15

530 98 7
                                    

***

Lisa bersumpah tidak akan menangis hari ini. Meski Jiyong membentaknya, tidak akan ia tinggikan suaranya, tidak akan ia keluarkan air matanya. Akan ia buat hidupnya yang beberapa hari ini bertema angst menjadi komedi romantis buatannya sendiri. Meski akhirnya mereka tetap harus berpisah, akan ia pastikan dirinya tidak menyesal karena tidak mengusahakan apapun.

Keputusannya jelas terlihat seperti judi. Undian dua mata koin. Tepat di saat ia mengatakan, "carikan cinta pertamaku," pada Jiyong, ia lempar koinnya ke udara. Hanya akan ada dua kemungkinan yang terjadi, seperti dua mata koin yang berseberangan. Suaminya mungkin saja akan menyetujui permintaannya. Bisa juga pria itu jadi semakin marah dan semakin yakin untuk menceraikannya. Lisa memberikan segalanya—all in— dalam taruhan kali ini.

Saking terkejutnya, koin yang Lisa lempar masih berputar di udara sekarang. Jiyong menatapnya, belum bisa mencerna permintaannya. "Aku tidak salah dengar kan?" Jiyong bertanya, menunda koin di udara untuk jatuh dan menunjukan sisi pilihannya.

"Tidak," geleng Lisa. "Aku serius. Bantu aku mencari cinta pertamaku, setelah itu akan aku tanda tangani surat cerai kita," yakin gadis itu.

"Cinta pertamamu?!" suara Jiyong mulai meninggi, jelas ia cemburu. Seolah rasa sakit hati yang Lisa torehkan kemarin belum cukup, hari ini gadis itu berulah lagi.

"Kenapa?" Lisa balas bertanya, seolah permintaannya sangat wajar dilontarkan. "Oppa pikir kau cinta pertamaku? Naif sekali. Bantu aku mencari cinta pertamaku, namanya Ten Lee. Ini fotonya," Lisa bersikeras menunjukan foto cinta pertamanya pada Jiyong.

Koin akhirnya jatuh. Jiyong menolak permintaan Lisa. "Aku tidak sudi melakukannya! Tidak! Aku tidak akan mencarinya!" seru Jiyong, yang melangkah masuk ke dalam rumah, membiarkan Lisa menutup pintu utama rumah mereka lantas mengekor di belakangnya.

"Kalau begitu kita tidak akan bercerai," santai Lisa, yang kini mengambil duduk di sofa, menaikan kakinya ke atas kaki lainnya, dengan tangan terlipat di depan dada. Ia perhatikan Jiyong yang berdiri di depan meja makan. Berpegangan pada kursi, mencoba menenangkan emosinya sendiri.

"Apa kau sudah gila?!"

"Mungkin?" balas Lisa. "Mana bisa aku tetap waras dalam situasi begini? Tidak sepertimu yang dengan semena-mena menceraikanku, aku masih memberi oppa dua pilihan. Bukan kah aku baik?"

"Baik?! Augh! Harusnya aku tidak datang hari ini!" kesal Jiyong.

"Bantu aku mencari cinta pertamaku, itu syarat yang harus oppa penuhi kalau ingin bercerai," tegas Lisa, jelas membuat Jiyong semakin kesal. Semakin cemburu. "Kalau oppa tidak bisa memenuhi syarat dariku, kita tidak akan bercerai. Bawa semua pakaianmu kembali ke sini, oppa harus tinggal di sini lagi karena kita tidak bisa bercerai," ancamnya, namun siapa yang akan mengindahkan ancaman kekanakan itu?

Jiyong sudah memilih untuk menolak permintaan Lisa. Ia ingin bercerai tanpa syarat menyebalkan itu. Maka pergilah ia, meninggalkan Lisa di rumahnya dengan langkah keras yang kasar. "Tidak akan aku setujui syarat gilamu itu!" seru Jiyong, meninggalkan Lisa sendirian lagi.

"Kalau begitu kita tidak jadi bercerai," cibir Lisa, mengiringi langkah Jiyong ke pintu utama.

Sabtu ini Lisa menjatuhkan umpannya. Jiyong sudah melihat kail itu, namun masih menolak keberadaannya. Keesokan harinya, Jiyong masih belum kembali ke rumah. Pertahanan dirinya masih kuat. Ia tidak bisa menyerah pada salah satu pilihan Lisa. Lantas, Lisa datangi pria itu ke kantor polisi. Hari masih pagi ketika Lisa datang, saat itu masih pukul lima.

