnya. Tidak ia biarkan istrinya berkendara sendirian.

"Naik taksi atau akan aku minta seseorang mengantarmu," kata pria itu, bersikeras mengambil kunci mobil sewaan itu dari istrinya.

"Oppa, aku bisa menyetir sendiri ke kantor, aku punya lisensi," gadis itu enggan mengalah, namun tatapan Jiyong, yang terkesan keji dan malas— karena enggan bertengkar di tempat parkir— membuat Lisa dengan berat hati mengembalikan kunci mobil itu.

"Naik taksi saja," atur pria itu, yang kini melangkah ke trotoar untuk menghentikan sebuah taksi yang lewat. Meski sering dimarahi, Jiyong tidak pernah kehilangan pesonanya, ketegasan yang akan membuat Lisa kembali menutup mulutnya lalu menuruti semua perintahnya.

***

Why Do Women Get Angry?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang