***
Musim semi, ketika itu. Hujan sedang turun, tidak seberapa deras namun Jiyong butuh payung. Ia berlari ke minimarket, meraih satu-satunya payung yang ada di sana. Bersamaan dengannya, seorang wanita juga akan mengambil payung itu. Sebentar mereka bertukar tatap, wanita itu mengenakan pakaian formalnya, kemeja putih dengan setelan hitam, khas seorang yang akan melamar pekerjaan.
"Anda bisa mengambilnya," gadis itu berkata sebab melihat tanda pengenal yang Jiyong kalungkan di lehernya. Ada lambang kepolisian di sana, karenanya gadis itu mengalah.
Jiyong berterima kasih, lantas membayar payung itu dan berlari pergi tanpa memakai payungnya. Pria itu berlari ke halte, memberikan payung yang baru saja ia beli kepada seorang wanita tua yang beberapa menit lalu turun dari bus namun tidak bisa pergi karena hujan. Beberapa menit setelahnya, Jiyong kembali ke minimarket dan gadis itu masih di sana, tengah duduk menunggu hujan sembari menyesap segelas kopi hangat.
Di meja panjang dekat jendela gadis itu duduk dan memperhatikan Jiyong. Ia kelihatan menggerakan kepalanya, mencari-cari Jiyong yang menghilang setelah sebuah truk lewat lantas terkejut karena melihat pria itu berdiri di depan microwave, sedang memasak nasi instan untuk makan siangnya.
"Lalisa Hwang?" Jiyong menegurnya, menghampirinya setelah meninggalkan mangkuk nasinya di dalam microwave.
Gadis yang sedari tadi memperhatikannya lantas menoleh, sedikit terkejut namun lekas menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Jiyong membawa kartu pesertanya yang jatuh ke lantai, di dekat dispenser air panas, kemudian mengembalikannya. "Terima kasih," gumam gadis bernama Lalisa itu. Ia mengambil kartu peserta yang Jiyong berikan, lantas meremasnya, memasukkannya ke dalam tasnya.
Padahal tadi Lisa membuang kartu peserta tidak berguna itu. Namun sepertinya lemparannya tidak tepat sasaran, kartu peserta interview kerja itu justru jatuh ke lantai, di dekat dispenser air, di dekat tempat sampah. "Ah... Kau akan membuangnya? Aku pikir kau menjatuhkannya," komentar Jiyong, lantas menawarkan diri untuk membuang kertas itu.
Lisa akan menolak, namun sebelum suaranya keluar, denting dari microwave sudah lebih dulu terdengar dan mereka berpisah di sana. Gadis itu harus kembali menikmati kopinya, sedang Jiyong membawa nasi serta mie instannya ke kursi lain, ke sisi lain meja panjang di dekat jendela itu. Ia meletakan makan siangnya di sana kemudian melangkah ke lemari es untuk mengambil minumannya. Sebentar Jiyong berdiri di depan sederet bir, namun ia harus mengurungkan niatnya dan mengambil sebotol air mineral sebagai gantinya.
Hujan semakin deras di luar dan mie instan jadi terasa semakin enak karenanya. Ditengah nikmatnya ia melahap mie instan itu, segelas kopi diletakan tepat di sebelah air mineralnya. Lalisa Hwang yang menaruhnya. "Ini ucapan terima kasih dariku karena sudah menjaga warga setempat," gadis itu berucap malu-malu, yang langsung melarikan diri setelahnya. "Kau akan jadi polisi hebat! Aku mendukungmu!" serunya, sembari berlari kencang menembus hujan kemudian masuk ke dalam sebuah sedan hitam di tepi jalan.
Istrinya sangat kekanakan ketika itu, meski sekarang pun masih begitu. Mengingat kenangan itu, Jiyong mulai mengulas senyumnya. Namun senyuman itu perlahan-lahan menjadi getir, sebab Jiyong mulai merasa asing terhadapnya. Sejak kapan gadis manis yang dulu memberinya kopi, berubah jadi begitu menyebalkan? Jiyong tidak tahu jawabannya.
Lisa terbangun ketika merasakan mobil yang ia tumpangi berhenti. Dilihatnya sekeliling dan sekarang mereka ada di stasiun pengisian bahan bakar. Ia duduk sendirian di mobil, sedang suaminya keluar untuk mengisi sendiri bahan bakar mobil mereka. Sembari menunggu, gadis itu mengumpulkan nyawanya, melihat-lihat dimana lokasi mereka sekarang. Sudahkah mereka tiba di Pilos atau belum.
Suaminya kembali, mereka bertukar tatap untuk beberapa detik lantas Jiyong bertanya, "kau ingin pergi ke toilet?" katanya dan Lisa menganggukan kepalanya. Sebentar Jiyong mengemudikan mobilnya, hanya bergerak maju dan parkir di dekat toilet. Selanjutnya, Lisa berlari keluar, masuk ke dalam toilet sedang Jiyong meregangkan tubuhnya di luar mobil.