Lisa tidak bisa menahan dirinya. Ia tidak bisa menunggu lebih lama. Ia tidak bisa tidur, tidak bisa hanya menunggu di rumah. Menjadi seperti kura-kura yang terikat dalam tempurungnya. Tiba di kantor polisi, seorang petugas administrasi di pintu utama menyambutnya. Kali ini petugas itu pria, ia memberitahu Lisa kalau suaminya ada di dalam, masih tertidur di sofa dalam ruang kerjanya.

Semalam Jiyong menonton banyak rekaman CCTV di sana, dan pagi ini ia masih terlelap di sofa. Begitu dipersilahkan masuk, Lisa menghampiri suaminya ke sofa. Ia usap rambut Jiyong, merasakan gelitik sedih dalam dadanya. Perasaan yang harus ia tahan untuk mendapatkan keinginannya.

Perlahan Jiyong bangun, membuka matanya dan sedikit kaget karena melihat Lisa ada di sana, dipagi buta begini. Tanpa mengeluarkan kata-kata yang bisa Lisa dengar jelas, Jiyong bergerak duduk. Pria itu masih setengah sadar, ketika Lisa menerornya dengan foto masa sekolahnya.

"Carikan dia untukku, namanya Ten Lee," pinta Lisa, yang kemudian menunjuk-nunjuk komputer di meja. "Kau punya akses untuk menemukannya dengan mudah. Bukan begitu? Carikan dia," bujuk gadis itu, lebih seperti tengah menagih hutang yang belum Jiyong lunasi padanya.

Jiyong menyuruhnya pulang. Menggerutu, bilang kalau Lisa terlalu kejam padanya. Lisa mengganggunya disaat ia tengah luar biasa lelah dengan pekerjaannya. Ia harus mengerjakan banyak hal agar atasan mau menyetujui permohonan cutinya.

Gadis itu pergi saat ia disuruh pergi. Namun beberapa jam setelahnya, Lisa kembali datang. Kali ini sembari membawa sarapan untuk Jiyong dan beberapa rekannya. Lisa tidak tahu ada berapa orang rekan Jiyong yang menginap di sana, namun di pukul sembilan pagi semua orang harusnya sudah datang ke kantor.

Ia datang dengan sebuah kotak makan besar berisi makanan rumahan yang dibelinya di toko dekat sana. Membaginya dengan rekan-rekan kerja Jiyong, bersikap seolah ia dan suaminya tidak pernah bertengkar sebelumnya. Tentu Jiyong semakin kesal, sebab ia menganggap, Lisa melakukan semua itu untuk cinta pertamanya. Gadis itu tidak pernah membungkuskan bekal untuknya. Ia tidak pernah datang ke kantor polisi untuk sekedar mengantarkan pakaian bagi suaminya yang sibuk itu. Namun karena sangat ingin menemui cinta pertamanya, Lisa datang dua kali ke kantor polisi. Jelas Jiyong cemburu. Jelas pria itu iri, pada cinta pertama istrinya yang tidak ia kenali siapa orangnya.

"Jangan terlalu lama berfikir," kata Lisa setelah ia dipaksa pergi oleh suaminya. Jiyong memaksa Lisa keluar, beralasan pada rekan-rekannya kalau Lisa harus segera pergi ke kantornya. "Mencarinya atau kembali ke rumah?" desak gadis itu namun Jiyong tetap enggan memilih salah satu dari dua pilihan yang ada di depannya.

"Cepat pergi, kau akan terlambat pergi kerja," suruh Jiyong yang jadi semakin kesal karena pilihan-pilihan di depannya. Tidak satu pun pilihan itu baik untuknya—begitu anggapannya.

"Ini hari Minggu," kata Lisa. "Aku tidak bekerja di hari Minggu," susulnya, namun sekali lagi ia meminta Jiyong untuk memilih satu dari dua pilihannya.

Di hari Minggu Lisa gagal. Di hari Senin pun ia gagal membuat Jiyong memilih. Sampai tiba di hari Selasa, Lisa terus datang ke kantor polisi karena suaminya tidak kunjung pulang. Dalam satu hari, bisa lima sampai enam kali gadis itu berkunjung. Bahkan seorang korban kejahatan tidak datang ke kantor polisi sesering itu. Namun semua usaha itu tidak lah sia-sia. Jiyong akhirnya menyerah dan bersedia mencarikannya, cinta pertama istrinya.

***

Why Do Women Get Angry?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang