***
Sementara Lisa tetap duduk, Jiyong membaringkan tubuhnya di ranjang rumah sakit itu. Rambutnya diusap, kemudian ia menyentuh tangan itu, menekannya agar tetap berada di dahinya, tidak lagi bergerak mengusapinya. Sebentar matanya terpejam, namun kembali terbuka ketika istrinya bicara.
"Aku hampir saja cemburu," kata Lisa. "Bagaimana caranya bersaing dengan Agatha Christie? Aku tidak mungkin menang," susulnya.
"Siapa yang menyuruhmu bersaing dengannya?" balas Jiyong, yang kemudian mengeluh. Mengatakan kalau ia ingin mandi, namun semua pakaian dan barang-barang mereka masih ada di penginapan. Saat Lisa pingsan dan dibawa ke rumah sakit, Jiyong sama sekali tidak berfikir untuk membawa juga barang-barang mereka. Dalam urusan begitu, wanita memang lebih perhatian, lebih teliti. Jiyong tidak ingat apapun selain membawa istrinya ke rumah sakit pagi tadi.
"Lalu dengan siapa aku harus bersaing? Sepupumu yang meminjamkan novel itu padamu? Tapi oppa... Kau tidak terlihat seperti seseorang yang suka membaca," kata Lisa, cemberut karena bukan dia alasan Jiyong menjadi seorang polisi. Meski logikanya pun tahu, ia tidak akan pernah menjadi alasan itu kecuali mereka dilahirkan kembali. "Sejujurnya, aku tidak suka polisi. Tidak... bahkan, sampai aku pertama kali melihat oppa di minimarket, aku benci polisi," akunya.
"Kenapa?" Jiyong bertanya, dan mereka bertukar tatap. "Aku tidak mendengar itu sebelumnya," susulnya, sebab Lisa memang tidak pernah menyinggungnya, sama sekali.
"Aku pun baru menyadarinya, ketika bicara dengan Ten semalam," jawab Lisa tanpa melepaskan pandangannya dari wajah pria yang ia nikahi. "Aku tidak pernah bertemu langsung dengan seorang polisi, tapi aku yakin tidak menyukainya, polisi manapun. Awalnya aku mendengar ayahku bertengkar dengan seorang polisi, dan polisi itu sangat kasar. Aku tidak ingat alasan mereka bertengkar tapi itu kesan pertama yang buruk. Lalu setelah itu, aku melihat banyak kasus polisi jahat. Ada yang korupsi, asal tangkap, arogan, lalu di kampus, aku kenal beberapa calon polisi yang... Ewh... Dia pikir dia bisa mendapatkan semua perempuan kalau dia jadi polisi? Menggelikan. Satu dari mereka pernah mendekatiku, aku menanggapinya karena aku pikir dia normal-"
"Itu bukan aku kan?" potong Jiyong dan Lisa menggelengkan kepalanya, terkekeh mengatakan kalau kejadiannya sekitar satu tahun sebelum ia bertemu suaminya.
"Dia bekerja di kantor polisi distrik dekat rumahku, dia mengajakku makan malam, lalu datang ke rumahku, menjemputku dengan mobil polisinya. Mobil putih dengan garis biru yang punya sirine di atasnya. Aku merasa seperti penjahat waktu itu."
"Whoa," Jiyong berseru, ia bergerak duduk untuk mendengarkan cerita itu lebih serius. Ceritanya menarik—pikir Jiyong, jika dibanding dengan omelan Lisa setiap harinya. "Dia menyalakan sirenenya?" tanya Jiyong dan Lisa mengangguk.
"Hanya lampunya, tapi itu saja sudah sangat menganggu."
"Lalu? Kau pergi bersamanya?"
"Tentu saja tidak," Lisa cepat-cepat menggelengkan kepalanya. "Aku tidak keluar rumah, aku meneleponnya dan mengatakan kalau aku diare. Aku pura-pura diare," ceritanya.
"Dia percaya?"
"Tidak," jawab Lisa. "Dia ingin masuk dan memeriksa keadaanku, tapi ada ayahku di rumah. Aku minta ayahku untuk keluar dan membohonginya. Karena ayahku yang keluar, dia pergi. Lalu mungkin dua hari setelahnya, dia memakiku. Katanya aku akan menyesal karena menolaknya. Aku diteriaki saat lewat di depan pos jaganya."
"Lalu apa yang kau lakukan?"
"Mengibaskan rambutku, apa lagi? Tidak mungkin aku balas berteriak dan berkelahi dengannya. Aku pasti kalah," gadis itu kemudian mengibaskan rambutnya, memperagakan ceritanya dan sekali lagi membuat suaminya terkekeh geli. "Pokoknya, sejak saat itu aku tidak suka dengan polisi. Aku membenci mereka. Meskipun dia kelihatan normal, kalau dia polisi, aku tidak mau. Tapi aku justru bertemu denganmu, dan oppa kelihatan baik. Kelihatan tampan meski lusuh. Dan yang paling penting, kau tidak datang dengan mobil polisi saat mengunjungi rumahku. Ah! Oppa juga tidak membanggakan pekerjaanmu atau mengeluhkan pekerjaanmu di depanku yang saat itu pengangguran, itu point plusnya. Ayahku menyukaimu di pandangan pertama, karena oppa meminta izinnya saat akan mengajakku makan malam. Itu point plus juga. Ibuku juga langsung menyukaimu karena cerita karanganmu, point plus lagi."
"Cerita apa yang aku karang?"
"Saat pertama kali datang ke rumahku, oppa membawa buket untuk ibuku. Oppa bilang—aku memberitahu ibuku kalau akan mengajak seorang wanita makan malam, dia bilang jangan datang dengan tangan kosong, jadi aku membawakanmu bunga—dan ibuku benar-benar percaya."
"Aku tidak mengarangnya," geleng Jiyong. "Aku pulang ke rumah setelah beberapa bulan tidak datang, tentu saja ibuku menyuruhku makan malam sebelum pergi dan aku bilang kalau aku punya janji makan malam lain. Lalu dia membelikanku bunga di depan rumahku. Kau tahu kan? Toko bunga di depan rumahku? Ibuku membeli bunganya di sana dan menyuruhku memberikannya padamu. Meski akhirnya ku berikan pada ibumu karena dia terus melihatnya," ceritanya dan Lisa mengerutkan dahinya, menatap mata Jiyong, menyelidik. Berharap Jiyong berbohong, tapi sayangnya tidak. Pria itu tidak berbohong. "Lalu, berapa pointku sekarang?" pria itu bertanya, menghentikan penyelidikan Lisa.
"Tentu saja minus. Pointmu minus sekarang," kata Lisa. "Tapi pointku juga pasti minus," susulnya agar Jiyong tidak sempat salah paham. "Aku merasa, akhir-akhir ini kita seperti berada dalam perang. But it's a losing war for both of us. Aku kelelahan, aku kesakitan, aku ingin mengakhirinya, tapi tidak tahu bagaimana caranya... Cara yang tidak terlalu menyakitkan," ungkapnya, yang disusul kesunyian singkat.
Jiyong kemudian mengulurkan tangannya, ia peluk bahu Lisa dengan begitu lembut. Dalam kesunyian itu, Lisa membalas pelukan suaminya. Ia pejamkan matanya dan mulai merasakan detak jantung satu sama lain. Rambutnya dibelai, diusap sampai ke punggung.
"Kalau begitu, ayo berhenti saja," Jiyong berbisik lembut.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Why Do Women Get Angry?
Fanfiction"Baik, aku mau bercerai. Tapi sebelum itu, carikan seseorang untukku," katanya, menatap serius pria di hadapannya. "Siapa?" suaminya bertanya, berharap wanita di depannya bisa segera menandatangani surat cerai mereka. "Cinta pertamaku." . . . . . ...