***
"Oppa, aku baik-baik saja, tidak ada yang terluka," Lisa menegangkan Jiyong lewat teleponnya. Ten mengizinkannya untuk menelepon, namun tidak ingin ia biarkan Lisa pergi sekarang.
"Sungguh? Kau baik-baik saja?" tanya Jiyong, yang kini berada di kantor polisi setempat, tengah mempelajari berkas kasus yang Ten katakan. "Jangan berbohong hanya untuk menenangkanku, kalau kau terluka, katakan padaku, hm? Kau harus diobati kalau terluka," katanya.
"Tidak, aku tidak terluka. Ten bilang dia tidak akan melukaiku," jawab Lisa. "Karena itu, oppa jangan khawatir. Bahumu baik-baik saja? Tidak terluka?" gadis itu balas bertanya dan tentu Jiyong berbohong, mengatakan kalau ia tidak terluka sama sekali. Tidak ia katakan pada Lisa kalau bahunya memar karena mencoba mendobrak pintu tadi.
"Ten bilang, Karina tidak mungkin bunuh diri," kata Lisa setelah ia mempercayai kebohongan suaminya. Sembari menatap pintu kamar mandi yang ia kunci dari dalam, gadis itu melanjutkan bisikannya. "Katanya, Park Haesoo punya bukti kalau Karina tidak bunuh diri, tapi dia menyembunyikannya. Karena itu Ten membunuhnya. Oppa, cepat temukan bukti itu... Aku takut, ada laser merah yang di arahkan ke kamar, suruh mereka untuk tidak melukai siapapun... Aku tidak bisa melihat seseorang terluka di depanku lagi," bisiknya, hampir menangis karena khawatir.
"Waktumu habis, keluar lah," tegur Ten, yang sengaja mengetuk pintu kamar mandi. Membuat Lisa harus buru-buru mematikan panggilan itu, lantas memberikan handphonenya kembali pada Ten. Tidak bisa ia biarkan Lisa merekam apapun diam-diam. "Aku tahu kau takut, tapi bersabarlah," kata Ten yang kemudian kembali duduk di ranjang. Sedang Lisa mendudukan tubuhnya di sofa, di dalam kamar yang lampunya sengaja dimatikan agar tidak ada siluet tubuh mereka di jendela. "Semakin cepat suamimu menemukan bukti baru untuk membuka kasusnya, semakin cepat juga kita bisa pergi dari sini," tenang Ten, sedang Lisa masih sangat gugup karena titik-titik merah dari laser yang diarahkan ke dalam kamar itu.
"Tanpa perlu bertindak sejauh ini, kalau kau mengatakan semua yang kau katakan padaku pada Jiyong oppa, dia pasti akan membantumu. Kau harusnya bicara-"
"Aku berencana begitu, saat tahu kalian suami istri, aku berencana melakukannya, mengajak kalian makan malam dan membicarakan masalah ini dengan tenang," potong Ten. "Aku berencana bicara denganmu dan suamimu. Tapi kalian sedang bertengkar. Kau marah padanya karena dia berkerja ketika kalian harusnya berlibur dan memperbaiki ini dan itu, aku mendengarnya. Bahkan di tempat parkir tadi, aku berencana menghampiri kalian dan jadi penengah, tapi kau menikahi seorang yang sama sepertimu, Lisa, kalian sama-sama keras kepala, aku tidak bisa mendekat," kata Ten.
"Kau tidak bisa menunggu sebentar? Apa batas kadaluarsa kasusnya besok pagi?"
"Tidak," Ten menggeleng. "Aku harus pulang besok. Aku tidak punya waktu untuk menemuimu selain malam ini."
Di tengah obrolan itu, handphone Lisa kembali berdering. Jiyong kembali menelepon setelah bintik-bintik lasernya menghilang. "Cari saja-"
"Nyalakan lampunya. Buka tirainya agar aku tahu istriku baik-baik saja," potong Jiyong, dengan nada bicaranya yang tegas.
"Kalau kau memang mengkhawatirkan istrimu, bukan kah seharusnya-"
"Ya! Bajingan sialan! Cepat buka tirainya! Sebelum aku hancurkan kepalamu, cepat buka tirainya!" Maki Jiyong, membuat Ten menjauhkan handphone Lisa dari telinganya, lantas menunjuk tirai, menyuruh Lisa untuk membuka tirainya.
Lisa kini duduk di depan jendela, di atas meja kayu yang seharusnya dipakai menaruh cangkir kopi. Sedang Ten tetap di ranjang, menatap keluar jendela, melihat beberapa gedung yang sama tinggi dengan penginapan itu di seberang jalan. Keduanya kini membisu. Larut dalam angan masing-masing, sembari memperhatikan gerak-gerik satu sama lain.