Mereka sudah tiba di Pilos sekarang. Namun tidak ada tujuan pasti dalam perjalanan itu. Jiyong sudah membuat rencana, mereka bisa pergi ke rumah lama Ten atau pergi ke sekolah untuk menanyakan nomor telepon pria itu. Namun sekarang sudah terlalu malam untuk bertamu. Jam sudah menunjuk pukul sebelas malam dan Jiyong pun sudah lelah. Pria itu tidak keberatan kalau mereka harus menginap di dalam mobil, namun memikirkan istrinya, membuat ia mencoret mobil dalam daftar tempat menginap mereka. Kasihan Lisa, kalau harus tidur di mobil sepanjang malam.
Sekembalinya Lisa ke mobil, dilihatnya Jiyong tengah sibuk dengan handphonenya. "Oppa," sapa gadis itu, menghampiri Jiyong ke sebelahnya. "Maaf karena aku tertidur sepanjang perjalanan. Oppa pasti lelah, oppa mau beristirahat sebentar di sini? Ada kursi pijat di sebelah sana," katanya, menunjuk sebuah sudut di stasiun pengisian bahan bakar itu. Hanya sedikit bagian kecil tempat orang-orang beristirahat sembari menikmati semangkuk mie instan dan mix kopi.
"Rumahmu di Pilos masih jadi rumahmu?" tanya Jiyong dan Lisa menggeleng. Orangtuanya menjual rumah di Pilos untuk membelikannya rumah di dekat kantor polisi.
Mereka akan menginap di hotel malam ini, Jiyong yang memutuskannya dan dia juga yang menentukan hotelnya. Lisa tidak diberi kesempatan untuk memilih. Gadis itu tidak ditanyai pendapatnya, ia hanya dipaksa untuk mengikuti semua keputusan Jiyong. Bahkan ketika Jiyong memilih kamar dengan dua ranjang single, Lisa tidak beri kesempatan memprotes.
Begitu tiba di penginapan, Jiyong meletakan koper mereka di sudut ruangan, tepat di sebelah pintu lemari, tidak jauh dari kamar mandi. Lisa yang mengekor di belakangnya langsung mengecek kamar itu. Memastikan semua yang mereka butuhkan sudah ada di dalam sana. Jiyong langsung berbaring, ia memilih ranjang di sebelah kanan yang ada di dekat jendela. Sedang Lisa membuka koper mereka, mengambil pakaiannya juga pakaian Jiyong.
"Oppa, mandi du- ah tidak," urung Lisa, yang awalnya ingin menyuruh Jiyong untuk mandi. "Aku akan mandi duluan, kalau oppa ingin mandi, pakaianmu ada di sini," katanya kemudian, setelah ia meralat ucapannya dan meletakan pakaian Jiyong di atas meja rias yang kosong.
Jiyong tidak menjawabnya, menoleh pun tidak. Pria itu sudah memejam matanya begitu berbaring, menyamping menatap pada jendela yang tirainya belum ditutup. Pemandangan malam kota Pilos tidak secantik ibu kota. Tidak ada banyak gedung pencakar langit. Rumah-rumah pun tidak banyak, tidak ada lautan lampu di balik jendela itu. Hanya gelap, sunyi tanpa suara. Kota ini sepi begitu malam tiba. Seolah semua isinya ikut beristirahat saat gelap.
Selesai mandi, Lisa duduk di ranjang sebelah kiri. Dengan kakinya, ia tenang-tenang pelan ranjang di depannya, memperhatikan punggung Jiyong yang terlelap di sana tanpa selimut. Ia ingin tidur satu ranjang dengan suaminya. Ia kesal karena Jiyong memilih kamar ini, membuat pertengkaran mereka terlihat jelas di depan resepsionis tadi, juga membuat ia merasa sangat jauh darinya.
"Jahat," bisik Lisa dengan sangat pelan. "Sebegitu inginnya oppa bercerai denganku? Sampai oppa rela mencarikan Ten untukku? Sampai oppa tidak mau lagi tidur bersamaku?" gerutu gadis itu, tetap dengan suaranya yang sangat pelan, tetap berbisik karena enggan membangunkan suaminya, enggan juga keluhannya terdengar oleh pria itu.
***
Apakah tulisan yesterday-nya bakal jadi last year kalau aku upload sekarang? Happy new year kalian semua! Welcome 2023~
KAMU SEDANG MEMBACA
Why Do Women Get Angry?
Fanfiction"Baik, aku mau bercerai. Tapi sebelum itu, carikan seseorang untukku," katanya, menatap serius pria di hadapannya. "Siapa?" suaminya bertanya, berharap wanita di depannya bisa segera menandatangani surat cerai mereka. "Cinta pertamaku." . . . . . ...