Dalam kesunyian itu, Ten mengingat banyak kenangan yang tumpang tindih. Ia ingat bagaimana tubuh gadis kesukaannya jatuh dari atap, bagaimana tubuhnya kaku, membeku ketika itu. Lalu waktu berlalu dengan sangat cepat dalam ingatannya, selanjutnya ia berada di dalam ruang interogasi. Dua orang polisi berada di sana bersamanya, mendesaknya untuk mengatakan yang sebenarnya. Kebenaran yang bahkan tidak Ten ketahui. Di dalam ruang interogasi, kepalanya dipukul dengan sebuah berkas tebal. Ia dimarahi karena bersikeras mengatakan kalau Karina dibunuh, namun tidak bisa menyebutkan bukti apapun.
Setelah dimarahi oleh para detektif itu, ia disuruh meninggalkan kantor polisi. Ia pergi dengan perasaan terluka, dan ingatan dimajukan pada saat orangtuanya ikut memarahinya. Ten dimarahi orangtuanya karena terus membual kalau Karina dibunuh, kalau ia yakin Karina dibunuh. Ketika itu, bukan hanya polisi, bukan hanya orangtuanya, bahkan pihak sekolah tidak juga mempercayainya. Ibu Karina pun sama. Wanita yang bekerja di bar itu, lebih percaya kalau putrinya bunuh diri dibanding dibunuh.
Ketika itu, Ten tidak mengerti kenapa semua orang tidak mempercayainya. Tidak ia mengerti kenapa ibu Karina tidak ingin penyelidikan di lanjutkan. Tidak juga ingin Ten terus membahas kematian itu. "Ibu Karina diberi banyak uang, sebagai bayaran atas persetujuannya tentang kematian putrinya. Ia dapat banyak uang dengan mengakui kalau putrinya bunuh diri," pada Lisa, Ten berkata dengan mata yang berkaca-kaca.
"Siapa yang memberinya uang? Bagaimana kau bisa mengetahuinya?" Lisa bertanya karena kata-kata itu.
Namun alih-alih menjawab, Ten justru mengatakan hal lainnya. Ia justru mengutarakan perasaannya. "Ketika itu, aku marah sekali padamu. Kenapa kau pergi meninggalkanku? Kenapa kau memutus hubungan begitu sana? Tanpa pamit? Saat itu aku sadar, kalau hanya kau, satu-satunya orang yang akan selalu mempercayaiku. Hidup tanpa seorang pun mempercayaiku ternyata sulit," katanya. "Kalau saat itu kau ada di Pilos. Kalau saat itu kau tidak pergi dan memutus hubungan begitu saja, aku rasa, aku tidak akan jadi seperti sekarang. Kau pasti mempercayaiku, waktu itu," susulnya, menyayangkan semua yang terjadi pada hidupnya.
"Saat ini pun aku mempercayaimu," Lisa menanggapinya.
"Tidak," lawan bicaranya menggeleng. "Sekarang, jangan mempercayaiku. Aku mungkin akan melukaimu, percayalah pada suamimu," katanya yang justru membuat Lisa menghela nafasnya. Tidak ia pahami apa yang sebenarnya Ten inginkan sekarang. "Hidupku berhenti di hari kelulusan kita. Tapi melihatmu lagi, membuatku sangat senang. Maaf, karena kita harus bertemu di situasi seperti ini," susulnya setelah mendengar helaan nafas wanita di depannya.
"Maaf, aku tidak bersamamu disaat-saat sulitmu," balas Lisa, yang kemudian mengingat suaminya. Hari ini pun, adalah hari yang sulit bagi suaminya. Atasan sekaligus mentornya dibunuh, namun ia tidak berada di sisinya. Ia justru marah dan pergi meninggalkannya. Terlebih butuh waktu lama untuk ia bisa menyadarinya.
Melihat Lisa yang berpaling, menoleh ke arah jendela dengan rambut yang sedikit menutupi wajahnya, membuat Ten mendekat. Ia letakan pistolnya tadi di atas pangkuan Lisa. Lantas kembali bergerak mundur dan duduk di ranjang, jauh dari gadis itu.
"Aku selalu bisa memelukmu seperti dulu, karena kita berteman. Tapi, rasanya teman pun tidak boleh melewati batas itu sekarang. Begitu pagi, mintalah suamimu yang memelukmu," kata Ten, membuat perasaan Lisa yang campur aduk menjadi lebih jelas sekarang— ia ingin suaminya berada di sana sekarang. Seolah mampu menyerap perasaan teman dekatnya itu, cinta pertamanya itu, ia merindukan Jiyong seperti Ten merindukan Karina.
***
Tesnya gagal, link ujiannya busuk .-. akhirnya ditunda sampai waktu yang tidak ditentukan.... Ada ada aja heran🥲🥲🥲
KAMU SEDANG MEMBACA
Why Do Women Get Angry?
Fanfiction"Baik, aku mau bercerai. Tapi sebelum itu, carikan seseorang untukku," katanya, menatap serius pria di hadapannya. "Siapa?" suaminya bertanya, berharap wanita di depannya bisa segera menandatangani surat cerai mereka. "Cinta pertamaku." . . . . . ...